19.6.09

Gastritis

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Gangguan gastrointestinal mencakup sejumlah besar penyakit yang menyebabkan penderita mencari pertolongan medis dan merupakan penyebab utama kasus rawat inap di Amerika Serikat. Walaupun gangguan gastrointestinal tidak secara langsung menyebabkan kematian seperti penyakit kardiovaskular, tetapi merupakan salah satu dari lima besar penyakit penyebab kematian.

Saluran gastrointestinal sangat rentan terhadap serangan penyakit mendadak dengan gejala yang ganas, tetapi penyakit semacam ini umumnya akan mereda dalam waktu singkat dan tidak meninggalkan efek sisa. Gangguan semacam ini tidak diragukan lagi disebabkan oleh menelan makanan dan minuman yang terkontaminasi bakteri atau senyawa kimia lain.

Oleh karena itu, pengetahuan mengenai manifestasi, patofisiologi, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang mengenai gangguan gastrointestinal sangat perlu dikuasai oleh seorang dokter umum, sehingga nantinya dapat segera memberikan penatalaksanaan yang tepat, atau bahkan merujuk kepada pihak yang lebih ahli dalam bidang tersebut bila perlu untuk mendapatkan tindakan lebih lanjut.

B. RUMUSAN MASALAH

Wanita, 30 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan sakit perut dan diare. Riwayat penyakit sekarang yaitu perut tidak enak, nyeri pada epigastrium, nausea terkadang vomitus, nocturnal pain positif. Penderita sering meminum obat maag dan anti muntah. Pernah berobat ke dokter dan didiagnosis gastritis atau ulkus peptikum. Tiga hari sebelum masuk rumah sakit penderita diare, konsistensi encer, tanpa disertai lendir atau darah, warna kuning bau amis. Selain itu juga disertai nausea dan vomitus. Badan juga lemah dankencing sedikit. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah, gizi cukup, dan kesadaran apatis. Tekanan darah 80/50 mmHg, nadi 110 kali permenit, respirasi 28 kali permenit, suhu 37oC, mata cekung, bibir kering, epigastric tendereness positif, turgor perut menurun, dan kedua tangan keriput. Berdasarkan riwayat penyakit, manifestasi klinis yang ada, dan semua hasil pemeriksaan, apakah penyakit yang diderita wanita ini? Bagaimana interpretasi hasil dari seluruh pemeriksaan? Bagaimana patofisiologi dan patogenesisnya dari manifestasi yang timbul? Bagaimana penatalaksanaan dan prognosisnya?

C. TUJUAN

~Mahasiswa memiliki dasar pengetahuan dan mampu menerapkan konsep dan prinsip ilmu gastrointestinal untuk mengetahui penyakit-penyakit sistem gastrointestinal.

~Mahasiswa mampu memahami dasar-dasar serta prinsip-prinsip pelaksanaan penyakit yang berkaitan dengan sistem gastrointestinal.

D. MANFAAT

Dari penulisan ini diharapkan mahasiswa mampu :

1. Menjelaskan ilmu-ilmu dasar yang berhubungan dan melingkupi sistem gastrointestinal meliputi anatomi, histologi dan fisiologi

2. menjelaskan patogenesis, patologi dan patofisiologi penyakit gastrointestinal.

3. Menjelaskan penanganan yang komprehensif kelainan dan penyakit pada gastrointestinal

4. Menjelaskan efektivitas penanganan dan prognosis pada kelainan gastrointestinal

5. Menggunakan teknologi informasi untuk mencari informasi terkini mengenai penyakit gastrointestinal

6. Merancang manajemen penyakit dan kelainan gastrointestinal

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat di bawah diafragma. Bentuk lambung bermacam-macam karena dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain sikap tubuh (berdiri, terlentang, atau miring), isi lambung, stadium pencernaan yang dicapai, desakan organ-organ yang ada di sekitarnya, dan lain sebagainya. Dalam keadaan kosong lambung menyerupai tabung berbentuk J, dan apabila penuh lambung berbentuk seperti buah pir raksasa. Namun, ada juga lambung yang berbentuk seperti huruf U, bentuk tanduk sapi (cow horn), bentuk kemudi mobil (steer shape), maupun seperti jam pasir (hour glass).

Lambung merupakan bagian dari tractus gastrointestinalis yang melebar dan mempunyai 3 fungsi utama, yaitu (Budianto dkk, 2005):

1. Menyimpan makanan

2. Mencampur makanan dengan getah lambung untuk membentuk chimus yang setengah padat

3. Mengatur kecepatan pengosongan chimus ke intestinum tenue sehingga pencernaan yang efisien dapat berlangsung.

Secara anatomis, permukaan luar lambung mempunyai 2 lubang yaitu ostium cardiacum dan ostium pyloricum. Selain itu juga mempunyai 2 curvature/lengkungan yang dikenal sebagai curvatura gastrica major dan curvatura gastrica minor. Lambung mempunyai 3 buah incisura, yaitu incisura cardiaca, incisura angularis, dan sulcus intermedius. Bagian-bagian lambung antara lain:

1. Fundus gastricus: berbentuk kubah, menonjol ke atas dan terletak di sebelah kiri ostium cardiacum. Biasanya fundus terisi penuh oleh gas.

2. Korpus: adalah bagian lambung dari ostium cardiacum sampai incisura angularis.

3. Antrum pilorikum atau pilorus: adalah bagian lambung yag paling berbentuk seperti lambung, dimana lapisan ototnya tebal membentuk M. sphincter pyloricus.

Sfingter pada kedua ujung lambung mengatur pengeluaran dan pemasukan yang terjadi. Sfingter cardia atau sfingter esofagus bawah, mengalirkan makanan masuk ke dalam lambung dan mencegah refluks isi lambung memasuki esofagus kembali. Daerah lambung tempat pembukaan sfingter cardia dikenal dengan nama daerah cardia. Di saat sfingter pyloricum terminal berelaksasi, makanan masuk ke dalam duodenum, dan ketika berkontraksi sfingter ini akan mencegah terjadinya relaksasi aliran balik isi usus ke dalam lambung.

Persarafan lambung sepenuhnya berasal dari sistem saraf otonom. Suplai saraf parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan dari abdomen melalui saraf vagus. Trunkus vagus mempercabangkan ramus gastrika, pilorika, hepatika, dan seliaka. Pengetahuan anatomi ini sangat penting, karena vagotomi selektif merupakan tindakan pembedahan primer yang penting dalam mengobati ulkus duodenum.

Persarafan simpatis melalui saraf splanchnicus major dan ganglia seliaka. Serabut-serabut aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh peregangan, kontraksi otot, serta peradangan, dan dirasakan di daerah epigastrium abdomen. Serabut-serabut eferen simpatis menghambat motilitas dan sekresi lambung. Pleksus saraf mienterikus (Auerbach) dan submukosa (Meissner) membentuk persarafan intrinsik dinding lambung dan mengkoordinasi aktivitas motorik dan sekresi mukosa lambung.

Seluruh suplai darah di lambung dan pankreas (serta hati, empedu, dan limpa) terutama berasal dari arteri seliaka atau trunkus seliakus, yang mempercabangkan cabang-cabang yang menyuplai kurvatura minor dan mayor. Dua cabang arteri yang penting dalam klinis adalah arteria gastroduodenalis dan arteria pankreatikoduodenalis (retroduodenalis) yang berjalan sepanjang bulbus posterior duodenum. Ulkus pada dinding posterior duodenum dapat mengerosi arteri ini dan menyebabkan terjadinya perdarahan. Darah vena dari lambung dan duodenum, serta yang berasal dari pankreas, limpa, dan bagian lain saluran gastrointestinal, berjalan ke hati melalui vena porta.

Lambung tersusun atas empat lapisan, antara lain:

1. Tunika serosa atau lapisan luar merupakan bagian dari peritoneum viseralis. Dua lapisan peritoneum viseralis menyatu pada kurvatura minor lambung dan duodenum kemudian terus memanjang ke hati, membentuk omentum minus. Lipatan peritoneum yang keluar dari satu organ menuju ke organ lain disebut sebagai ligamentum. Jadi omentum minus (ligamentum hepatogastrika atau hepatoduodenalis) menyokong lambung sepanjang kurvatura minor sampai ke hati. Pada kurvatura mayor, peritoneum terus ke bawah membentuk omentum majus, yang menutupi usus halus dari depan seperti sebuah apron besar. Sakus omentum minus adalah tempat yang sering terjadi penimbunan cairan (pseudokista pankreatikum) akibat penyulit pankreatitis akut.

2. Tunika muskularis tersusun atas 3 lapis dan bukan 2 lapis otot polos: jaringan longitudinal di bagian luar, lapisan sirkuler di tengah, dan lapisan oblik di bagian dalam. Susunan serabut otot yang unik ini memungkinkan berbagai macam kombinasi kontraksi yang diperlukan untuk memecah makanan mejadi partikel-partikel yang kecil, mengaduk dan mencampur makanan tersebut dengan cairan lambung, dan mendorongnya ke daerah duodenum.

3. Submukosa terdiri atas jaringan areolar longgar yang menghubungkan lapisan mukosa dan lapisan muskularis. Jaringan ini memungkinkan mukosa bergerak dengan gerak peristaltik. Lapisan ini juga mengandung pleksus saraf, pembuluh darah, dan saluran limfe.

4. Mukosa, lapisan dalam lambung, tersusun atas lipatan-lipatan longitudinal disebut rugae, yang memungkinkan terjadinya distensi lambung sewaktu diisi makanan. Terdapat beberapa tipe kelenjar pada lapisan ini dan dikategorikan menurut bagian anatomi lambung yang ditempatinya. Kelenjar kardia berada di dekat orifisium kardia dan menyekresikan mukus. Kelenjar fundus atau gastrik terletak di fundus dan pada hampir seluruh korpus lambung. Kelenjar gastrik mempunyai 3 tipe utama sel, yaitu sel-sel zimogenik (chief cell) menyekresikan pepsinogen. Pepsinogen diubah menjadi pepsin dalam suasana asam. Sel-sel parietal menyekresikan asam hidroklorida (HCl) dan faktor intrinsik. Faktor intrinsik diperlukan untuk absorbsi vitamin B12 di dalam usus halus. Kekurangan faktor intrinsik akan mengakibatkan terjadinya anemia pernisiosa. Sel-sel mukus (leher) ditemukan di leher kelenjar fundus dan menyekresikan mukus. Hormon gastrin diproduksi oleh sel G yang terletak pada daerah pilorus lambung. Gastrin merangsang kelenjar gastrik untuk menghasilkan asam hidroklorida dan pepsinogen. Substansi lain yang disekresi dalam lambung adalah enzim dan berbagai elektrolit, terutama ion natrium, kalium, dan klorida.

Pengaturan sekresi lambung dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu (Setiawan, 1997):

1. Fase sefalik, berlangsung bahkan sebelum makanan masuk ke dalam lambung atau sewaktu makanan masih dimakan. Fase ini timbul dari melihat, membaui, membayangkan, atau mengecap makanan. Normalnya menghasilkan sekitar 20% sekresi lambung.

2. Fase gastrik, sekali makanan masuk ke lambung, makanan akan membangkitkan refleks vasovagal yang panjang, refleks enterik setempat, dan mekanisme gastrin, yang kemudian menyebabkan terjadinya sekresi getah lambung yang kontinu selama beberapa jam selama makanan masih tetap berada di dalam lambung, membentuk sekitar 70% dari total sekresi.

3. Fase intestial, keberadaan makanan di bagian atas usus halus, khususnya pada duodenum, dapat mengakibatkan lambung menyekresi sejumlah kecil getah lambung.

Getah lambung asam murni mampu mencerna semua jaringan hidup. Namun, dalam hal ini lambung tidak dicerna sendiri karena terdapat sistem pertahanan atau defensif mukosa gastrointestinal, yaitu:

  1. Mucus bicarbonate

Merupakan penghalang fisiokimiawi terhadap berbagai bahan kimia termasuk ion hidrogen. Mukus tersusun dari lipid, glikoprotein, dan air sebanyak 95%. Mucin adalah campuran glikoprotein, phospholipid, dan asam lemak membentuk lapisan hidrofobik. Fungsi mucus ini menghalangi difusi ion dan molekul, misalnya pepsin. Bikarbonat yang disekresi sel epitel permukaan membentuk gradasi pH di lapisan mukus, pH pada permukaan terluar sekitar 1-2 dan 6-7 pada lapisan yang bersinggungan dengan sel epitel. Stimulasi sekresi bikarbonat oleh calcium, prostaglandin, asam, dan rangsang kolinergik.

  1. Sel epitel itu sendiri

Bila pertahanan pertama dapat dilewati akan segera terjadi resusitasi, sel sekeliling mukosa yang rusak migrasi dan menggantinya. Proses in tidak bergantung pada pembelahan sel, membutuhkan sirkulasi darah yang utuh, dan pH sekitar yang alkali. Bila kerusakan mukosa luas dan tidak teratasi dengan proses restitusi akan diatasi dengan proliferasi sel epitel. Pengaturan regenerasi ini oleh prostaglandin, EGF, dan TGF alfa.

  1. Aliran darah dan leukosit

Komponen terpenting lapis pertahanan ini ialah mikrosirkulasi subepiteleal yang adekuat. Sangat diperlukan untuk mempertahankan keutuhan dan kelangsungan hidup sel epitel dengan memasok oksigen, mikronutrien, dan membuang produk metabolisme yang toksik.

GASTRITIS

Merupakan peradangan pada mukosa lambung yang terlihat pada pemeriksaan histopatologi yang dapat bersifat akut, kronik, maupun difus. Etiologinya yaitu terdapat ketidakseimbangan antara faktor ofensif dan faktor defensif pada mukosa gastroduodenal. Dimana terjadi peningkatan faktor ofensif dan penurunan faktor defensif. Yang termasuk faktor ofensif yaitu lesi stress pada penderita sakit berat sehingga memacu perubahan hormon dan sitokinin, obat-obatan seperti AINS dan bahan kimia, infeksi Helicobacter pylori, dan autoimun.

Patofisiologi untuk gastritis akibat infeksi Helicobacter pylori (tersering) yaitu infeksi Helicobacter pylori mempunyai sifat aktifitas imunologi yang rendah, sehingga infeksinya bersifat kronis. Helicobacter pylori dapat bertahan dan berkembangbiak pada lambung karena mempunyai enzim urease yang merupakan penghidrolisis urea menjadi amonia dan CO2, sehingga terbentuk kabut hasil netralisasi asam lambung sekitarnya dengan amonia. Pada reaksi imunologi, terjadi peningkatan neutrofil, limfosit T, dan sel plasma. Neutrofil yang teraktifasi didalam mukosa lambung membentuk radikal bebas yaitu superoxide radical. Radical ini menyebabkan penurunan nitrit oxyde (NO) dan peningkatan endothelin, menyebabkan epitel rusak. Sehingga apabila terdapat asam lambung maka asam dapat berdifusi kembali ke mukosa dan terjadi penghancuran sel mukosa, dan mukosa menjadi mukosa yang merah dan edema.

Gejala yang sering muncul yaitu mual dan sering muntah agak asam, perut terasa nyeri, pedih, kembung, dan sesak, sebah pada bagian atas perut, nafsu makan menurun secara drastis, wajah pucat, suhu badan meningkat, keluar keringat dingin, dan sulit untuk tidur karena gangguan rasa sakit pada ulu hati. Sedangkan pada penderita gasritis kronis sebagian besar asymptomatik. iagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan endoskopi dan histopatologik. Penatalaksanaan medikamentosa yang dapat diberikan pada gastritis kronis autoimune yaitu injeksi vit B.12. Sedangkan untuk gastritis akibat infeksi akibat Helicobacter pylori dapat diberikan antibiotik dan proton pump inhibitor. Pengobatan empiris untuk mengatasi gastritis akut seperti antacid yang bertujuan untuk menetralkan asam lambung, karena merupakan obat anti asam sebab mengandung senyawa bebas. Selain itu juga terdapat ranitidin yang merupakan suatu zat penekan asam yaitu suatu antihistamin yang menghambat efek perangsangan histamin pada reseptor histamin H1 atau H2 kelenjar gaster. Antikolinergic ditujukan untuk mengatur sekresi asam lambung berupa antagonis reseptor H2, inhibitor pompa proton.

ULKUS PEPTIKUM

Ulkus peptikum adalah putusnya kontinuitas mukosa lambung yang meluas sampai dibawah epitel. Ulkus ini bisa terdapat pada semua bagian saluran pencernaan yang terkena getah asam lambung seperti esofagus, lambung, duodenum, dan jejunum. Ulkus peptikum disebabkan karena ketidakseimbangan kecepatan sekresi getah lambung dan perlindungan yang diberikan dari sawar mukosa gastroduodenal,dan netralisasi asam lambung oleh getah duodenum. Selain itu juga disebabkan karena suplai darah yang buruk, iritasi, infeksi, merokok, alkohol, dan aspirin.

Apabila terjadi penghancuran sawar epitel akibat infeksi Helicobacter pylori, maka asam akan berdifusi kembali ke mukosa sehingga menghancurkan sel mukosa. Akibatnya terjadi peningkatan perubahan pepsinogen menjadi pepsin, sehingga fungsi sawar menurun, dan terjadi destruksi kapiler dan vena. Destruksi ini menyebabkan perdarahan dan lama kelamaan terjadi ulkus. Penghancuran sel mukosa juga meningkatkan sekresi asam, yang akibatnya terjadi rangsangan kolinergik dan terjadi peningkatan motilitas dan sekresi pepsinogen. Histamin juga terjadi peningkatan, sehingga memberikan efek peningkatan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas terhadap protein, plasma mudah bocor ke cairan interstisial dan ke lumen lambung.

Manifestasi klinis yang timbul pada ulkus peptikum yaitu nyeri epigastrium intermiten kronis yang mereda setelah makan, muntah berwarna merah, mual, anoreksia, penurunan berat badan. Pengobatan yang dapat diberikan yaitu antibiotik, dan obat-obat penghanbat asam seperti acid bloker misalnya cimetidin.

MUAL dan MUNTAH

Proses ini terdiri dari 3 stadium yaitu mual, retching, dan muntah. Mual adalah perasaan tidak enak dibelakang tenggorokan dan epigastrium. Ciri dari hipersalivasi adalah hipersalivasi, hendak muntah, hendak pingsan, berkeringat dan takikardi. Dan pada keadaan ini tonus lambung dan peristaltik menurun, tonus usus dan duodenum meningkat sehingga terjadi refluks isi duodenum ke lambung.

Retching merupakan usaha involunter untuk muntah yang terdiri dari gerakan pernapasan spasmodik melawan glotis, dan inspirasi dinding dada dan diafragma. Selain itu, pylorus dan antrum distal berkontraksi saat fundus relaksasi. Sedangkan muntah (vomitus) yaitu reflek yang menyebabkan dorongan ekspulsif isi lambung atau usus ke mulut.

Perjalanan impuls dimulai dari rangsangan pada korteks cerebral, organ vestibuler, CTZ (Chemoreseptor Triger Zone), dan serabut-serabut eferen misalnya n.vagus. Semua rangsangan tersebut merangsang pusat muntah yang berada di dasar ventrikel keempat medula oblongata, dan berada dekat dengan pusat pengeluaran saliva dan pusat pernapasan. Selanjutnya akan terjadi gerakan ekspulsif otot abdomen dan gastrointestinal yang berakhir pada muntah. (Price, 2006)

DIARE

Diare kronik adalah diare melanjut sampai 2 minggu atau lebih dengan atau tanpa kegagalan pertumbuhan Mekanisme diare kronik bergantung kepada penyakit dasarnya. Sering yang menyebabkan lebih dari satu macam sehingga efeknya merupakan kombinasi dari penyebab-penyebab tersebut. Mekanisme patofisiologi diare kronik dapat sebagai :

1. Diare osmotik.

Akumulasi bahan-bahan yang tidak dapat diserap dalam lumen usus mengakibatkan keadaan hipertonik dan meninggikan tekanan osmotik intra-lumen yang menghalangi

absorpsi air dan elektrolit dan terjadilah diare. Contoh : intoleransi laktosa,malabsorpsi asam empedu. Volume tinja pada diare kurang dari 200ml/24 jam, kehilangan Na kurang dari 70mEq, dan penuran pH kurang dari 5.

2. Diare sekretorik

Sekresi usus yang disertai sekresi ion secara aktif merupakan faktor penting pada diare sekretorik. Pengetahuan terakhir mekanisme ini didapat dari penelitian diare karena Vibrio cholerae. Patofisiologi pada kolera ialah salah satu contoh sekresi anion yang aktif dalam usus halus sebagai akibat stimulasi enterotoksin. Volume tinja pada diare lebih dari 200ml/24 jam, kehilangan Na lebih dari 70mEq, dan penuran pH lebih dari 6.

3. Diare inflamasi

Diare dengan disertai dengan kerusakan dan kematian enterosit disertai peradangan. Diare inflamasi dibagi menjadi diare spesifik dan nonspesifik.

Manifestasi kilinis

1. Sering buang air besar dengan konsistensi tinja cair atau encer

2.Terdapat tanda dan gejala dehidrasi; turgor kulit menurun (elastisitas kulit menurun), ubun-ubun dan mata cekung, membran mukosa kering

3. Keram abdominal

4. Demam

5. Mual dan muntah

6. Anorexia dan lemah

7. Pucat dan terjadi perubahan tanda-tanda vital; nadi dan pernafasan cepat

8. Menurun atau tidak ada pengeluaran urine

Pemeriksaan Diagnostik

�� Riwayat alergi pada obat-obatan atau makanan

�� Kultur tinja

�� Pemeriksaan elektrolit; BUN, creatinine, dan glukosa

�� Pemeriksaan tinja; pH, lekosit, glukosa, dan adanya darah

Penatalaksanaan

Rehidrasi ; oralit, cairan infus seperti ringer laktat, dekstrosa 5%, dekstrosa dalam salin

Antispasmodik, antikolinergik

Obat anti diare seperti loperamid, difenoksilat. (Arif, 2005)

DEHIDRASI

Keadaan dimana berkurangnya volume air tanpa elektrolit (natrium) atau berkurangnya air jauh melebihi berkurangnya natrium dari cairan ekstrasel (hipernatremia). Akibatnya osmolaritas cairan ekstrasel (CES) meningkat karena natrium meningkat di cairan ekstrasel. Akibatnya, air dari cairan intrasel keluar ke cairan ekstrasel untuk mengencerkan Na yang meningkat pada CES. Selain itu, meningkatnya osmolaritas merangsang sel saraf khusus atau osmoreseptor yang berada pada hipotalamus anterior yang terletak dekat dengan nukleus supraoptik untuk mengerutkan selnya. Sel yang mengerut ini akan mengirimkan sinyal saraf ke sel saraf tambahan di nukleus supraoptik sampai ke tangkai hipofisis posterior. Sinyal inilah yang kemudian merangsang pengeluaran antidiuretikhormon (ADH). ADH ini akan disimpan dalam granula sekretorik diujung saraf. ADH yang disekresikan akan terbawa aliran darah dan ditransfer sampai ginjal. Di ginjal ini, efek ADH yaitu meningkatkan permeabilitas tubulus distal dan duktus koligentes terhadap air, sehingga reabsorbsi air meningkat, dan urin menjadi pekat. Jadi pada keadaan dehidrasi, volume yang hilang dari cairan intrasel sebanyak 60% dan cairan ekstrasel sebanyak 40%. (Guyton, 2007; Parlindungan, 2006)

Selain sistem ADH, sistem lain yang berperan adalah sistem renin angiotensin aldosteron. Sistem ini tidak begitu berpengaruh terhadap retensi Na karena 2 hal. Yang pertama yaitu angiotensin II dan aldosteron meningkatkan reabsorpsi natrium dan air oleh tubulus ginjal, yang meningkatkan CES dan kuantitas Na tetapi sedikit perubahan pada konsentrasi Na. Kedua, selama mekanisme ADH-rasa haus berfungsi, kecenderungan yang mengarah pada peningkatan konsentrasi natrium plasma akan dikompensasi dengan peningkatan sekresi ADH plasma, yang cenderung mengencerkan CES kembali normal. Bila konsentrasi Na hanya meningkat sekitar 2mEq/L diatas normal, mekanisme rasa haus diaktifkan, keadaan ini disebut dengan ambang batas untuk minum. (Guyton, 2007)

Manifestasi klinis yang muncul yaitu berkeringat, urine yang pekat disebabkan karena reabsorbsi air yang meningkat sebagai kompensasi, gejala dehidrasi pada sel otak seperti lemas, agitasi, hiperrefleksi. Selain itu juga kulit menjadi keriput, selaput lendir kering, dan lidah kering kasar disebabkan karena selnya menciut akibat air dari CIS keluar ke CES sebagai kompensasi akibat hipernatremia. Selain itu juga konjungtiva pucat, dan pada pemeriksaan fisik turgor perut menurun. (Price, 2006)

Penentuan derajat dehidrasi sesuai dengan keadaan klinis, berat jenis plasma, dan pengukuran central venous pressure. Klasifikasi tingkat derajat dibagi menjadi 3 yaitu ringan, sedang, dan berat. Pada dehidrasi ringan terjadi kehilangan cairan 2-5% BB, dehidrasi sedang kehilangan cairan 5-8% BB, dan berat yaitu 8-10% BB. (Parlindungan, 2006)

REHIDRASI

Rehidrasi oral

Syarat-syarat diberikannya rehidrasi oral yaitu:

- Osmolaritas mirip atau kurang dari osmolaritas plasma : 300 mmol/L

- Konsentrasi Na harus cukup mengganti kekurangan Na

- Ratio glukosa dan Na 1:1

- Konsentrasi K harus sekitar 20mmol/L untuk mengganti kehilangan K

- Konsentrasi basa harus 10mmol/L à sitral

30mmol/L à bikarbonat

Untuk mengoreksi asidosis metabolik.

Rehidrasi oral tidak efektif:

- Pengobatan awal dehidrasi berat à cairan harus diganti dengan cepat

- Penderita ileus paralitikus dan perut kembung (meteorismus)

- Penderita yang tidak dapat minum

- Penderita pengeluaran tinja sangat banyak dan cepat ( > 15ml/KgBB/jam)

- Penderita muntah berat dan berulang-ulang

Rehidrasi Intravena:

Untuk penderita dehidrasi berat dan mengembalikan volume darah dan memperbaiki renjatan hipovolemik. Jenis cairan yang digunakan adalah ringer laktat, garam faal, D gona NaCl, larutan glukosa (dekstrosa). Pemberian ringer laktat paling disukai karena komposisi Na dan laktat yang tepat.

Nyeri Alih

Adalah nyeri yang berasal dari salah satu daerah ditubuh tetapi dirasakan terletak didaerah yang lain. Teori yang dapat menjelaskan nyeri alih yaitu teori konvergensi-proyeksi. Menurut teori ini, dua tipe aferen yang masuk (satu dari kulit dan satu dari struktur otot dalam atau visera) berkonvergensi ke sel-sel sensorik yang sama karena tidak mempunyai cara untuk mengenai sumber asupan sebenarnya, dan otak secara salah ”memproyeksikan” sensasi nyeri ke daerah somatik. (Price, 2006)

BAB III

PEMBAHASAN

Seorang wanita umur 30 tahun datang ke unit gawat darurat RS Dr. Moewardi dengan keluhan sakit perut dan diare. Satu bulan yang sebelum masuk rumah sakit penderita sering merasakan perut tidak enak, nyeri daerah epigastrium, nausea kadang-kadang vomitus, terlambat makan juga sakit, nocturnal pain positif sehingga terbangun. Penderita sering minum obat maag (lambung) dan anti muntah bila merasakan keluhan di atas. Penderita pernah berobat ke dokter dan dikatakan menderita sakit gastritis atau ulkus peptikum.

Sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit penderita mengalami diare sehari rata-rata 10 kali, konsistensi encer, tanpa disertai lendir dan darah, warna kuning berbau amis, juga disertai nausea dan vomitus. Vomitus terjadi setiap kali penderita makan atau minum. Badan lemah, kalau makan terasa pahit, sehingga penderita semakin tidak mau makan dan minum. Kencing sedikit.

Pasien dalam skenario disebutkan mempunyai keluhan perut tidak enak dan nyeri pada daerah epigastrium. Nyeri daerah (regio) epigastrium merupakan gejala yang timbul pada berbagai kasus terkait dengan ventriculus dan duodenum. Karena pada skenario disebutkan pasien mendapat pengobatan obat maag (lambung) maka kelainan mengarah pada ventrikulus. Selain itu juga didukung oleh diagnosis dokter yang menyatakan pasien menderita gastritis.

Nyeri merupakan gangguan sensorik. Perangsangan yang menghasilkan nyeri bersifat destruktif terhadap jaringan yang dilengkapi dengan serabut saraf penghantar impuls nyeri. Nyeri pada epigastrium, dalam hal ini pada ventrikulus, dapat ditimbulkan oleh berbagai sebab yang salah satunya adalah iritasi oleh HCl dan pepsin pada mukosa lambung. Pepsin bersifat autodigestif terhadap dinding mukosa ventrikulus sehingga apabila tidak ada makanan yang masuk ke ventrikulus pepsin akan mengiritasi ventrikulus. Lapisan mukosa lambung merupakan garis depan pertahanan terhadap autodigesti. Lapisan ini memberikan perlindungan terhadap trauma mekanis dan agen kimia. Pepsin yang mengiritasi dinding mukosa lambung menimbulkan proses inflamasi dan memicu reaksi imunologi. Histamin yang dikeluarkan pada proses imunologi merangsang sekresi asam dan pepsin lebih lanjut, serta meningkatkan permeabilitas kapiler terhadap protein. Mukosa menjadi edema dan sejumlah besar protein plasma dapat hilang. Rusaknya mukosa dapat menekan nervus-nervus yang menginnervasi kapiler-kapiler pada lapisan mukosa sehingga menimbulkan rangsang nyeri. Impuls nyeri dihantarkan melalui serabut saraf aferen ke pusat sensorik primer di korteks cerebri (area 3, 1, 2 broadman). Hal inilah yang mendasari terjadinya nyeri epigastrium.

Gejala gangguan gastrointestinal yang lain adalah mual (nausea) dan muntah (vomittus). Mual merupakan stadium pertama dari muntah. Mual ditandai dengan meningkatnya saliva, menurunnya tonus lambung, dan peristaltik. Selanjutnya akan dilanjutkan retching, yang merupakan usaha involunter untuk muntah. Muntah merupakan suatu refleks yang menyebabkan dorongan ekspulsi isi lambung ke mulut. Rangsangan untuk muntah dihantarkan serabut saraf aferen ke pusat muntah dengan mengaktivasi CTZ (chemoreceptor trigger zone). Selanjutnya impuls akan diteruskan ke serabut eferen dan menimbulkan gerakan ekspulsif otot abdomen, gastrointestinal dan pernafasan yang terkoordinasi sehingga timbullah muntah.

Dalam skenario dinyatakan bahwa penderita mengalami rasa sakit di perut apabila terlambat makan. Ventrikulus yang kosong akan memberi kesempatan asam lambung dan pepsin untuk mencerna dirinya sendiri (autodigesti). Pepsin mempunyai sifat proteolitik dan HCl mempunyai sifat korosif terhadap mukosa lambung sehingga apabila kadar HCl dan pepsin terlalu tinggi akan menekan faktor-faktor defensif mukosa lambung. Apabila proses degradasi mengenai pembuluh darah mukosa dan serabut-serabut saraf akan menimbulkan rasa nyeri.

Nocturnal pain pada pasien merupakan rasa nyeri yang timbul pada malam hari. Rasa nyeri tersebut disebabkan oleh peningkatan HCL pada malam hari yang distimulus oleh peningkatan hormon gastrin. Secara fisiologis hormon gastrin meningkat sampai titik maksimal pada malam hari dan menurun sampai titik terendah pada pagi hari.

Pasien dalam skenario disebutkan mendapat pengobatan obat maag dan anti muntah. Obat maag merupakan OAINS yang dapat menyebabkan perubahan kualitatif mukus lambung. Obat maag mempunyai komposisi MgOH2 dan AlOH3. Komposisi tersebut bersifat saling menetralkan sehingga tidak cukup berefek penurunan keasaman lambung. Keadaan ventrikulus yang tetap asam menyebabkan penekanan terhadap sintesis postaglandin dalam melindungi mukosa lambung. Terhambatnya prostaglandin menyebabkan degradasi mukus oleh asam dan pepsin.

Pada awalnya pasien tersebut terserang gastritis yang disebabkan oleh infeksi Helicobacter pylori tetapi karena pengobatan yang tidak cukup efektif dalam menurunkan asam lambung sehingga akan berlanjut sebagai ulkus peptikum (ulkus gaster). Pada ulkus peptikum terjadi degradasi dinding mukosa lambung yang meluas sampai lapisan submukosa dan lapisan muskularis dari ventrikulus sehingga timbul ulcerasi.

Tiga hari yang lalu penderita mengalami diare. Diare yaitu defekasi dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah padat) kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam. Diare yang diderita pasien disebabkan oleh konsumsi obat maag. Karena komposisi dari obat maag (NaHCO3, Al(OH)3, dan Mg(OH)2) tidak terabsorbsi di lambung maka akan diteruskan ke intestinum tenue. Komposisi obat tersebut tidak dapat diserap dengan efektif karena sifat dari membran sel yang selektif impermeabel terhadap zat terlarut. Sehingga menyebabkan keadaan di lumen usus menjadi hipertonis sedangkan di dalam sel (intrasel) lebih hipotonis. Berdasarkan prinsip osmosis, air (cairan sel) akan mengalir dari keadaan hipotonis ke hipertonis. Hal ini menyebabkan penderita mengalami dehidrasi. Selain dehidrasi, banyaknya bahan-bahan yang tidak teserap di lumen usus akan menyebabkan peningkatan motilitas usus (gerak peristaltik di usus lebih cepat). Gerak peristaltik yang cepat serta ditambah akumulasi bahan-bahan yang tidak tercerna di usus akan menyebabkan konsistensi tinja encer dan timbullah diare osmotik. Karena diare yang terjadi merupakan diare osmotik tanpa disertai keganasan dan infeksi maka pada pemeriksaan feses pasien tidak ditemukkan adanya lendir dan darah.

Nausea (mual) dan vomitus (muntah) terjadi karena gerak peristaltik usus yang cepat menyebabkan refluks isi duodenum kembali ke lambung. Selanjutnya tubuh akan berusaha untuk mengeluarkannya ke rongga mulut melalui proses mual dan muntah. Di skenario dinyatakan pasien tetap mengalami nausea dan vomitus meskipun telah diberikan obat anti muntah. Hal tersebut terjadi karena peningkatan gerak peristaltik usus akibat pemberian obat maag yang terus-menerus sehingga isi lumen usus menjadi lebih hipertonis.

Rasa pahit yang timbul ketika pasien makan disebabkan karena cairan-cairan ventrikulus dan duodenum yang tertinggal di pengecap rasa pahit di belakang sulcus terminalis lidah.

Akibat dari proses osmosis dari intrasel (hipotonis) ke ekstrasel (hipertonis) menyebabkan tubuh kehilangan banyak cairan (dehidrasi). Dehidrasi ini menyebabkan tekanan turgor menurun sehingga menimbulkan mata cekung, bibir kering, kedua tangan pasien keriput, serta badan terasa lemah. Pasien kehilangan banyak cairan termasuk elektrolit tubuh. Dalam hal ini tubuh kehilangan banyak Na dan ion bikarbonat (HCO3-). Hilangnya ion Na dan ditambah dari konsumsi OAINS (obat maag) menyebabkan penurunan perfusi ke ginjal menurun. OAINS menyebabkan hambatan terhadap sintesis prostaglandin sehingga timbul vasokontriksi kapiler darah ginjal. Tubuh akan mengkompensasi dengan cara meretensi Na sehingga pasien mengalami penurunan frekuensi kencing.

Pernafasan Kussmaul (pada asidosis metabolik) yang terjadi pada pasien sebagai kompensasi terhadap kurangnya ion bikarbonat. Kurangnya ion bikarbonat menyebabkan ion H+ meningkat dalam tubuh dan berkurangnya pembentukan asam karbonat. Kesadaran apatis (acuh tak acuh) pada pasien terjadi karena efek dari dehidrasi sehingga perfusi ke otak juga mengalami penurunan. Kekurangan cairan elektrolit dan penurunan perfusi ke otak menyebabkan penurunan kesadaran. Selain itu penurunan kesadaran juga dapat ditimbulkan dari konsumsi OAINS.

Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien adalah mengganti OAINS dengan obat anti tukak (ulkus peptikum) semua jenis dan pemberian terapi cairan. Terapi cairan adalah suatu tindakan pemberian air dan elektrolit dengan atau tanpa zat gizi kepada pasien-pasien yang mengalami dehidrasi dan tidak bisa dipenuhi oleh asupan oral biasa melalui minum atau makanan. Terapi cairan ini bertujuan untuk mengembalikan volume cairan tubuh dan diberikan secara intravena karena pasien mengalami dehidrasi berat (ditunjukkan dengan adanya kesadaran yang apatis). Jenis terapi cairan yang dapat diberikan adalah RL (ringer laktat) dan dextrose.

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya pasien ini mengalami gastritis yang kemudian berkomplikasi menjadi ulkus peptikum. Perjalanan penyakit diawali dengan infeksi Helicobacter pylori yang kemudian merusak mukosa. Akibatnya mukosa gaster terkena dengan asam lambung dan lama kelamaan mukosa lambung menjadi tidak kontinu. Diare yang terjadi karena pasien meminum obat antasid yang mengandung magnesium hidroksida yang mana memiliki efek katartik yaitu menarik air. Akibat cairan yang hilang, maka terjadilah dehidrasi, sehingga terjadi hipernatremia, sehingga cairan dari intrasel keluar ke ekstrasel, sel mengerut dan timbulah manifestasi seperti turgor perut menurun, mata cekung, tangan keriput, dan bibir kering. Apatis terjadi karena dehidrasi sel otak. Penatalaksanaan yang diberikan yaitu antibiotik untuk infeksinya, rehidrasi seperti NaCl maupun ringer laktat untuk dehidrasi. Untuk menetralkan asam dapat diberikan antasid yang mangandung alumunium hidroksida. Sedangkan untuk gastritis dan ulkus peptikum dapat diberikan antihistamin maupun antikolinergik. Prognosis pasien ini buruk bila tidak segera ditatalaksana.

B. SARAN

Berhubung penyakit yang melibatkan sistem gastrointestinal sangat sering terjadi di masyarakat maka sebaiknya menghindari faktor-faktor resikonya sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Dan juga dibutuhkan edukasi kepada masyarakat untuk menjaga pola makan yang baik, dan menjaga kebersihan lingkungan. Selain itu, sebaiknya untuk kasus seperti pada skenario ini diberikan penatalaksanaan sesegera mungkin agar prognosisnya menjadi lebih baik dan menghindari komplikasi yang dapat ditimbulkan.

DAFTAR PUSTAKA

Dorland, W.2002.Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29.Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC

Guyton., H .2007.Fisiologi Kedokteran Edisi 9.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Hirlan.2006. Buku Ajar IPD Jilid I FK UI. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Mansjoer, Arif, et all.2005. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI

Nafrialdi.2007. Farmakologi dan Terapi Edisi V. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Price.S, et all.2006.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Robbins, et all.2007. Buku Ajar Patologi Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Sherwood, Lauralee.2001. Fisiologi Manusia.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC