19.6.09

Tiroid

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam era modern seperti sekarang ini, berbagai penyakit telah bermunculan. Dari mulai penyakit infeksi, genetik, dan lain sebagainya. Salah satu gangguan yang perlu menjadi perhatian adalah gangguan sistem endokrin dan metabolik, karena jika sistem endokrin terganggu, berbagai fungsi tubuh yang diperankan olehnya juga akan terganggu.
Endokrinologi merupakan pengetahuan tentang kelenjar-kelenjar buntu atau kelenjar-kelenjar endokrin (Ramali, 2000). Kelenjar endokrin adalah organ yang membuat, menyimpan, dan mengeluarkan hormon ke aliran darah. Berbagai fungsi tubuh diperankan oleh sistem endokrin. Diantaranya adalah pengaturan konsentrasi molekul nutrien, air, garam, metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Maka dari itu, jika ada suatu gangguan pada sistem endokrin, berbagai fungsi tubuh juga akan terganggu.
Diantara gangguan sistem endokrin adalah adanya gangguan hormon tiroid. Tiroid merupakan hormon yang sangat penting dalam merangsang laju metabolik sel-sel sasaran dengan meningkatkan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Adanya gangguan akibat kelebihan atau kekurangan hormon tiroid, akan menyebabkan gangguan metabolisme. Salah satu contoh adalah kelebihan hormon tiroid atau disebut hipertiroidisme yang mengakibatkan cepatnya metabolisme tubuh sehingga timbul gejala-gejala yang tidak diinginkan. Maka dari itu, diperlukan suatu pembelajaran yang lebih mendalam tentang berbagai gangguan sistem endokrin khususnya gangguan hormon tiroid agar dapat diterapkan dalam penanganan kasus-kasus yang berkaitan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa penyebab terjadinya benjolan di leher pasien?
2. Apakah kemungkinan pasien menderita hipertiroidisme, tiroiditis, penyakit Graves?
3. Apakah gejala dan tanda pada pasien mendukung diagnosis hipertiroidisme, tiroiditis, penyakit Graves?
4. Apakah pada daerah pasien terjadi endemik goiter?
5. Apa manfaat dan mekanisme pemberian obat propiltiourasil dan propanolol pada pasien penyakit Graves?
6. Apakah pasca operasi tiroidektomi dapat menyebabkan hipotiroidisme, hipo/hiperparatiroidisme?
C. Tujuan Penulisan
1. Menerapkan ilmu-ilmu dasar biomedis, klinik, perilaku dan ilmu kesehaan masyarakat dalam menyelesaikan kasus penyakit-penyakit tiroid.
2. Mengidentifikasi masalah-masalah dalam skenario terhadap materi-materi pembelajaran skenario.
3. Menetapkan diagnosis pasien pada skenario.
4. Menetapkan prognosis tiroidektomi pasca operasi.
D. Skenario

“Benjolan pada leher”
Seorang wanita usia 28 tahun alamat desa Jatipuro kec Jatipuro kab Karangannyar, datang ke poliklinik penyakit dalam RS Dr Moewardi dengan keluhan benjolan dileher depan sejak 5 tahun yang lalu.
Dua tahun yang lalu penderita berobat dipuskemas karena merasakan benjolan dileher depan makin membesar, badan panas, badan terasa lemah, leher tidak nyeri. oleh dokter dikatakan radang thyroid.
Sekitar 1 bulan ini penderita merasakan banyak keringat, suka hawa dingin, sering berdebar-debar, kedua tangan gemetar bila memegang sesuatu, kemudian oleh keluarganya dibawa ke rumah sakit. Tetangganya yang juga punya benjolan dileher memiliki anak laki-laki usia 10 tahun, pendidikannya masih di sekolah dasar kelas 2 oleh karena sering tidak naik kelas dan kelihatan kecil.
Ketika di poliklinik dilakukan pemeriksaan didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 110 kali/ menit, respirasi 20 kali permenit, matanya terlihat exopthalmus, hasil pemeriksaan fisik: benjolan dileher konsistensi lunak, tidak nyeri dan mudah digerakan. Pemeriksaan laboratoriun TSHs < 0,005 µIU/ml , FT4 20 µg/ dl, FT3 15 ng/ml, Kemudian oleh dokter poliklinik dikatakan menderita Graves’ disease dan diberi pengobatan dengan propil tiourasil 3 x 200mg dan propanolol 3 x 10 mg. Disarankan untuk kontrol rutin setiap bulan.
Setelah berobat selama 1 tahun, karena benjolan dileher dirasakan mengurangi kecantikanya, maka penderita ingin penyakitnya dioperasi. Di poliklinik bagian bedah penderita dilakukan persiapan operasi, dikatakan setelah operasi nanti kemungkinan bisa terjadi hal-hal yang tidak diharapkan seperti hypothyroid, hypoparathyroid atau hyperparathyroid, krisis tiroid. Karena takut dioperasi akhirnya penderita memutuskan tidak jadi operasi.
E. Data Pasien
- Wanita usia 28 tahun
- Benjolan (Goiter/Struma/Gondok) di leher sejak 5 tahun yang lalu
- Dua tahun yang lalu merasakan benjolan di leher bagian depan makin membesar, badan panas, badan terasa lemah, leher tidak nyeri, dan diagnosis radang tiroid (tiroiditis).
- Satu bulan terakhir banyak keringat, suka hawa dingin, sering berdebar-debar, kedua tangan gemetar (tremor).
- Tetangga pasien juga punya benjolan di leher.
- Anak laki-laki tetangga pasien usia 10 tahun, SD kelas 2 sering tidak naik kelas dan kelihatan kecil.
- Tekanan darah normal, takipneu (110 kali/menit), respirasi normal (20 kali/menit).
- Mata eksoftalmus
- Benjolan di leher konsistensi lunak, tidak nyeri, dan mudah digerakkan.
- Pemeriksaan laboratoriun TSHs < 0,005 µIU/ml (turun) , FT4 20 µg/ dl (naik), FT3 15 ng/ml (naik).
- Pasien didiagnosis Graves disease dan diberi pengobatan propiltiourasil (PTU) 3x200 mg dan propanolol 3x10 mg.
- Pasien mau dioperasi namun dibatalkan karena pasien takut akan adanya hipotiroidisme, hipo/hiperparatiroidisme, dan krisis tiroid pasca operasi.
F. Hipotesis
1. Benjolan pada pasien dapat diakibatkan hipotiroidisme atau hipertiroidisme.
2. Berdasarkan gejala dan tanda klinis, pasien kemungkinan pasien mengalami hipertiroidisme khusunya penyakit Graves.
3. Pada daerah pasien terjadi endemic goiter yang dapat disebabkan hipo/hipertiroidisme berdasarkan data adanya tetangga pasien.
4. Anak tetangga pasien kemungkinan mengalami hipotiroidisme.
5. Hipotiroidisme pasca operasi dapat disebabkan oleh adanya penurunan fungsi dari kelenjar tiroid. Hipoparatiroidisme pasca operasi dapat disebabkan oleh pengangkatan kelenjar paratiroid secara tidak disengaja saat tiroidektomi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Hormon Tiroid
Hormon tiroid merupakan hormone yang terbentuk dari derivate asam amino tirosin yang disintesis dan disekresikan oleh kelenjar tiroid yang memiliki dua lobus dengan dihubungkan oleh isthmus (Sherwood, 2001; Djokomoeljanto, 2006; Histologi FK UNS, 2008). Kelenjar tiroid menempel pada kartilago thyroidea. Hormon tiroid yang dihasilkan berupa hormone triidotironin (T3) dan hormone tiroksin (T4) oleh sel-sel folikel dalam kelenjar tiroid. Kedua hormone tersebut merupakan regulator penting bagi laju metabolisme basal keseluruhan.
Bahan dasar sintesis hormone tiroid berupa iodium dan asam amino tirosin. Asam amino tirosin dalam diperoleh dalam tubuh sendiri sedangkan iodium harus diperoleh dari makanan. Sintesis hormone tiroid terjadi dalam tiroglobulin yang dihasilkan oleh apparatus Golgi/reticulum endoplasma sel folikel. Tirosin akan bergabung dengan tiroglobulin saat tiroglobulin iproduksi dan akan dikeluarkan ke dalam koloid. Tiroid menangkap iodide dan bdiubah menjadi iodium dari darah menuju koloid. Kemudin terjadi penggabungan iodium ke sebuah tirosin dalam tiroglobulin yang membentuk monoiodotironin (MIT, terdiri dari sebuah iodium dan tirosin) dan diiodotironin (DIT, terdiri dari dua iodium dan tirosin). Penggabungan satu MIT dengan satu DIT membentuk hormone triiodotironin (T3) dan penggabungan dua DIT membentuk tetraiodotironin (T4, tiroksin). Sebagian besar sekresi hormone tiroid berupa T4 walaupun T3 memiliki aktivitas biologis lebih besar dari T4. Namun sebagian besar T4 akan diubah menjadi T3 dan juga T3reverse. Hormon tiroid sebagian besar diangkut dalam sirkulasi darah dalam bentuk terikat dengan protein plasma seperti Thyroid Binding Globulin (TBG), Thyroid Binding Prealbumin (TBPA), dan terikat albumin. Sebagian kecil alam bentuk bebas di mana memiliki aktivitas biologis lebih besar dan mampu merangsang reseptor sel/jaringan sasaran. Sekresi hormone tiroid dipengaruhi oleh TSH (Thyroid Stimulating Hormone) yang disekresikan hipofisis anterior dan TSH dipengaruhi oleh TRH (Thyroid Releasing Hormone) yang disekresikan oleh hipotalamus. Hormon tiroid dapat memberikan umpan balik negative terhadap TSH atau TRH (Sherwood, 2001; Djokomoeljanto, 2006).


Efek metabolik hormone tiroid
- Termoregulasi dan kalorigenik (penghasil panas)
- Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolic dan dosis besar bersifat katabolic.
- Bersifat diabetogenik dalam metabolsme karbohidrat.
- Dalam metabolisme lipid, T4 dapat mempercepat sintesis kolesterol, tetapi jauh lebih cepat efeknya dalam pross degradasi dan ekskresinya kolesterol.
- Pembentuksn vitamin A dari provitamin A di hati.
Efek Laju Metabolisme
Hormon tiroid merupakan regulator penting dalam tingkat konsumsi O2 dan pengeluaran energy saat istirahat. Hormon tiroid juga dapat menurunkan kadar superoksida dismutase hingga radikal bebas anion superoksida meningkat.
Efek Simpatomimetik (efek yang dihasilkan oleh saraf simpatis)
Hormon tiroid meningkatkan ketanggapan sel sasaran terhadap katekolamin (epinefrin dan norepinefrin), zat perantara kimia yang digunakan oleh saraf simpatis.
Efek Sistem Kardiovaskuler
Hormon tiroid dapat meningkatkan kecepatan dan kekuatan kontraksi jantung sehingga curah jantung meningkat.
Efek pertumbuhan
Hormon tiroid dapat merangsang sekresi dan efek hormone pertumbuhan pada sintesis protein struktural baru dan pertumbuhan rangka.

B. Hormon Paratiroid
Hormon paratiroid merupakan hormone peptida yang disekresikan oleh kelenjar paratiroid yang terletak tepat di belakang kelenjar tiroid—satu kelenjar di belakang setiap kutub atas dan kutub bawah kelenjar tiroid yang terdiri dari empat kelenjar tiroid. Sel utama penyusun kelenjar paratiroid yaitu chief cell dan sel oksifil. Chief cell merupakan sel yang menyintesis dan mengsekresikan hormone parathormon (PTH) dan sel oksfil belum jelas diketahui fungsinya. Efek keseluruhan PTH adalah meningkatkan konsentrasi Ca2+ dalam plasma dan mencegah hipokalsemia.
Efek PTH terhadap tulang
Hormone paratiroid meningkatkan kadar Ca2+ dalam plasma dengan mekanisme sebagai berikut:
- Menginduksi efluks cepat Ca2+ e dalam plasma dari tempat simpanannya pada tulang
- Merangsang pelarutan tulang
Tulang merupakan tempat penyimpanan utama ion Ca2+ dalam bentuk kalsiumfosfat.
Efek Pada Ginjal
Hormon paratiroid merangsang peningkatan reasorbsi ion Ca2+ dan mendorong pengeluaran fosfat selama pembentukan urin di ginjal.
Efek Pada Usus
Walapun PTH tidak memiliki efek secara langsung pada usus, namun PTH secara todak langsung meningkatkan reabsorpsi Ca2+ dan PO4 dari usus halus melalui peranannya dalam mengaktifkan vitamin D. Vitamin D ini pada gilirannya secara langsung meningkatkan penyerapan Ca2+ dan PO4 oleh usus.

C. Pemeriksaan Laboratorium
TSH (Thyroid Stimulating Hormone)
Fungsi dari TSH yaitu untuk merangsang kelenjar tiroid menghasilkan hormone tiroid terutama tiroksin. Kadar normal TSH dalam serum pada dewasa yaitu: 2–5,4 µ IU/ml atau < 3 ng/ml dan pada bayi baru lahir < 25 µ IU/ml. Kadar normal TSHs 0,02-5,0 µIU/ml (Patofisio). Apabila terjadi T4 turun dan TSH normal/meningkat kemungkinan ada gangguan berasal dari tiroid. Apabila terjadi penurunan hormone tiroid dan TSH kemungkinan terjadi gangguan pada kelenjar hipofisis (Sutedjo, 2007).

T3 (Triiodotironin)
Kadar normal T3 plasma pada orang dewasa yaitu 80-120 ng/dl, bayi baru lahir 90-170 ng/dl, dan usia 6-12 tahun 114-190 ng/dl. Penurunan kadar T3 dapat terjadi pada trauma, penyakit berat, malnutrisi, obat-obatan propeltiourasil (PTU), metimazol, metiltiourasil, steroid, sulfonamide. Peningkatan kadar T3 terjadi pada hipertiroidisme, tiroiditis Hashimoto, tirotoksikosis T3.

T4 (Tiroksin)
Kadar normal T4 plasma pada orang dewasa sekitar 4,5-13 µg/dl dan kadar FT4 (T4 bebas) sekitar 1,0-2,3 ng/dl. Peningkatan kadar T4 plasma dapat terjadi pada hipertiroidisme, tiroiditis akut, myasthenia gravis, dan kehamilan. Penurunan kadar T4 plasma terjadi pada hipotiroidisme, malnutrisi protein (Sutedjo, 2007).


RAI (Radioactive Iodine)
RAI (Radioactive Iodine) utk mengukur kemampuan tiroid utk menangkap dan mengubah iodida. Pada keadaan hipertiroidisme RAI meningkat. RAI juga dapat digunakan untuk etiologinya. Misal: Peningkatan penyerapn secara difus di seluruh kelenjar (Penyakit Graves), penyerapan di sebuah nodul (adenoma toksik), atau penurunan penyerapan (tiroiditis).


D. Hipertiroidisme
Pengertian
Sebelum kita mengenal lebih jauh tentang hipertiroidisme, terlebih dahulu perlu adanya pemahaman mengenai pengertian antara tirotoksikosis dengan hipertiroidisme. Di mana tirotoksikosis merupakan manifestasi klinis kelebihan hormone tiroid yang beredar dalam sirkulasi sedangkan hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar tiroid yang hiperaktif. Namun ada juga pengertian tirotoksikosis yaitu keadaan hipermetabolik yang disebabkan oleh meningkatnya kadar T3 dan T4.

Etiologi/Penyebab Tirotoksikosis
Hipertiroidisme primer Tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme Hipertiroidisme sekunder
Penyakit Graves Tiroiditis sub-akut TSH-secreting tumor chGH
Gondok multinoduler toksik Hormon tiroid berlebih Adenoma hipofisis sekresi TSH
Adenoma toksik Silent thyroiditis Sindrom resistensi hormone tiroid
Obat : Iodium lebih(fenomena Jod-Basedow), Litium Destruksi kelenjar: amiodaron, radiasi Tirotoksikosis gestasi (trimester pertama)
Karsinoma tiroid yang berfungsi I-131, adenoma, infark Tumor sekresi gonadotropin chorionic
Struma ovarii (ektopik)
Mutasi reseptor TSH, Gs α


Gejala dan tanda
Gejala Tanda
Hiperaktif, iritabilitas, disforia (cemas) Takikardia
Intoleransi panas, banyak keringat Tremor (halus)
Palpitasi Goiter/gondok
Fatigue (cepat lelah), kelemahan Panas, kulit lembab
Penurunan BB, nafsu makan meningkat Kelemahan otot, miopati proksimal
Diare Retraksi(tertarik ke belakang) kelopak mata/gerakannya tidak lancar
Poliuria Ginekomastia (perkembangan berlebihan kelenjar susu laki-laki)
Oligomenorrhea, hilangnya libido

(Kasper, et al., 2005)
Pemeriksaan Penunjang
Kadar TSH serum turun akibat umpan balik (-) peningkatan kadar hormone tiroid.
Kadar T3 dan T4 baik terikat maupun bebas meningkat.
RAI (Radioactive Iodine) untuk mengukur kemampuan kelenjar tiroid untuk menangkap dan menyerap iodide untuk sintesis hormone tiroid. Hasilnya: RAI meningkat.
RAI jga dapat digunakan untuk mengetahui etiologinya spserti:
Peningkatan penyerapan secara difus (menyebar luas) di seluruh kelenjar (Peny. Graves)
Peningkatan penyerapan di sebuah nodul (adenoma toksik)
Penurunan penyerapan (tiroiditis)
Diagnosis
Diagnosis hipertiroidisme ditegakkan atas dasar gambaran klinis dan data hasil pemeriksaan laboratorium. Untuk fungsi tiroid diperiksa kadar hormon beredar Total T4, T3 (dalam keadaan tertentu sebaiknya fT4 dan fT3) dan TSH, ekskresi yodium urin, kadar tiroglobulin, uji tangkap I131, sintigrafi dan kadang dibutuhkan pula FNA (Fine needle aspiration biopsy), antibodi tiroid (ATPO-Ab, ATg-Ab), TSI. Tidak semua diperlukan.Untuk fase awal penentuan diagnosis, perlu T4 (T3) dan TSH, namun pada pemantauan cukup diperiksa T4 saja, sebab sering TSH tetap tersupresi padahal keadaan membaik.Untuk memeriksa mata disamping klinis digunakan alat eksoftalmometer Herthl.
Pada kelompok usia lanjut gejala dan tanda – tanda tidak sejelas pada usia muda, malahan dalam beberapa hal sangat berbeda. Perbedaan ini antara lain dalam hal : berat badan menurun mencolok (usia muda 20% justru naik); nafsu makan menurun, mual, muntah, dan sakit perut; fibrilasi atrium, payah jantung, blok jantung sering merupakan gejala awal dari occult hyperthyroidism, takiaritmia; Lebih jarang dijumpai takikardia (40%); Eye signs tidak nyata atau tidak ada; Bukannya gelisah justru apatis. (Sudoyo et al, 2006)

E. Penyakit Graves
Pengertian
Penyakit Graves adalah suatu gangguan autoimun di mana terdapat suatu defek genatik dalam limfosit Ts dan sel Th merangsang sel B untuk sintesis antibody terhadap antigen tiroid (Dorland, 2005). Penyakit Graves merupakan penyebab tersering hipertiroidisme. Pada penyakit ini ditandai oleh adanya proses autoimun disertai hyperplasia (pembesaran kelenjar akibat peningkatan jumlah sel) kelenjar tiroid secara difus.
Etiologi
Penyakit ini merupakan penyakit autoimun yang ditimbulkan oleh adanya reaksi beberapa autoantibody terhadap reseptor tirotropin (TSH). Autoantibodi tersebut dapat disebabkan oleh:
1. Autoantibodi terhadap reseptor TSH atau thyroid stimulating immunoglobulin (TSI)
2. Thyroid-growth-stimulating immunoglobulin (TGI)
3. TSH-binding inhibitor immunoglobulin (TBII)
Patogenesis
TSI dalam serum berupa long-acting thyroid stimulator (LATS) berupa IgG yang mengikat reseptor TSH dan mampu menstimulasi akttivitas adenilat siklase yang berperan mengubah ATP menjadi cAMP. cAMP berperan sebagai second messenger yang dapat meningkatkan proses intraseluler sehingga terjadi peningkatan pelepasan hormone tiroid. TGI berperan pada proliferasi epitel folikel tiroid. TBII merupakan antibody anti-reseptor TSH, bekerja menyamar seperti TSH sehingga terjadi stimulasi aktivitas sel epitel kelenjat tiroid.
Gambaran Klinis
Penyakit ini ditandai dengan trias manifestasi berupa:
1. Tiroksikosis/hipertiroidisme akibat pembesaran difus tiroid yang hiperfungsi.
2. Oftalmopati infiltratif yang menyebabkan eksoftalmus
3. Dermopati infiltratif dengan mixedema pre tibia.
Eksoftalmus terjadi akibat kombinasi infiltrasi limfosit, pengendapan glikosaminoglikan, adipogenesis dalam jaringan ikat orbita sehingga eksofltalmus. Jaringan tertentu diluar tiroid seperti fibroblas orbita secara aberan mengekpresikan reseptor TSH di permukaannya. Sebagai respons terhadap antibodi anti-reseptor TSH di darah dan sitokin lain milieu lokal, fibroblas mengalami diferensiasi menuju adiposit matang dan mengeluarkan glikosaminoglikan hidrofilik ke interstisium sehingga terjadi eksoftalmus. Mekanisme ini hampir sama terjadi pada dermopati penyakit Graves. Pada penyakit Graves terjadi penurunan TSH dan peningkatan T3 dan T4 bebas serta penyerapan RAI meningkat (Vinay, et al., 2007; Patologi Anatomi FK UNS, 2008).
Penatalaksanaan
Terapi pada penyakit Graves dapat melalui tiga macam terapi, yaitu: terapi obat antitiroid, tiroidektomi,yodium radioaktif. Terapi mobat dapat diberikan metimazol. Propiltiourasil, dan levotiroksin. Tiroidektomi subtotal merupakan pengobatan terpilih untuk pasien dengan pembesaran kelenjar tiroid atau goiter multinoduler. Terpi yodium radioaktif dengan menggunakan I131 merupakan pengobatan lebih baik pada kebanyakan pasien berusia di atas 21 tahun (Katzung, 1997).

F. Hipotiroidisme
Etiologi
Hipotirodisme dibedakan atas hipotiroidisme sentral dan primer. Berbagai penyebab terjadinya hipotirodisme :
Penyebab Hipotiroidisme Sentral (HS) Penyebab Hipotiroidisme Primer Hipotiroidisme Sepintas
(Transient)
Lokalisasi hipofisis atau hipotalamus
1. Tumor, infiltrasi tumor
2. Nekrosis iskemik (sindrom Sheehan pada hipofisis)
3. Iatrogen ( radiasi, operasi)
4. Infeksi ( sarcoidosis, histiosis) 1. Hipo- atau agenesis kelenjar tiroid
2. Destruksi kelenjar tiroid
a. Pasca radiasi
b. Tiroiditis autoimun, Hashimoto,
c. Tiroiditis De Quervain
d. Postpartum tiroiditis
3. Atrofi (berdasar autoimun)
4. Dishormonogenesis sintesis hormon
5. Hipotiroidisme transien 1. Tiroiditis de Quervain
2. Silent thyroiditis
3. Tiroiditis postpartum
4. Hipotiroidisme neonalatal sepintas

Manfestasi klinis
Gejalanya dapat dibedakan menjadi dua kelompok : 1. Kekurangan hormon tiroid di jaringan (bersifat umum) 2. Karena penyakit dasarnya (bersifat spesifik).
Keluhan utama yaitu kurang energi, manifestasinya sebagai lesu, lamban bicara, mudah lupa, obstipasi. Metabolisme rendah menyebabkan bradikardia, tak tahan dingin, berat badan naik, anoreksia. Psikologis : Depresi, meskipun nervositas dan agitasi dapat terjadi. Reproduksi : oligomenorea, infertil, aterosklerosis meningkat. Ada tambahan keluhan spesifik, terutama pada tipe sentral. Pada tumor hipofisis mungkin ada gangguan visus, sakit kepala, muntah. Sedangkan dari gagalnya fungsi hormon tropiknya, misalnya karena ACTH kurang, dapat terjadi kegagalan faal korteks adrenal dan sebagainya (Djokomoeljanto, 2006).
Penegakan diagnosis
Sebaiknya diagnosis ditegakkan selengkap mungkin : diagnosis klinis- subklinis, primer-sentral, kalau mungkin etiologinya.
Grades Gambaran Klinis Serum TSH Thyroid reserve Thyroid antibodies Serum thyroxin Serum cholestrol TSH response to TRH ECG
Overt ++ ++ ++ + or 0 ++ ++ Supranormal ++
Mild + + + + or 0 + or 0 + Supranormal +
Subclinical 0 + + + or 0 0 + or 0 Supranormal + or 0
Presubclinical 0 0 0 0 0 0 or + Supranormal + or 0
(Djokomolejanto, 2006)



G. Hipoparatiroidisme
Bila kelenjar paratiroid tidak menyekresikan hormone paratiroid dalam jumlah cukup, reabsorpsi osteositik dari kalsium yang dapt bertukar akan menurun dan osteoklas menjadi inaktif seluruhnya.Sebagai akibatnya, reabsorpsi kalsium dari tulang menjadi sangat tertekan sehingga kadar kalsium dalam cairan tubuh menurun.Namun, karena kalsium dan fosfat tidak diabsorpsi dari tulang, tulang biasanya teteap kuat
Bila kelenjar paratiroid tiba-tiba diangkat, kadar kalsium dalam darah turun dari nilai normal 9,4 menjadi 6 sampai 7 mg/dt dalam waktu 2 sampai 3 hari dan konsentrasi fosfat dalam darah dapat menjadi berlipat ganda. Bila kadar kalsium yang rendah ini dicapai, tanda-tanda umum tetani dapat ditemukan. Diantara otot-otot tubuh yang sangat peka terhadap spasme tetani adalah otot laring. Spasme pada otot laring dapat menghambat jalannya respirasi, yang merupakan penyebab kematian yang umum pada tetani kecuali bila dilakukan pengobatan yang tepat.
Pengobatan hipoparatiroidisme :
Hormon Paratiroid (Parathormon)
Hormon paratiroid biasanya digunakan untuk mengobati hipoparatiroidisme. Akan tetapi dalam pemakaian hormone ini efeknya paling lama berlangsung selama beberapa jam serta tubuh mempunyai kecenderungan mengembangkan imunitas melawan hormone sehingga mengakibatkan hormone secara progresif makin kurang efektif.Oleh karena itu, pengobatan hipoparatiroidisme dengan hormone paratiroid jarang ditemukan dalam pengobatan saat ini.
Pengobatan dengan Vitamin D dan Kalsium
Pada sebagian protein, pemberian vitamin dalam jumlah yang sanagt besar, sebnyak 100.000 unit setiap hari, bersama dengan pemasukan kalsium 1 sampai 2 garam akan dapat menjaga konsentrasi ion kalsium dalam kisaran normal. Pada waktu tertentu, mungkin perlu untuk memberikan 1,25-dehidrosikolekalsiferol daripaada bentuk vitamin D yang tidak aktif karena 1,25-dehidroksikolekalsiferol lebih kuat dan memiliki kerja yang jauh lebih cepat. Tindakan ini dapat juga menimbulkan efek yang tidak diinginkan, sebab kadangkala sukar untuk mencegah timbulnya aktivitas yang berlebihan dari vitamin D yang sudah aktif ini (Guyton and Hall, 1997).

H. Hiperparatiroidisme
Penyebab hiperparatiroidisme biasanya adalah tumor dari salah satu kelenjar paratiroid, tumor ini lebih sering tumbuh pada wanita daripada pria atu anak-anak, terutama karena kehamilan dan penyapihan merangsang kelenjar paratiroid dan oleh karena itu merupakan predisposisi untuk perkembangan tumor ini.
Hiperparatiroidisme menyebabakan aktivitas osteoklasik yang berlebihan dalam tulang. Keadaan ini akan meningkatkan konsentrasi ion kalsium dalam cairan ekstraselular sementara biasanya menekan konsentrasi ion fosfat karena peningkatan ekskresi fosfat ginjal (Guyton and Hall, 1997).

I. Tiroiditis
Pengertian
Tiroiditis merupakan suatu kelainan kelenjar tiroid yang ditandai adanya inflamasi tiroid. Hal ini termasuk di dalamnya keadaan yang timbul mendadak dengan disertai rasa sakit yang hebat pada tiroid dan di mana secara klinis tidak ada inflamasi dan manifestasi penyakit terumatam disfungsi tiroid atau pembesaran kelenjar tiroid.
Klasifikasi
Tiroiditis dapat dibagi berdasar atas etiologi, patologi atau penampilan klinisnya. Penampilan klinis dapat berupa perjalanan penyaklit dan ada tidaknya rasa sakit pada tiroid. Berdasarkan hal tersebut tiroiditis dibagi menjadi:
1. Tiroiditis akut dan disertai rasa sakit
Tiroiditis infeksiosa akut(tiroiditis supativa). Tiroiditis oleh karena radiasi, tirioditis traumatika.
2. Tirioditis subakut
Yang disertai rasa sakit: tiroiditis granulamutosa(tirioditis nonsuprativa=tiroiditis de Quarvain)
Yang tidak disertai rasa sakit: tirioditis limfositik subakut, tiroiditis post partum, tiroiditis oleh karena obat-obatan.
3. Tiroiditis kronis
Tiroiditis Hashimoto, tiroiditis Riedel, tiroiditis infeksiosa kronis oleh karena mikobakteri, jamur, dan sebagainya.

Tiroiditis Hashimoto
Tiroiditis Hashimoto merupakan penyakit penyebab tersering hipotriroidisme pada beberapa tempat yang tidak kekurangan yodium. Pada penekit ini ditandai oleh adanya proses autoimun. Terjadi adanya infltrasi limfositik massif dan sel plasma dan pembesaran tiroid simetris dan moderat.
Patogenesis
Meskipun terutama disebabkan oleh gangguan pada sel T, tiroiditis Hashimoto melibatkan respons seluler dan respons humoral. Pada awalnya, pengakitifan sel Th spesifik tiroid memicu pembentukan sel T sitotoksik dan autoantibody. Infiltrasi sel Tc berperan penting dalam destruksi parenkim. Selain itu, sel B yang tersensitasi mengeluarkan antibody antireseptor TSh inhibitorik yang menghambat kerja TSH sehingga ikut berperan dalam hipotiroidisme. Antibody lain dalam sirkulasi yaitu antibody antitiroglobulin dan antitiroid peroksidase meungkin terbentuk sebagai akibat kerusakan jaringan dan terpajannya antigen tiroid. Terdapat komponen genetic yang signifikan pada pathogenesis penyakit ini dalam subtype HLA-DR3 dan HLA-DR5.
Gambaran Klinis
Pembesaran tiroid tidak nyeri, difus (menyebar luas), simetris, biasanya berkaitan dengan hipotrioidisme yang terjadi pada wanita usia 45-65 tahun. Terdapat dua bentuk tiroiditis Hashimoto yaitu goiter dan atrofi (mengecil). Terdapat infiltrasi limfosit dan destruksi sel-sel folikel.
(Vinay, et al., 2007; Patologi Anatomi FK UNS, 2008; Wiyono, 2006)

Tiroiditis Riedel
Merupakan penyakit terbatas pada kelenjar torid saja. Pembesaram tiroid secara progresif yang tidak disertai rasa nyeri, konsistensi keras, dan bilateral. Terdapat tanda klinis suara serak, disfagia,sesak napas karena adanya penekanan pembesaran tiroid pada bagian leher depan dan kadang-kadang dapat menyebabkan hipoparatiroid. Kelenjar tiroid pada penyakit ini seperti batu dan melekat pada jaringan otot sekitarnya sehingga apabila saat menelan tiroid tidak ikut bergerak dimana pada kondisi normal dapat bergerak. Kebanyakan pasien ini memiliki kadar T3, T4, dan TSH normal dan didapat adanya peningkatan antibody terhadap tiroid. Pada gambaran makroskopis tiroiditis riedel adalah keras, putih, avaskuler dan secara histologist didapatkan jaringan fibrosis hialin dengan sedikit sel limfosit, plasma, dan eosinofil, disertai tidak adanya folikel tiroid (Djokomoeljanto, 2006).









BAB III
PEMBAHASAN


A. Interpretasi Tanda dan Gejala Pasien Serta Penetapan Diagnosis
Benjolan pada leher pasien dapat disebut sebagai gondok/goiter/struma. Goiter mengacu pada adanya pembesaran kelenjar tiroid yang dapat timbul akibat stimulasi berlebihan oleh TSH atau TSI. Goiter ini dapat menyertai pada keadaan hipertiroidisme atau hipotriroidisme namun tidak selalu ada pada kedua keadaan tersebut. Pada hipotiroidisme sekunder dari kegagalan hipotalamus dan hipofisis tidak akan disertai goiter karena tidak adanya rangsangan berlebihan. Namun pada hipotiroidisme oleh kegagalan kelenjar tiroid atau kekurangan yodium sehingga kadar hormone tiroid dalam darah rendah menyebabkan tidak adanya reaksi umpan balik negative terhadap hipotalamus atau hipofisis. Perlu kita ketahui, bahwa TSH selain berperan dalam meingkatkan kecepatan sekresi hormone tiroid juga berperan untuk meningkatkan ukuran dan jumlah sel folikel. Pada keadaan hipertiroidisme yang disertai goiter dapat disebabkan oleh sekresi TSH yang berlebihan karena stimulasi berlebihan terhadap pertumbuhan sel folikel tiroid. Pada penyakit Graves terjadi goiter yang dusertai hipertiroidisme karena adanya hipersekresi dari TSI yang merangsang pertumbuhan tiroid dan meningkatkan sekresi hormone tiroid.
Benjolan pada pasien sejak dua tahun yang lalu makin membesar, badan panas, badan teras lemah, leher tidak nyeri dan dikatakan mengalami radang tiroid (tiroiditis). Hal ini dapat mungkin terjadi namun pasien tidak mungkin mengalami tiroiditis akut atau sub akut karena kejadian ini berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu pada pasien sehingga kemungkinan pasien mengalami tiroiditis kronis. Tiroiditis kronik terdiri dari tiroiditis Hashimoto dan tiroiditis Riedel. Pasien tidak mungkin mengalami tiroiditis Hashimoto (TH) dikarenakan biasanya pasien TH wanita dengan usia 45-65 tahun, berkaitan dengan hipotrioidisme. Begitu juga pasien tidak mungkin mengalami tiroiditis Riedel (TR) karena pada TR konsistensi pembesaran tiroid keras dan adanya tanda-tanda seperti suara serak , disfagia, sesak napas serta kadang-kadang timbul hipotirodisme. Selin itu, pada pasien TR kadar TSHs, T4,dan T3 normal di mana hal ini bertolak belakangan dengan hasil lab pasien.
Pasien mengalami banyak keringat dan suka hawa dingin (berarti terjadi intoleransi panas) khas terjadi pada keadaan hipertiroidisme. Hal ini terjadi karena fungsi hormone tiroid sebagai penghasil panas (kalorigenik) terjadi peningkatan sehingga terjadi kompensasi tubuh untuk melepaskan panas melalui keringat sehingga suhu tubuh normal tetap terjaga. Gemetar (tremor) pada pasien meruapakan tanda hipertiroidisme yang diakibatkan oleh adanya peningkatan saraf simpatis oleh hormone tiroid.
Kemungkinan pada daerah pasien terjadi endemic goiter yang dilihat dari adanya tetangga pasien yang mengalami benjolah pada leher. Selain itu, anak tetangga pasien kemungkinan mengalami hipotiroidisme dikarenakan kebutuhan yodium dan tirosin meningkat atau adanya defek enzim dan biosintesis hormone tiroid kongenital. Hal ini dilihat karena anak tersebut tidak naik kelas sehingga kemungkinan ada keterlambatan fungsi kognitif dan badan terlihat kurus karena kurangnya proses pertumbuhan akibat kekurangan hormone tiroid.
Pada hasil pemeriksaan laboratorium yang mendukunga pasien mengalami hipertiroidisme yaitu: eksoftalmus, brakikardia, penurunan TSHs, peningkatan T3 dan T4 bebas. Eksoftalmus merupakan tanda khas dari hipertiroidisme pada penyakit Graves. Brakikardia pada hipertiroidisme disebabkan oleh terjadinya peningkatan daya kerja dan kontraksi jantung yang dirangsang oleh epinefrin yang dapat ditingkitkan sensitivitas sel/jaringan targetnya oleh hormone tiroid. Penurunan TSH sebagai akibat efek umpan balik negative oleh adanya peningkatan kadar hormone tiroid. Selain itu pasien diberi obat propiltiourasil dan propanolol di mana obat tersebut digunakan pada terapi hipertiroidisme.
Berdasarkan hal di atas, kemungkinan pasien menderita hipertiroidisme akibat penyakit Graves.

B. Efek dan Mekanisme Obat Propiltiourasil dan Propanolol
Propiltiourasil dan propanolol merupakan jenis obat untuk terapi hipertiroidisme. Propiltiourasil (PTU) merupakan derivate tioamin yang dapat mereduksi yodium menjadi iodide kembali, PTU bekerja menghambat organifikasi iodine dan menghambat konversi T4 menjadi T3 sehingga menyebabkan kadar hormone tiroid aktif (khususnya T3) menurun lebih cepat (Katzung, 1997; Marmimah, 1996).
C. Prognosis Pasca Operasi Tiroidektomi
Pada operasi bedah tiroidektomi dapat terjadi hipotiroidisme disebabkan oleh tidsak mampunya sel/jaringan tiroid tersisa melaksanakan semua fungsi kelenjar sehingga pasien akan rawan mengalami hipotiroidisme. Selian itu juga dapat meningkatkan terjadinya hipoparatiroidisme dikarenakan seringnya pada tiroidektomi kelenjar paratiroid ikut terangkat karena kelenjar tersebut menempel kecil dan menempel pada kelenjar tiroid. Namun hal ini kadang-kadang bersifat sementara. Kemungkinan lain adanya hiperparatiroidisme dikarenakan kemampuan sel/jaringan paratiroid yang tersisa dapat terjadi hipertrofi sehingga fungsi semua kelenjar dapat tercapai bahkan lebih. Namun mekanisme pasti terjadinya hasl tersebut belum jelas. Pada keadaan tiroidektomi dapat juga menimbulkan krisis tiroid yang dapat disebabkan oleh adanya trauma ringan atau stress seperti akibat anestesi, pembedahan, dan sakit infeksi.





























BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
1. Pasien kemungkinan mengalami hipertiroidisme akibat penyakit graves berdasarkan tanda, gejala, dan hasil pemeriksaan laboratorium.
2. Obat PTU dan propanolol digunakan sebagai obat antitiorid untuk terapi hipotiroidisme.
3. Pada tiroidektomi dapat terjadi komplikasi berupa hipotiroidisme, hiop/hiperparatiroidisme, dan krisis tiroid.

B. Saran
1. Sebaiknya pasien melaksanakan terapi obat anitiroid dengan baik dan teratur.
2. Sebaiknya pasien juga melaksanakan diet yodium untuk menjaga homeostatis kadar yodida dan menghindari makanan goitrogenik seperti kubis, kol, dan kembang kol.



















DAFTAR PUSTAKA


Djokomoeljanto, R. 2006. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Guyton, Arthtur C dan Hall, John E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC.

Kasper, et al. 2007. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th Edition volume II. Phidelphia: Mc-Graw Hill Co.

Katzung, Bertram G. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi IV. Alih bahasa: Staf Dosen Farmakologi FK UNSRI. Jakarta: EGC.

Kumar, Vinay, dkk. 2007. Buku Ajar patologi Robins. Edisi 7 Volume 2. Alih bahasa:Hartanto, Huriawati. Jakarta: EGC.

Marminah, Titiek M. 1996. Buku Pegangan Kuliah: Farmakologi Hormon Tiroid, Obat Antitiroid, dan Oksitosik. Surakarta: Bagian Farmakologi FK UNS.

Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: EGC.

Tim Penyusun. 2008. Buku Pedoman Mahasiswa Blok V. Surakarta: Unit Pengembangan Pendidikan Kedokteran UNS.

Wiyono, Paulus. 2006. Tiroiditis. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FKUI.