19.6.09

Inflamasi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Inflamasi atau radang merupakan suatu fungsi pertahanan tubuh terhadap masuknya organisme maupun gangguan lain. Setiap jaringan pada tubuh manusia dapat mengalami cedera. Inflamasi pada dasarnya merupakan reaksi terhadap cedera yang dilakukan oleh mikrosirkulasi dan apa yang dikandungnya. Terdapat banyak faktor yang berperan dalam proses inflamasi. Proses timbulnya inflamasi kini dapat lebih dimengerti dengan ditemukannya berbagai macam zat yang merupakan mediator dalam mengatur dan mengaktifkan sel-sel, baik dari darah maupun jaringan yang kemudian menimbulkan suatu gejala khas pada jaringan (reaksi lokal) yang mengalami cedera.

Inflamasi dapat terjadi karena trauma seperti cedera dan adanya infeksi. Apabila inflamasi tersebut tidak dapat diatasi oleh system inflamator maka dapat menyebabkan inflamasi yang lebih hebat yang dapat mengakibatkan munculnya granulomatosa yang sangat membahayakan bagi kehidupan pasien. Pada skenario 4 di Blok Hematologi ini mahasiswa dihadapkan dengan kasus sebagai berikut:

Seorang pria berusia 27 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan jempol tangan kirinya bengkak. Bengkak dirasakan timbul sejak empat hari yang lalu. Ketika kerja bakti jempol tangan kiri kena pukul. Beberapa jam kemudian membengkak, sakit ringan sehingga saat itu tidak dibawa ke klinik. Pada sore harinya jempol terasa panas, sakit bila digerakkan disertai badannya hanya meriang. Karena tidak ada luka, oleh tetanggaa diberi obat borehan dari daun binahong. Beberapa jam kemudian rasa sakit berkurang, bengkak berkurang, tetapi timbul sedikit gatal, dan karena kurang hati-hati digaruk sehingga timbul lecet. Pada hari keempat badan terasa lebih panas, rasa sakit memberat lagi dan terdapat bintik kekuningan pada bagian yang bengkak. Pada pemeriksaan fisik diperoleh data suhu badan aksiler 38,5ÂșC, frekuensi nadi 102 kali/menit, irama tertaur, tekanan darah 124/78, dan frekuensi nafas 18 kali/menit dengan tipe kosto abdominal. Pada pemeriksaan fisik organ dalam batas normal. Status lokalis pasien antara lain jempol tangan kiri terlihat lebih memerah, teraba hangat, nyeri tekan, konsistensi keras, bila digerakkan terasa lebih sakit, dan terlihat bintik kuning. Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar Hb 13 gr%, jumlah leukosit 12.500/mm3 dan jumlah trombosit 220 x 103/mm3. Penderita rawat jalan.

Berdasarkan skenario di atas, maka penulis berusaha menjelaskan dan menafsirkan gejala klinis pada pasien berdasarkan pengetahuan studi pustaka dan diskusi tutorial. Penulis berharap laporan ini dapat memberikan penjelasan mengenai masalah dan penanganan pada pasien dalam skenario.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pasien mengalami inflamasi?

2. Apa penyebab inflamasi pada pasien?

3. Bagaimana patofisiologi tanda dan gejala klinis pada pasien?

4. Apa pengaruh pemberian daun binahong pada pasien?

5. Bagaimanan penatalaksanaan pada pasien?

C. Tujuan Penulisan

1. Mampu menjelaskan patofisiologi tanda dan gejala klinis pasien dalam skenario

2. Dapat menjelaskan terjadinya inflamasi.

3. Mengenal herbal medicine mengenai binahong (Anredera cordifolia)

4. Mengetahui dan mampu melakukan keputusan terhadap penatalaksanaan pasien

D. Hipotesis

1. Pasien mengalami inflamasi yang disebabkan pukulan (trauma) dan infeksi mikroorganisme melalui lecet (luka terbuka).

2. Bengkak, nyeri, panas, sakit ringan disebabkan oleh proses inflamasi yang diakibatkan trauma dan infeksi.

3. Daun binahong (Anredera cordifolia) dapat meringankan efek inflamasi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Leukosit

Leukosit atau sering disebut sel darah putih (WBC) merupakan unit yang mobile/aktif dari sistem pertahanan tubuh. Leukosit ini sebagian dibentuk di sumsum tulang (granulosit dan monist serta sedikit limfosit) dan sebagian lagi di jaringan limfe (limfosit dan sel-sel plasma) (Guyton dan Hall, 1997). Setelah leukosit terbentuk maka akan diangkut ke dalam darah menuju berbagai bagia/organ tubuh untuk digunakan. Leukosit akan diangkut menuju daerah-daerah yang mengalami infeksi dan mengalami peradangan (inflamasi) sebagai pertahanan tubuh yang cepat dan kuat. Leukosit mencegah infeksi dengan cara fagositosis dan membentuk antibody dan limfosit yang disensitifkan untuk menghancurkan agen pathogen/asing. Leukosit memiliki beberapa kemampuan diantaranya sebagai berikut:

- Diapedesis : kemampuan menembus dinding pembuluh darah melalui lubang antar sel.

- Gerak ameboid : kemampuan untuk bergerak. Gerakan ini dipengaruhi oleh ion kalsium untuk konstraksi otot sel. Leukosit yang paling aktif bergerak adalah polimorfonuklear (PMN).

- Kemotaksis : kemampuan untuk menjauh/mendekat suatu tempat karena adanya bahan kimia tertentu. Bahan-bahan yang menyebabkan kemotaksis antara lain: toksin, produk degenerative jaringan, produk reaksi kompleks komplemen.

- Fagositosis : kemampuan untuk memakan partikel.

(Kusumawati, 2005)

Fagositosis tidak terjadi pada sel normal tubuh dikarenakan struktur normal jaringan memiliki permukaan halus dan selubung protein pelindung yang menolak sel fagosit. Selai itu juga, tubuh mempunyai kemampuan khusus untuk mengenali bahan asing tertentu dengan proses opsonisasi yang melibatkan antibody dan kompleks komplemen.

Nilai normal leukosit manusia yaitu: dewasa (4.000-10.000/mm3), bayi atau anak-anak (9.000-12.000/mm3), dan bayi baru lahir (9.000-30.000/mm3) (Kee, 1997 cit Sutedjo, 2007). Peningkatan jumlah leukosit (leukositosis) terjadi pada proses infeksi atau radang akut, misalnya pneumonia, meningitis, apendiksitis, tuberculosis, tonsillitis, dll. Bisa juga disebabkan oleh infark miokard, sirosis hepatis, luka bakar, kanker, leukemia, penyakit kolagen,anemia sel sabit, anemia hemolitik, penyakit parasit, dan stress karena pembedahan maupun gangguan emosi serta dapat juga disebabkan oleh induksi obat-obatan (Sutedjo, 2007). Leukopenia (penurunan jumlah leukosit dapat terjadi pada infeksi tertentu dan penyakit hemopoetik. Leukosit dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: granulosit dan agranulosit. Granulosit terdiri dari netrofil, eosinofil, dan basofil. Berikut harga normal dari masing-masing jenis leukosit:

- Basofil : 0-2 %

- Eosinofil : 0-4 %

- Netrofil batang : 0-6 %

- Netrofil segmen : 40-64 %

- Limfosit : 22-44 %

- Monosit : 0-7 %

(Widodo, 1998)

Netrofil terdiri dari dua jenis yaitu netrofil batang dan netrofil segmen. Netrofil mempunyai fungsi seperti makrofag seperti fagositosis tetapi lebih lemah. Netrofil memiliki enzim proteolitik untuk mencerna bakteri dan protein asing. Lama hidupnya dalam darah sekitar 10 jam (Hoffbrand, Pettit, Moss, 2005). Pada daerah inflamasi karena invasi bakteri akan banyak terdapat netrofil di mana sel ini merupakan pertahanan pertama yang tiba pada daerah inflamasi .Peningkatan jumlah netrofil terjadi pada infeksi bakteri akut. Selain itu, netrofil juga melakukan pembersihan terhadap debris jaringan (Sherwood, 2001). Sel ini akan mati setelah melakukan fagositosis.

Eosinofil merupakan sel fagositik yang lemah. Eosinofil banya terdapat di mukosa usus dan jaringan paru. Sel ini dapat mendeteksi adanya protein asing yang masuk ke jaringan. Eosinofil membawa histamin dari jaringan (Kusumawati, 2005). Masa hidup eosinofil dalam darah lebih lama dari netrofil. Sel ini masuk ke eksudat inflamantaorik dan berperan khusus dalam respons alergi (asma, hay fever), pertahanan pada infeksi parasit (cacing), dan pembuangan fibrin yang terbentuk selama inflamasi (Hoffbrand, Pettit, Moss, 2005).

Basofil merupakan sel darah yang sulit dijumpai pada darah normal dikarenakan jumlahnya paling sedikit. Basofil ini mirip dengan sel mast, yang tidak pernah beredar dalam darah tetapi tersebar di jaringan ikat di seluruh tubuh. Basofil membentuk dan menyimpan heparin dan histamin. Heparin adalah suatu zat antikoagulan dan histamin penting dalam rekasi alergi. Di dalam jaringan basofil berubah menjadi sel mast. Basofil mempunyai tempat perlekatan immunoglobulin E (IgE) dan degranulasinya disertai pelepasan histamin (Hoffbrand, Pettit, Moss, 2005).

Monosit merupakan sel mononuklear leukosit. Monosit berperan dalam fagositosis. Sel ini dikeluarkan dari sumsum tulang dalam keadaan imatur dan beredar dalam darah satu sampai dua hari sebelum akhirnya menetap dalam berbagai jaringan tubuh. Monosit memiliki kemampuan berubah menjadi sel yang lebih besar dalam jaringan yang disebut makrofag. Makrofag dapat hidup berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun selama ia tidak digunakan. Monosit juga berperan dalam radang kronis. Monosit-makrofag membentuk sebuah system retikuloendotelial (RES) yang tersebar di berbagai jaringan. Makrofag dalam kulit disebut histiosit, makrofag dalam hati dinamakan sel kupffer, mikroglia dalam otak.

Limfosit merupakan leukosit yang berperan dalam reaksi imunitas seluler dan humoral. Limfosit dibagi menjadi tiga, yaitu: limfosit B (imunitas humoral) dan limfosit T (imunitas seluler) dan limfosit non-B non-T (Natural Killer cell). Limfosit T berkembang atau mengalami proses maturasi dalam kelenjar thymus dan limfosit B dalam sumsum tulang. Limfosit terdapat dalam darah, jaringan limfoid, mukosa gastrointestinal, mukosa saluran napas. Limfosit B akan berkembang menjadi sel plasma yang akan membentuk antibody immunoglobulin dan sel ini merupakan memorian antibody. Limfosit T terdiri dari sel T helper, sel T sitotoksik, dan sel T supresor.

B. Inflamasi

Inflamasi atau peradangan adalah respons protektif setempat atau terlokalisasi yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi atau mengurung suatu agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu. Tujuan akhir dari inflamasi adalah untuk menarik protein plasma dan fagosit ke tempat yang cedera atau terinvasi. Protein plasma dan fagosit tersebut dapat melakukan penghancuran dan penginaktifan agen yang masuk, membersihkan debris atau sisa-sisa fagositosis, dan mempersiapkan jaringan untuj proses penyembuhan dan perbaikan (Sherwood, 2001). Pada inflamasi akut ditandai dengan adanya nyeri (dolor), panas (kalor), kemerahan (rubor), bengkak (tumor), dan gangguan fungsi (fungsiolesa) (Sunarto, 2006; Wilson, 2005; Ward, 1993). Di buku lain, inflamasi dapat ditandai oleh:

- Vasodilatasi pembuluh darah lokal sehingga aliran darah berlebihan pada daerah yang terkena.

- Peningkatan permeabilitas kapiler disertai kebocoran banyak sekali cairan ke jaringan interstisial.

- Pembekuan cairan oleh fibrinogen dan protein lainnya sehingga ada pembatasan daerah terkena cedera atau kerusakan jaringan.

- Migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit

- Pembengkakan sel jaringan (Guyton dan Hall, 1997).

Mekanisme inflamasi dapat digambarkan sebagai berikut:

- Vasodilatasi local

Hampir setelah invasi mikroorganisme atau cedera di daerah inflamatoris terjadi dilatasi arteriol sehingga terjadi peningkatan aliran darah pada daerah tersebut. Vasodilatasi local ini terutama disebabkan oleh histamine yang disekresikan oleh sel mast.

- Peningkatan permeabilitas kapiler

Histamin dan mediator lainnya dapat meningkatkan permebilitas kapiler dengan memperbesar pori-pori kapiler (ruang antar sel-sel endotel) sehingga protein plasma dapat keluar dari pembuluh darah.

- Edema local

Protein plasma yang bocor dan tertimbun dalam ruangan interstisial akan menimbulkan tekanan osmotic koloid yang terutama dipengaruhi oleh albumin yang disertai peningkatan tekanan darah kapiler sehingga terjadi pembengkakan yang sering menyertai inflamasi.

- Peningkatan aliran darah arteri yang ke daerah inflamatoris sehingga menimbulkan kemerahan (rubor) dan panas (kalor). Dan juga timbul rasa nyeri yang disebabkan oleh distensi local di dalam jaringan yang membengkak dan oleh efek langsung zat-zat local di ujung-ujung reseptor neuron aferen yang mempersarafi daerah tersebut.

- Pembatasan daerah inflamatoris

Mekanisme ini disebabkan oleh kinerja factor atau komponen pembekuan darah seperti fibrinogen dan tromboplastin jaringan.

- Emigrasi Leukosit

Leukosit yang pertama kali datang ke daerah inflamatoris yaitu netrofil yang diikuti oleh monisit atau makrofag. Limfosit dan monosit akan tiba jika leukosit pendahulu tersebut tidak mampu melawan inflamator. Emigrasi ini melibatkan proses marginasi (melekatnya leukosit ke bagian dalam lapisan endotel kapiler), diapedesis, gerakan ameboid, dan kemotaksis.

- Destruksi invator bakteri oleh bakteri melalui fagositosis.

- Pembersihan debris sisa-sisa fagositosis (sel-sel mati)

Nanah (pus) merupakan kumpulan sel-sel fagositik baik yang hidup maupun yang mati; jaringan nekrotik (mati) dicairkan oleh enzim-enzim lisosom yang dikeluarkan oleh sel fagosit dan bakteri (Sherwood, 2001).

Timbulnya demam pada inflamasi disebabkan oleh pelepasan pirogen-endogen yang diinduksi oleh sekresi fagositik. Pirogen ini diyakini merangsang pelepasan prostaglandin yang langsung merangsang hipotalamus yang mengatur suhu tubuh yang dimediasi oleh Interleukin 1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF), dan interferon (INF) (Dorland, 2005).

Inflamasi digolongkan berdasarkan waktu yaitu inflamasi akut dan inflamasi kronis. Ciri utama inflamasi akut adalah kemerahan, panas, oedem, dan sakit. Gejala dini ditandai oleh pelepasan berbagai mediator sel mast setempat (histamine) dan aktivasi kontak (bradikinin) (Baratawidjaja, 2002). Kejadian ini disertai oleh aktivasi komplemen, system koagulasi, sel-sel inflamasi, dan sel endotel yang melepaskan mediator. Apabila proses inflamasi terus menerus berlangsung maka akan terjadi inflamasi kronis yang ditandai adanya inflamasi granulomatosa. Kejadian ini mulai disadari pada tuberculosis di mana terdapat granula-granula putih yang khas (granuloma) tersebar di seluruh tubuh. Ternyata benda tersebut mengandung kelompok fagosit besar atau sel histiosit yang khas berbentuk bulat. Tanda yang menyolok pada granuloma adalah pembentuka sel raksasa yang mengandung zona limfosit perifer. Inflamasi granulomatosa merupkan reaksi inflamatoris yang tidak diinginkan dan terjadi pada pasien sifilis, tuberculosis atau helmintiasis, kemungkinan ada penghancuran jaringan dengan kavitasi (nekrosis) atau jaringan parut (fibrosis) (Ward, 1993).

Penyebab inflamasi akut:

- Infeksi mikroba (toksin)

- Trauma (cedera,luka bakar, dsb.)

- Alergen (degranulasi dan sel mast)

- Autoimunitas (komplek imun-fagosit, aktivasi komplemen, dan sitotoksisitas sel T)

(Baratawidjaja, 2002)

Mediator pada inflamasi akut

No

Mediator

Asal

Efek/Fungsi biologis

1

Histamin

Sel mast

Basofil

- Peningkatan permeabilitas vaskuler

- Konstraksi otot polos (vasodilatasi)

2

5-Hidroksitriptamin (5-HT) atau serotonin

Trombosit

Sel Mastosit

- Peningkatan permeabilitas vaskuler

- Konstraksi otot polaos (vasodilatasi)

3

Platelet Activating Factor (PAF)

Basofil

Netrofil

Makrofag

- Pelepasan mediator dari trombosit

- Peningkatan permeabilitas vaskuler

- Konstraksi otot polos (vasodilatasi)

- Aktivasi netrofil

4

Neutrophil-Chemotactic Factor (NCF)

Sel mastosit

Kemotaksis netrofil

5

Chemokines

Leukosit

Merangsang dan kemotaksis

6

C3a

Komplemen C3

- Degranulasi sel mastosit

- Konstraksi otot polos (vasodilatasi)

7

C5a

Komplemen C5

- Degranulasi sel mastosit

- Konstraksi otot polos (vasodilatasi)

- Kemotaksis netrofil dan makrofag

- Aktivasi netrofil

- Peningkatan permeabilitas vaskuler

8

Bradikinin

Sistem kinin

(Kininogen)

- Vasodilatasi

- Konstraksi otot polos

- Peningkatan permeabilitas vaskuler

- Rasa nyeri

9

Fibrinopeptida dan produk asal fibrin

Clotting system

- Peningkatan permeabitilas vaskuler

- Kemotaksis netrofil dan makrofag

10

Prostaglandin E2 (PG E2)

Jalur sikolooksigenase

- Vasodilatasi

- Meningkatan permeabilitas vaskuler oleh bradikinin dan histamin

11

Prostaglandin I2

(Prostasiklin)

Jalur sikolooksigenase

Anti-agregasi trombosit

12

Prostaglandin F2

Jalur sikolooksigenase

Konstraksi bronkus dan vasokonstriksi

13

Leukotrien (LT)

LTC4, LTD4, LTE4

Jalur lipooksigenase

- Peningkatan sekresi mucus

- Peningkatan permeabilitas vaskuler

- Konstriksi bronkus

14

LTB4

Jalur lipooksigenase

- Adhesi dan kemotaksis leukosit

- Perangsangan netrofil: agregasi, pelepasan enzim, pembangkiatn superoksida

- Sinergi dengan PG E2 dalam meningkatkan permeabilitas vaskuler

(Ward, 1993; Baratawidjaja, 2002; Katzung dan Payan, 1997)

C. Binahong atau Anredera cordifolia


Gb. Binahong (Anredera cordifolia)

Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Caryophyllales
Famili : Basellaceae
Genus : Anredera
Spesies : Anredera cordifolia (Ten.) Steenis

(Mao-Te Chuanga, Yin-Shiou Linb, and Wen-Chi Hou, 2007)

Secara alami binahong atau Anredera Cordifolia merupakan jenis tumbuhan menjalar, berumur panjang (perenial), bisa mencapai panjang kurang lebih lima meter. Berbatang lunak, silindris, saling membelit, berwarna merah, bagian dalam solid, permukaan halus, kadang membentuk semacam umbi yang melekat di ketiak daun dengan bentuk tak beraturan dan bertekstur kasar.

Daunnya termasuk jenis tunggal, bertangkai sangat pendek (subsessile), tersusun berseling, berwarna hijau, bentuk jantung (cordata), panjang 5-10 cm, lebar 3-7 cm. Helaian daun tipis lemas, ujung runcing, pangkal berlekuk (emerginatus), tepi rata, permukaan licin, dan aman untuk dikonsumsi. Bunganya majemuk berbentuk tandan, bertangkai panjang, muncul di ketiak daun, mahkota berwarna krem keputih-putihan berjumlah lima helai tidak berlekatan, panjang helai mahkota 0,5-1 cm, berbau harum. Akarnya berbentuk rimpang, berdaging lunak (Anonim, 2007).

Tanaman ini belum banyak diteliti manfaat dan kandungan zatnya. Manfaat binahong sebagai obat luka yang sering digunakan oleh masyarakat belum dibuktikan secara ilmiah. Pada tanaman ini dipercaya mengandung antioksidan tinggi dan antivirus (Anonim, 2007). Tanaman ini tumbuh dari rhizome yang berdaging yang mengandung ancordin. Ancordin dapat menstimulasi produksi nitrit oxide (NO) (Mao-Te Chuanga, Yin-Shiou Linb, and Wen-Chi Hou, 2007). NO merupakan gas yang ditemukan alamiah dalam tubuh yang merupakan substansin dilator umur pendek yang dilepaskan oleh sel endotel pembuluh darah terhadap pengikatan vasodilator pada reseptor sel endotel (Dorland, 2002). Pada tanaman ini terdapat karoten, asam organic, mukopolisakarida, saponin, viamin A, vitamin B, dan vitamin C.

BAB III

DISKUSI DAN PEMBAHASAN

A. Patofisiologi Tanda dan Gejala Klinis Pasien

Pasien mengalami bengkak pada jempol tangan kiri setelah beberapa jam yang lalu terkena pukulan saat bekerja. Bengkak tersebut disebabkan oleh adanya tekanan dari luar (pukulan) atau trauma fisik pada vaskuler sehingga menyebabkan keluarnya cairan-cairan dalam aliran darah ke jaringan interstisial disekitarnya. Kemudian timbuk rasa nyeri atau sakit ringan pada jempol tersebut yang mungkin disebabkan oleh adanya rangsangan/stimulus pada ujung-ujung neuron syaraf aferen yang mempersarafi daerah tersebut dan adanya bradikinin dan prostaglandin yang merangsang nyeri akibat pengaktifan system kontak pada trauma fisik tersebut. Di mana bradikinin merupakan hasil dari system kinin yang distimulus oleh adanya kontak jaringan tersebut. Panas pada daerah tersebut merupakan sebagai gambaran adanya aliran darah hangat membawa system inflamator dan hasil metabolisme di mana panas ini sering disertai adanya kemerahan karena adanya penyuplaian darah lebih pada daerah trauma tersebut yang didukung oleh vasodilatasi vaskuler. Pasien sedikit gatal setelah pemberian daun binahong mungkin disebabkanoleh reaksi alergi pada pasien.

Bintik kekuningan yang kita anggap sebagai nanah (pus) pada pasien merupakan sisa-sisa fagositosis terhadap invasi mikroorganisme. Diduga nanah tersebut mengindentifikasikan adanya inflamasi yang disebabkan oleh invasi mikroba yang masuk tubuh lewat luka terbuka (lecet)pada pasien atau melalui daun binahong yang tidak steril yang digunakan pasien. Adanya demam (38,50C) pada pasien disebabkan oleh adanya infeksi atau inflamasi sebagai respons invasi mikroba sehingga leukosit tertentu sepat mengurangi pengeluaran panas. Hal inilah yang menimbulkan mekanisme panas pada pasien tersebut. Panas mengalami sedikit takikardia (102 kali/menit, normal 60-100 kali/menit) sebagai usaha jantung untuk dapat mensuplai darah yang cukup pada daerah terkena inflamasi. Konsistensi keras pada jempol tangan kiri pasien dikarenakan eksudat pada daerah tersebut berupa nanah (pus) padat dan adanya vasokonstriksi otot pada daerah tersebut. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis dikarenakan leukosit berusaha untuk mengatasi invasi mikroba pada inflamasi tersebut untuk menjaga pertahanan tubuh normal.

Berdasarkan tanda dan gejala kilnis pada pasien di atas dan hasil studi pustaka penulis maka pasien mengalami inflamasi akut yang disebabkan oleh trauma fisik dan infeksi mikroba.

B. Pengaruh Daun Binahong Pada Pasien

Daun binohang (Anredera cordifolia) sering digunakan oleh masyarakat untuk mengobati luka , radang, bengkak, atau jenis luka lainnya. Namun hal ini belum ada penelitian mengenai manfaat dan kandungan zat dalam tanaman tersebut. Tanaman ini hanya digunakan berdasarkan pengalaman empiris masyarakat. Namun ada beberapa penelitian yang mengungkapkan adanya acordin pada tanaman tersebut dapat menstimulasi produksi nitrit acid yang berperan dalam vasodilatasi sel endotel pembuluh darah yang hal ini sangat penting dalam proses inflamasi. Kemudian beberapa penulis artikel lepas mengungkapkan adanya antioksidan tinggi dan antivirus pada tanaman ini. Mungkin hal di atas yang dapat membantu proses penyembuhan inflamasi atau luka pada pasien oleh daun binahong. Ada pun sedikit gatal pada pasien setelah pemberian daun binahong kemungkinan merupakan suatu reaksi alergi yang sangat dipengaruhi oleh reaksi antibody seseorang terhadap agen yang masuk ke dalam tubuh.

C. Penatalaksanaan Pasien

Penatalaksanaan pada pasien dapat dilakukan dengan beberapa hal berikut ini:

- Melakukan insisi/pengeluaran bintik kekuningan (nanah) dan dibersihkan dengan desinfektan

- Pemberian obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS) seperti golongan salisilat dan glukokortikoid. Salisilat mampu menurunkan pengeluaran histamine dan menghambat pembentukan prostaglandin. Glukokortikoid hampir menekan semua aspek respons peradangan.

- Pemberian antibiotic untuk melawan atau menghambat invasi mikroba. Untuk pemberian jenisnya diperlukan anamnesis dan pemeriksaan lainya pada pasien.

- Pemberian obat penurun panas yang menghambat terbentuknya pirogen-endogen.

- Pemberian informasi untuk senantiasa menjaga sterilitas dalam kehidupan sehari-hari untuk mencegah adanya invasi mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh.

BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Pasien mengalami inflamasi akut yang disebabkan oleh trauma fisik karena pukulan dan infeksi mikroba melalui luka terbuka (lecet) atau daun binahong yang tidak steril.

2. Leukositosis disebabkan oleh usaha tubuh untuk melawan invasi mikroba yang menyerang system pertahanan tubuh normal dan tingginya leukosit dalam darah untuk mencapai jaringan/organ yang diserang.

3. Daun binahong (Anredera cordifolia) memiliki efek membantu proses inflamasi dengan menstimulasi produksi nitrit acid (efek vasodilator) sebagai induksi ancordin dalam tanaman tersebut dan penggunaan tanaman tersebut sebagai obat hanya pada level herbal dengan pengalaman empiris masyarakat.

4. Penatalaksanaan pasien dilakukan dengan pengeluaran nanah/bintik kekuningan, pemberian AINS, antibiotic, dan obat penurun panas serta melakukan edukasi pasien untuk menjaga sterilitas dalam kehidupan sehari-hari.

B. Saran

a. Pasien sebaiknya dilakukan anamnesis dan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui jenis mikroba yang menyebabkan inflamasi pada pasien. Hal ini berguna untuk melakukan jenis antibiotic yang diberikan pada pasien.

b. Perlu dilakukannya penelitian mengenai kandungan zat dan manfaat tanaman binahong (Anredera cordifolia).

c. Sebaiknya antara skenario dengan alur/ peta konsep yang diberikan pada buku pedoman selaras dan adanya sinkronisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007. Binahong: Si Mesterius Kaya Khasiat. In: http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/common/banner.aspx?x=cybershopping&id=18 (13 November 2007)

Baratawidjaja, Karnen G. 2002. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Chuanga, Mao-Te ; Yin-Shiou Linb; Wen-Chi Hou. Ancordin, the major rhizome protein of madeira-vine, with trypsin inhibitory and stimulatory activities in nitric oxide productions. Peptides . Taiwan, June 2007; 28: 1311-1316.

Dorland, W.A.Newman.2002.Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC.

Guyton, Arthur C dan John E Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC.

Hoffbrand, A.V.; J.E. Pettit; PAH. Moss. 2005. Kapita Selekta Hematologi. Edisi 4. Jakarta: EGC.

Katzung, Bertram G. 1998. Farmokologi Dasar dan Klinik Edisi IV. Jakarta: EGC.

Kusumawati, Ratna. 2005. Kuliah ”Darah”. Disampaikan pada Kuliah Semester IV Angkatan 2005.

Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.

Sunarto. 2006. Inflamasi. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Edisi IV.Jakarta: Pusat Penerbit Departemen IPD FKUI.

Sutedjo, A.Y. 2007. Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Yogyakarta: Amara Books.

Tim Penyusun. 2007. Buku Pedoman Mahasiswa: Blok IV Hematologi. Surakarta: Unit Pengembangan Pendidikan FK UNS.

Ward, Peter A. 1993. Inflamasi. In: Imunologi 3. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Widodo, Djoko H. 1998. Hitung Jenis Leukosit dan Gambaran Apusan darah Tepi. In: Pangantar Analisa Laboratorium Patologi Klinik I. Surakarta: UNS.