19.6.09

Vaksinasi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dengan semakin meningkatnya beberapa jenis penyakit di dunia khususnya di Indonesia seperti penyakit TBC, dipteri, tetanus, campak, polio, pertusis, dan hepatitis B, Indonesia terus melakukan berbagai cara untuk menanggulangi dan mencegah penyakit tersebut. Cara pencegahan terhadap penyakit tersebut saat ini di Indonesia berupa adanya program imunisasi yang dilaksanakan di berbagai atau hampir seluruh desa/kelurahan di wilayah Indonesia dengan sasaran bayi, anak tingkat sekolah dasar, ibu hamil, dan wanita usia subur. Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) seperti yang disebutkan di atas saat ini di Indonesia merupakan penyebab kematian pada anak yang diperkirakan mencapai 1,7 juta atau 5% pada balita (Susanto, 2007). Pada program imunisasi ini khususnya pada anak, pemerintah mentargetkan peningkatan cakupan imunisasi di Indonesia sekitar 95% yang diukur melalui imunisasi DPT (Dipteri, Pertusis, Tetanus) dan campak pada bayi dan anak. Rencanya target ini akan dicapai dalam kurun waktu 24 bulan sepanjang periode 2007-2009 (Susanto, 2007).

Imunisasi merupakan suatu proses pembentukan antibodi dalam tubuh manusia melalui adanya rangsangan antigen yang dibawa oleh mikroorganisme pathogen atau melalui prose pasif dengan penyaluran dan penyuntikan antibodi. Hasil akhir dari imunisasi adalah adanya sistem protektif tubuh terhadap adanya serangan mikroorganisme pathogen seperti: nakteri, virus, zat toksik, dan lain sebagainya. Imunisasi dengan menggunkan preparat antigen nonvirulen atau nontoksik yang dapat merangsang pembentukan antibodi (imunitas aktif) sehingga terbentuk antibodi dan sel memori. Terbentuknya antibodi dan sel memori akan membantu respons imunitas tubuh dengan mempercepat pengenalan antigen asing apabila orang yang telah diimunisasi terpajan oleh mikroorganisme yang sama dengan imunisasi yang telah dilakukan.

Namun saat ini di Indonesia, masyarakat luas belum dapat memanfaatkan secara optimal dari program imunisasi yang dilakukan oleh pemerintah. Hal ini didorong oleh adanya pandangan masyarakat yang salah mengenai pemberian imunisasi di mana disebabkan oleh kurangnya infromasi yang benar akan imunisasi. Selain itu, adanya hambatan dalam pendistribusian dan pengadaan tempat pelayanan imunisasi merupakan salah satu penyebab faktor ketidakberhasilan program imunisasi di Indonesia.

Berdasarkan hal di atas, maka penulis berusaha untuk dapat menjelaskan respons tubuh terhadap imunisasi khususnya pemberian vaksin dan berusaha memberikan informasi imunisasi terhadap masyarakat melalui laporan ini untuk dapat memecahkan masalah dalam skenario 1.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana respons tubuh terhadap pemberian vaksin?

2. Apa tindakan yang dilakukan oleh kita sebagai dokter dalam menghadapi kasus pada skenario 1?

3. Bagaimana cara memberikan informasi kepada masyarakat mengenai imunisasi?

C. Tujuan Penulisan

1. Mampu menjelaskan respons tubuh terhadap pemberian vaksin baik normal maupun patologis.

2. Mampu menyelesaikan masalah imunisasi seperti yang terdapat dalam skenario 1.

3. Mampu menyampaikan informasi mengenai imunisasi kepada masyarakat.

D. Skenario 1

Ibu Susi punya 2 anak. Anak ke-1 bernama Amir, berumur 5 tahun dan anak ke-2 bernama Ali berumur 9 bulan. Ibu Susi membawa Ali untuk penimbangan ke Posyandu.Oleh petugas posyandu disarankan agar Ali diimunisasi campak. Bu Susi ragu-ragu untuk imunisasi campak, sebab Amir pada wktu usia 9 bulan juga sudah diimunisasi campak, tetapi ternyata tidak kebal sehingga pada usia 3 tahun toh kena campak juga. Apalagi pernah ada anak tetangganya yang setelah mendapatkan imunisasi malah panas. Ada lagi anak lain yang di tempat suntikan imunisasinya malah terjadi radang. Juga ada yang tidak berhasil imunisasinya karena menurut dokter puskesmas si anak kurang gizi. Masalahnya, ada anak tetangga lain bernama Udin yang sering main ke rumah Bu Susi sekarang sedang menderita penyakit campak. Bu Susi takut anaknya ketularan, tapi Bu Susi juga masih meragukan apakah mungkin setalah diimunisasi si Ali bisa terhindar dari penyakit campak. Kenapa imunisasi campak tidak diberikan sejak lahir saja, dan bagi Udin yang sedang menderita campak, apa masih harus diimunisasi campak lagi?

E. Hipotesis

1. Bu Susi ragu-ragu untuk melakukan vaksinasi campak pada anaknya Ali (9 bulan) disebabkan oleh kurangnya informasi masyarakat khususnya Bu Susi mengenai imunisasi.

2. Reaksi ikutan imunisasi seperti panas dan radang pada skenario di atas merupakan kejadian fisiologis respons tubuh terhadap pemberian vaksin.

3. Ketidakberhasilan imunisasi dapat disebabkan oleh adanya kurang gizi (malnutrisi).

4. Pemberian vaksin campak sejak lahir kurang efektif karena akan dinetralisir oleh antibodi maternal dari ibu yang akan hilang pada usia 8 bulan.

5. Udin yang sedang menderita campak tidak perlu di vaksinasi campak kembali.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Respons Imunitas Tubuh

Respon imunitas tubuh merupakan sebuah pertahanan tubuh tehadap adanya mikroorganisme patogen/benda asing serta sel tubuh yang dianggap sel asing (self-antigen) untuk mempertahankan homeostatis tubuh. Respon imunitas tubuh dibagi menjadi dua, yaitu respon imun spesifik dan respon imun nonspesifik.


-Kulit - Lisozim - sel fagosit - Sel B - Sel T

-Sel. Lendir - Sekresi sebaseus - sel NK - Sel plasma - Tdth

-Silia - As lambung - Sel mast - Antibodi - CTL/Tc

-Batuk - Laktoferin - Basofil

-Bersin - As. Neuraminik

Humoral

- Komplemen

- Interferon

- C-Reactive Protein (CRP)

Gb. Sistem Imun (Baratawidjaja dan Rengganis, 2006)

Siste Imun Nonspesifik

Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan pertama atau terdepan terhadap invasi atau serangan berbagai mikroorganisme dikarenakan dapat merespon secara langsung. Disebut sebagai sistem imun nonspesifik karena sistem imun ini tidak ditujukan pada suatu mikroorganisme tertentu dan sistem imun ini telah ada pada tubuh kita dan siap berfungsi sejak lahir. Sistem imun ini tidak perlu oleh adanya kontak dengan antigen namun sel-sel imun nonspesifik ini langsung melakukan perlawanan terhadap se lasing tanpa melihat siapa atau apa se lasing itu. Respon imun ini berlangsung secara cepat.

Pertahanan fisik respon ini dapat berupa pada kulit, selaput lender, silia saluran pernapasan, batuk dan bersin. Pertahanan melalui kulit ini dapat berupa adanya kelenjar keringat atau sekresi sebaseus yang mengandung pH asam dan zat kimia tertentu yang mempunyai kemampuan antimikroba, yang akan mengeliminasi organisme pathogen. Selain itu di kulit terdapat lisozim yang dapat memecah beberapa dinding sel bakteri. Bakteri cenderung melekat pada lapisan mukosa saluran pernapasan di mana lapisan tersebut secara konstan akan disapu oleh sel silia. Selain itu, mukosa dan air mata mengandung enzim lisozim. Mekanisme pertahanan pada saluran pernapasan lainnya dapat berupa rambut-rambut dalam hidung yang dapat menimbulkan bersin dan reflex batuk yang mencegah aspirasi. Pertahanan dalam saluran gastrointestinal (GIT) dapa berupa kelenjar yang mengandung banyak enzim hidrolitik, keasaman lambung membunuh banyak bakteri yang teringesti (mis. V. Cholerae), usus halus mengandung banyak enzim proteolitik dan makrofag aktif (F Brooks, et al., 2005). Pertahanan biokimia seperti yang dijelaskan di atas terdapat juga pada air susu ibu (ASI) yang mengandung asam neuraminik dan laktoferin yang mempunyai sifat antibacterial terhadap E. Coli dan Stafilococcus. Dalam membrane mukosa juga terdapat IgA yang dapat menjadi tentara pertahanan tubuh. Seluruh sistem imunitas tubuh ini dapat ditekan oleh alcohol, narkotika, asap rokok, hipoksia, asidosis, dan pengaruh lain yang membahayakan (Baratawidjaja, 2002; Sherwood, 2001; F Brooks, et al., 2005).

Secara umum respon imun nonspesifik dapat dijumpai pada beberapa mekanisme berikut ini:

  1. Peradangan, suatu respon nonspesifik terhadap cedera jaringan. Sel-sel yang terlibat diantaranya: sel netrofil, makrofag-monosit dan limfosit.
  2. Interferon, sekelompok protein secara nonspesifik mempertahankan tubuh terhadap infeksi virus.
  3. Sel Natural Killer, sel mirip limfosit yang secara spontan dan relative nonspesifik melisiskan (menyebabkan rupture) dan menghancurkan sel penjamu yang terinfeksi virus dan sel kanker.
  4. Sistem Komplemen, Sekelompok protein plasma inaktif yang apabila diaktifkan secara sekuensial, menghancurkan se lasing dengan menyerang membrane plasma. Sistem komplemen dapat secara nonspesifik dapat diaktifkan oleh adanya benda asing.

(Sherwood, 2001)

Interferon

Interferon adalah sitokin berupa glikoprotein yang dihasilkan oleh berbagai sel tubuh yang memiliki nucleus dan dilepaskan sebagai respon infeksi virus.


Gb. Mekanisme Kerja Interferon

Fungsi lain dari IFN :

- Meningkatkan aktivitas fagosit makrofag dan merangsang pembentukan antibodi.

- Meningkatkan kerja sel NK dan sel T sitotoksik.

- Efek antikanker.

- Memperlambat pembelahan sel dan menekan pertumbuhan tumor.

- Meningkatkan aktivitas ekspresi MHC

Tipe IFN :

- Tipe I : IFN-α yang disekresi oleh makrofag dan leukosit lain dan IFN-β disekresi oleh fibroblas.

- Tipe II : IFN-γ (disebut juga IFN imun)disekresikan oleh sel T setelah dirangsang oleh antigen spesifik (Baratawidjaja, 2002).

Sel Natural Killer (NK cell)

Sel NK merupakan sel mirip limfosit yang secara nonspesifik menghancurkan sel yang terinfeksi virus dan sel kanker secara langsung melisiskan membrane sel-sel tersebut pada saat pertama kali berjumpa. Sel NK membentuk pertahanan yang bersifat segera dan nonspesifik terhadap sel yang terinfeksi virus dan sel kanker sebelum sel Tc yang lebih spesifik dan lebih banyak berfungsi. Sel NK membunuh sel sasaran dengan perforasi membrane sel melalui perforin yang diproduksinya. Membran sel NK mengandung protein (prolaktin) yang mengikat perforin sehingga mencegah insersi dan polimerisasi dalam membrane sehingga sel NK sendiri terhindar dari efek perforin. Sel NK memberikan respon terhadap IL-12 yang diproduksi makrofag dan melepaskan IFN-γ yang mengaktifkan makrofag untuk membunuh mikroba yang sudah dimakannya.

Sistem Komplemen

Sistem komplemen terdiri dari protein-protein plasma yang dihasilkan oleh hati dan beredar dalam darah dalam bentuk inaktif. Komplemen rusak oleh pemanasan pada suhu 560C selama 30 menit. Komplemen berperan sebagai opsonin yang meningkatkan fagositosis dan juga menimbulkan destruksi/lisis bakteri dan parasit serta mengaktivasi terjadinya inflamasi. Komplemen dapat diaktifkan oleh adanya molekul asing.

Mediator yang dilepaskan komplemen:

C1 qrs : Meningkatkan permeabilitas vaskuler

C2 : Mengaktifkan kinin

C3a dan C5a : Kemotaksis yang mengerahkan leukosit dan juga berupa anafilaktoksin yg dpt merangsang sel mast melepaskan histamine (inflamasi) dan mediator2 lainnya.

C3b : Opsonin dan adherens imun

C4a : Anafilaktoksin lemah

C4b : Opsonin

C5-6-7 : kemotaksis

C8-9 : melepas sitolisin yang dpt menghancurkan sel (lisis)

(Baratawidjaja, 2002)

Aktivasi Komplemen

Aktivasi komplemen dapat melalui dua jalur yaitu jalur klasik dan jalur alternative yang merupakan cascade (Beruntun, produk yang muncul dr satu reaksi menjadi enzim untuk reaksi berikutnya) seperti ada pembentukan sistem koagulasi darah.

Jalur Klasik

Jalur ini dimulai oleh C1 yang menjadi aktif ketika C1 berikatan dengan kompleks antigen-antibodi.


Rounded Rectangle: Aktivasi C1


Jalur Alternatif

Jalur alternative dimulai oleh komplemen C3 yang bereaksi dengan antigen.


(Mc Graw Hill, 2007)

C3a : mengaktivasi inflamasi

C3b : bereaksi dengan komponen komplemen lain membentuk C3 convertase dan juga C3b mengikat ke permukaan mikroorganisme (opsonisasi) yang membantu proses fagositosis.


Fungsi lain komplemen dapat membantu proses peradangan dengan:

- Berfungsi sebagai kemotaksin

- Bekerja sebagai opsonin

- Meningkatkan vasodilatasi local dan permeabilitas vaskuler

- Merangsang pengeluaran histamine dari sel-sel mast sekitarnya

- Mengaktifkan kinin (Sherwood, 2001)

C-Reactive Protein (CRP)

CRP merupakan salah satu contoh dari protein fase akut, termasuk golongan protein yang kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi akut. CRP dapat meningkat 100x atau lebih dan berperan pada imunitas nonspesifik yang dengan bantuan Ca+2 dapat mengikat berbagai molekul antara lain fosforilkolin yang ditemukan pada permukaan bakteri/jamur, sehingga mengaktifkan komplemen (jalur klasik). CRP juga mengikat protein C dari Pneumococcus. Peranannya ialah sebagai opsonin dan dapat mengaktifkan komplemen (Baratawidjaja, 2002).

Sistem Imun Spesifik

Sistem imun spesifik dibagi menjadi dua bagian yaitu:

1. Humoral : sel yang berperan adalah sel B yang akan membentuk antibodi setelah menjadi sel plasma.

2. Seluler : sel yang berperan adalah sel T. Fungsi umum sel T yaitu:

-membantu sel B dalam memproduksi antibodi dengan mengeluarkan sitokin IL-1 dan IL-2.

-mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi virus

-mengaktifkn makrofag dalam fagositosis

-mengontrol ambang dan kualitas sistem imun (Baratawidjaja dan Rengganis, 2006)

Aktivasi sel B dan sel T

Maturasi sel B pada manusia terjadi di sumsum tulang sebelum dilepaskan ke sistem sirkulasi dan organ limfoid, sedangkan sel T pada kelenjar timus. Setelah matang, sel B bergerak menuju limpa, kelenjar getah bening dan tonsil. Aktivasi sel B dimulai dengan adanya invasi mikroorganisme ke dalam sel tubuh normal yang akan mengaktifkan makrofag untuk melakukan fagositosis. Makorfag mengeluarkan IL-1 yang membantu dalam proses proliferasi sel B dan sekresi antibodi. Setelah antigen masuk ke dalam makrofag akan dibawa oleh Major Histocompability Complex (MHC) II keluar sel penjamu dan akan dikenali oleh sel T helper (sel Th) melalui T-cell receptor (TcR) yang mana hal ini merupakan aktivasi sel T khususnya sel Th. Setelah pengaktifan sel Th maka akan mengeluarkan factor pertumbuhan sel B seperti IL-1 dan IL-2. Kemudian sel B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan akhirnya membentuk antibodi spesifik yang dapat mengenali antigen asing. Sel T sitotoksik (sel Tc) diaktivasi oleh adanya invasi virus atau sel kanker pada sel penjamu dan mengaktifkan MHC I untuk dibawa menuju permukaan sel dan dikenali oleh TcR sel Tc. Kemudian sel Tc mengeluarkan zat sitotoksin dan perforin yang dapat melubangi sel sehingga sel tersebut hancur (Sherwood, 2001; Mc Graw Hill, 2007; Baratawidjaja, 2002).

Antigen dan Antibodi

Antigen adalah suatu bahan yang dapat merangsang pembentukan antibodi spesifik. Secara fungsional antigen dibagi menjadi imunogen dan hapten. Hapten adalah molekul yang dapat bereaksi dengan antibodi yang sudah ada secara langsung tetapi tidak merangsang pembentukan antibodi secara langsung. Hapten merupakan determinan antigen yang berukuran molekul kecil dan baru dapat menjadi imunogen setelah diikat oleh protein pembawa (carrier). Epitop meruapakan bagian antigen yang dapat menginduksi pembentukan antibodi dan dapat diikat secara spesifik oleh bagian dari antibodi (paratop).

Antibodi merupakan protein yang dapat berikatan dengan antigen. Antibodi dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari diferensiasi dan proliferasi sel B oleh adanya kontak dengan antigen. Semua molekul antibodi memiliki 4 rantai polipeptida dasar yang terdiri dari 2 rantai berat (heavy chain) dan 2 rantai ringan (light chain) yang identik serta dihubungkan oleh ikatan disulfida. Bagian antibodi yang dapat mengikat antigen disebut fragmen antigen binding (Fab) danbagian yang tidak dapat mengikat antigen disebut fragmen crystallizable (Fc). Macam-macam antibodi (immunoglobulin) yaitu:

Ig A : pertahanan mukosa sal. napas, sal. cerna, GIT

Ig M : reseptor permukaan sel B, bentuk pentamer

Ig G : paling banyak dalam darah, dapat menembus plasenta, tinggi pada penyakit kronis

Ig E : alergi-cacing parasit, dapat berikatn pada sel mast dan basofil di reseptor Fc.

Ig D : belum ditemukan fungsi yang jelas. Bersama IgM ditemukan di permukaan sel B sbg reseptor antigen (Baratawidjaja dan Rengganis, 2006).

B. Imunisasi

Tujuan

Imunisasi bertujuan untuk meningkatkan derajat imunitas, memberikan imunitas protektif dengan menginduksi respon memori terhadap pathogen tertentu/toksin dengan menggunakan preparat antigen nonvirulen/nontoksik. Tujuan umum imunisasi di Indonesia yaitu menurunkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian akibat Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) (Field Lab FK UNS, 2008; Baratawidjaja, 2002).

Jenis Imunisasi

1. Imunisasi Pasif

a. Alamiah

- Imunitas maternal melalui plasenta berupa antibodi IgG yang dapat berfungsi antitoksik, antivirus, dan antibacterial terhadap Haemophilus influenza dan S. agalactiae.

- Imunitas maternal melalui kolostrum (ASI pertama segera setelah kelahiran) yang megandung Enhancement Growth Factor untuk bakteri dalam usus atau justru dapat menghambat tumbuhnya kuman tertentu (lisozim, laktoferin, interferon, makrofag, sel B, sel T, granulosit). Antibodi pathogen seperti antitoksin tetanus, dipteri, dan hemolisin anti-streptococcus telah ditemukan dalam kolostrum.

b. Buatan

- Immune Serum Globulin (ISG) atau Human Normal Immunoglobulin (HNI)

Preparat imunisasi berasal dari plasma atau serum yang dikumpulkan dari donor sehat atau plasenta tanpa memerperhatikan sudah atau belum divaksinasi / dalam atau tidak masa konvalesen suatu penyakit. Preparat yang diperoleh harus bebas dari virus hepatitis dan HIV atau AIDS. Contoh: Botulisme ISG asal manusia atau kuda,serum antilimfosit asal kuda, Gigitan crotalid snake bersal dari anti-serum polivalen asal kuda.

- ISG spesifik

Hepatitis B Immune Globulin dari pool plasma manusia yang menunjukkan titer tinggi antibodi HbsAg, Human Rabies Immune Globulin diperoleh dari serum manusia, Human Varicella-Zoster Immune Globulin yang digunakan sebagai profilaksis pada anak immuno defisiensi untuk mencegah terjangkit varicella, dan lain sebagainya.

- Serum asal hewan seperti anti bisa ular tertentu, laba-laba, kalajengking, yang beracun digunakan untuk mengobati pasien yang tergigit.

2. Imunisasi Aktif

Kriteria vaksin yang baik:

- Mudah diperoleh

- Murah

- Stabil dalam cuaca ekstrim

- Non-patogenik

- Efeknya tahan lama dan mudah teraktivasi dengan suntikan booster antigen.

a. Vaksin Virus

- Vaksin Rubella (German measles) - Vaksin polio

- Vaksin yellow fever - Vaksin rabies

- Vaksin hepatitis B - Vaksin retrovirus

- Vaksin virus influenza - Vaksin varicella

- Vaksin campak - Vaksin hepatitis A

- Vaksin mumps

b. Vaksin Bakteri

- Vaksin pneumococcus

- Vaksin Haemophylus influenza

- Vaksin Neisseria meningitides

- Vaksin Salmonella thyphi

- Vaksin Borelia brugdoferi (Lyme disease)

- Vaksin Bacille Calmette-Guerin (BCG)

- Streptococcus pneumonia

c. Antitoksin

Toksoid : toksin yang dibuat untuk mempertahankan antigenitasnya tetapi hilang toksisitasnya.

- Antitoksin botulisme

Terhadap tiga tipe toksin (tipe A, B, dan E) yang diproduksi Clostridium botulinum.

- Antitoksin diphtheria

Antitoksin ini dibuat pada kuda dengan menyuntikkan toksoid Coynebacterium diphtheria.

- Antitoksin tetanus

Antitoksin ini terdiri dari globulin imun asal manusia yang spesifik terhadap toksin Clostridium tetani.

- Diphteria, Pertusis, dan Tetanus (DPT)

DPT adalah produk polivalen yang mengandung toksoid Corynebacterium diphteria, Bordetella pertusis, dan Clostridium tetani yang dimatikan.

d. DOMI Vaccine

DOMI (Diseases of the Most Improverished) merupakan penyakit-penyakit infeksi seperti cholera, demam tifoid, dan shigellosis yang sedang mendapat perhatian di Negara-negarae berkembang termasuk Indonesia. Program DOMI sedang dikembangkan dengan memproduksi vaksin Vi dan vaksin cholera yang sekaligus dapat mengurangi beban shigellosis.

e. Vaksin sub-unit

Vaksin subunit mengandung antigen yang dimurnikan atau peptide (bukan seluruh mikroorganisme). Contohnya adalah antigen B. pertusis, vaksin kapsel polisakarida H. influenza (HiB) dan S. pneumonia. Vaksin subunit tidak menimbulkan infeksi dan lebih sedikit kemungkinan menunjukkan reaksi yang tidak diinginkan serta komplikasi saraf dibanding dengan vaksin seluruh B. pertusis. Vaksin subunit mungkin kurang imunogenik dibandingkan vaksin seluruh mikroorganisme.

f. Vaksin rekombinan

Gen dari suatu antigen dimasukkan ke dalam suatu vector yang harus aman, mudah ditumbuhkan, dan disimpan. Vaksin yang sudah lama digunakan adalah vaksin hepatitis B yang dibuat memasukkan gen segmen virus hepatitis B ke dalam gen sel ragi. Contoh vaksin lainnya adalah vaksin S. typhi (Ty 21a).

g. Vaksin DNA

Vaksin ini merupakan vaksin yang terakhir dikembangkan. Gen yang mengkode antigen yang diinginkan, diklon, dan disuntikkan. Penggunaan DNA yang mengkode antigen dapat digunakan sebagai vaksin yang potensial.

h. Sitokin

Menambahkan sitokin sebagai pembawa (carrier) vaksin diduga akan merupakan cara efisien untuk mendapatkan lingkungan sitokin yang benar mengarah pada respon imun yang diharapkan. Efek sitokin adalah untuk meningkatkan efisiensi sel Antigen Presenting Cell (APC). IFN-γ dan IL-4 dapat meningkatkan ekspresi molekul MHC-II.

Tabel 1. Jadwal Imunisasi di Indonesia atas Rekomendasi IDAI Periode 2006

Vaksinasi

Umur pemberian vaksin

Bulan

Tahun

Lhr

1

2

3

4

5

6

9

12

15

18

2

3

5

6

10

12

Program Pengembangan Imunisasi (PPI, diwajibkan)

BCG

Hepatitis B

1

2

3

Polio

0

1

2

3

4

5

DTP

1

2

3

4

5

6 dT/TT

Campak

1

2

Program Pengembangan Imunisasi non PPI (dianjurkan)

Hib

1

2

3

4

Pneumococcus

(PVC)

1

2

3

4

2

Influenza

Diberikan setiap tahun

Hepatitis A

Diberikan 2x, interval 6-12 bulan

Varisella

MMR

1

2

Tifoid

Ulangi tiap 3 tahun

Keterangan Jadwal Imunisasi Periode 2006

Vaksin

Keterangan

Hepatitis B

HB diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dilanjutkan pada umur 1 dan 3 - 6 bulan. Interval dosis minimal 4 minggu.

Polio

Polio-0 diberikan pada saat kunjungan pertama. Untuk bayi yang lahir di RB/RS OPV diberikan pada saat bayi dipulangkan (untuk menghindari transmisi virus vaksin kepada bayi lain).

BCG

Diberikan sejak lahir. Apabila umur > 3 bulan harus dilakukan uji tuberkulin terlebih dulu, BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif.

DTP

Diberikan pada umur ³ 6 minggu, DTwP atau secara kombinasi dengan Hep B atau Hib. Ulangan DTP umur 18 bulan dan 5 tahun. Umur 12 tahun mendapat TT pada program BIAS SD kelas VI.

Hib

Diberikan mulai umur 2 bulan dengan interval 2 bulan. Diberikan terpisah atau kombinasi.

Vaksin

Keterangan

Campak

Campak-1 umur 9 bulan, campak-2 diberikan pada program BIAS pada SD kelas 1, umur 6 tahun.

MMR

MMR dapat diberikan pada umur 12 bulan, apabila belum mendapat campak 9 bulan. Umur 6 tahun diberikan untuk ulangan MMR maupun catch-up Immunization.

Pneumokokus (PVC)

Pada anak yang belum mendapatkan PCV pada umur ³ 1 tahun PCV diberikan dua kali dengan interval 2 bulan. Pada umur 2 -5 tahun diberikan satu kali.

Influenza

Umur £ 8 tahun yang mendapat vaksin influenza trivalen (TIV) pertama kalinya harus mendapat 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.

Hepatitis A

Hepatitis A diberikan pada umur ³ 2 tahun, dua kali dengan interval 6 - 12 bulan.

Tifoid

Tifoid polisakarida injeksi diberikan pada umur ³ 2 tahun, diulang setiap 3 tahun.

(IDAI, 2006)

BAB III

DISKUSI DAN PEMBAHASAN

Respons tubuh terhadap vaksinasi secara normal sama dengan respons tubuh fisiologis bila terkena paparan mikroorganisme pathogen. Karena prinsip mekanisme kerja vaksin mengadopsi dari mekanisme imunitas tubuh yaitu terjadinya pembentukan antibodi oleh adanya antigen yang masuk ke dalam tubuh dan menghasilkan sel memori yang dapat membantu respons imun lebih cepat apabila terpapar dengan antigen yang sama. Vaksinasi mengandung antigen nonvirulen atau nontoksin yang akan merangsang pembentukan antibodi dan sel memori.

Respons imun patologis atau tidak diharapkan dapat terjadi setelah pemberian vaksinasi. Hal ini dapat disebabkan oleh malnutrisi berat dan keadaan imunodefisiensi pada pasien dimana hal tersebut dapat terjadi melalui dua mekanisme, yaitu: imunodefisiensi kelainan bawaan berupa defisiensi komponen sel imun dan imunodefisiensi didapat seperti pada: AIDS, obat kortikosteroid, penyakit berat, penyinaran, agamaglobulin, dan lain sebagainya. Respons imun patologis ini dapat menimbulkan adanya anergi di mana hal ini tidak terjadi co-stimulator (kegagalan sel Th melaporkan kepada sel B karena adanya antigen) sehingga tidak terbentuk antibodi. Keadaan ini dapat terlihat oleh adanya reaksi alergi/hipersensitivitas.

Pemberian vaksinasi pada beberapa jenis vaksin dapat menimbulkan reaksi imunisasi. Seperti pada vaksin campak yang terdapat dalam skenario di mana terdapat adanya panas dan bengkak pada tempat suntikan. Hal ini merupakan hal yang tidak membahayakan (fisiologis) yang dapa terjadi pada beberapa orang. Untuk menghindari pransangka buruk dan salah informasi sebaiknya orang tua bayi dan anak atau sasaran lainnya diberitahukan sebelumnya bahwa hal tersebut dapat terjadi setelah pemberian vaksin dan merupakan kejadian yang tidak membahayakan selama dalam jangka waktu dekat pasca imunisasi sehingga sasaran imunisasi tidak takut atau enggan untuk melakukan imunisasi. Selain panas dan bengkak, reaksi imunisasi lainnya pascaimunisasi vaksin campak yaitu timbul sedikit bercak merah pada pipi di bawah telinga pada hari ke 7-8 pascaimunisasi. Namun reaksi imunisasi pada pemberian vaksin campak biasanya jarang terjadi (Field Lab FK UNS, 2008).

Bu Susi ragu untuk melakukan vaksinasi campak pada anaknya (Ali, 9 bulan) dikarenakan kurangnya informasi benar yang ia dapatkan mengenai vaksinasi khususnya vaksinasi campak. Maka dari itu perlu adanya pemberitahuan/sosialisasi mengenai vaksinasi melalui penyuluhan kesehatan kepada masyarakat. Masyarakat perlu diberitahu mengenai pentingnya dan manfaatnya imunisasi, jenisnya, jadwal pemberian, reaksi imunisasi, serta kontra indikasi pemberian vaksin. Penyuluhan kesehatan ini dapat dilakukan oleh tenaga puskesmas atau orang yang sudah kompeten mengenai hal ini seperti dokter atau mahasiswa kedokteran it sendiri.

Amir pada usia 3 tahun dapat terkena campak setelah mendapatkan vaksinasi campak pada usia 9 bulan dapat disebabkan oleh kegagalan pembentukan antibodi dan sel memori pasca pemberian vaksin. Hal ini dapat disebabkan oleh kegagalan co-stimulator sel Th dengan sel B dalam proses pengeluaran IL-1 dan IL-2 untuk proliferasi dan diferensiasi sel B untuk membentuk antibodi. Selain itu, dapat disebabkan oleh keadaan immunodefisiensi akibat malnutrisi. Malnutrisi ini ada yang kekurangan protein di mana protein merupakan substansi/komponen penting dari sel-sel imun seperti antibodi, komplemen, interferon, dll. Sehingga terjadi penurunan pembentukan antibodi dan menyebabkan sistem imun menurun.

Vaksinasi campak diberikan pada usia 9 bulan dikarenakan sampai usia 8 bulan masih terdapat antibodi maternal dari ibu yang dapat menetralisir antigen nonvirulen/nontoksin dari vaksin sehingga tidak terbentuk antibodi. Hal ini dapat menjawab kenapa vaksin campak tidak diebrikan sejak lahir. Udin yang sedang terkena penyakit campak tidak perlu diberikan vaksin campak lagi dikarenakan dalam tubuhnya sendiri sudah terbentuk antibodi dan sel memori yang dirangsang oleh antigen asli/virulen bukan dari antigen nonvirulen vaksinasi. Apabila Udin diberikan vaksin campak pada saat ini sakit tersebut akan mengakibatkan serangan antigen lebih besar dan keras lagi sehingga akan berefek virulensi yang lebih besar. Sebaiknya Bu Susi diberikan saran dan informasi bahwa Ali (9 bulan) sebaiknya dilakukan vaksinasi campak.

Pemberian vaksin terhadap sasaran yang mengalami malnutrisi khususnya malnutrisi protein dihindari. Karena pada kondisi tersebut terjadi penurunan sistem imun oleh adanya penurunan komponen pembentuk sistem imun seperti antibodi, komplemen, interferon, dll. di mana pmbentuk utamanya adalah protein. Malnutrisi berat seperti kwashioskor merupakan kontraindikasi pemberian vaksin campak pada sasaran.

BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Pemberian vaksin campak tidak dilakukan sejak lahir karena masih terdapat antibodi maternal sampai usia 8 bulan yang dapat menetralisir antigen sehingga tidak terbentuk antibodi dan sel memori apabila diberikan vaksin.

2. Reaksi imunisasi dapat terjadi secara fisiologis pascaimunisasi dan tidak membahayakan serta tidak selalu mempunyai reaksi imunisasi yang sama pada setiap orang.

3. Respons imun yang tidak diharapkan pascavaksinasi dapat disebabkan oleh keadaan immunodefisiensi atau adanya reaksi hipersensitivitas terhadap komponen vaksin.

4. Udin tidak perlu diberikan vaksin campak lagi dikarenakan kemungkinan sudah terbentuk antibodi dan sel memori oleh adanya paparan antigen virulen langsung yang menyebabkan penyakit campak.

5. Kurangnya informasi mengenai imunisasi pada masyarakat merupakan salah satu penyebab kurangnya partisipasi dan ragu-ragunya masyarkat untuk mengikuti program imunisasi seperti yang terjadi dalam skenario sehingga diperlukan penyuluhan kesehatan untuk memberikan informasi mengenai imunisasi kepada masyarakat.

B. Saran

1. Perlu adanya penyuluhan kesehatan mengenai imunisasi kepada masyarakat.

2. Sebaiknya Ali diberikan imunisasi vaksin campak sehingga terbentuk sistem imun yang kebal terhadap penyakit campak.

DAFTAR PUSTAKA

Brooks, Geo F, et al. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Salemba Medika.

Baratawidjaja, Karnen G. 2002. Imunologi Dasar. Edisi V. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Baratawidjaja, Karnen G; Rengganis, Iris. 2006. Imunologi Dasar. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

IDAI. 2006. Jadwal Imunisasi 2006. In: http://www.idai.or.id/jadwal%imunisasi%2006.htm (18 Maret 2008)

Mc Graw-Hill. 2007. Activation of Complement. In: Movie flash.

Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: EGC.

Tim Field Lab FK UNS dan UPTD Puskesmas Sibela Surakarta. 2008. Manual Field Lab: Keterampilan Imunisasi. Surakarta: Field Lab FK UNS.

Tim penyusun. 2008. Buku Pedoman Mahasiswa: Blok V Imunologi. Surakarta: Unit Pengembangan Pendidikan Kedokteran.