19.6.09

Poliuria

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Diabetes melitus merupakan salah satu dari sindrom metabolik yang paling sering terjadi, terutama pada orang-orang dengan riwayat keluarga yang pernah mngidap diabetes dan obesitas. Penyakit ini kerap dikaitkan dengan pola hidup khususnya pola makan dan keturunan serta obesitas. Penyakit ini berhubungan erat dengan insulin yang berperan dalam metabolisme dalam tubuh. Oleh karena itu, disamping pengetahuan mengenai diabetes, pengetahuan tentng insulin pun perlu menjadi perhatian.

Dalam laporan ini akan dijelaskan megenai insulin dan enzim antagonisnya yaitu glukagon dalam peranannya pada pengendalian kadar glukosa darah. Lalu setalah itu juga akan dibahas mengenai diabetes melitus, diabetes insipidus, gout artritis, obesitas, sindrom metabolik dan dislipidemia. Pada pembahasan, penulis akan membahas lebih khusus kepada patofisiologi timbulnya poliuria, polidipsi dan polifagi serta ulasan mengenai diabetes, obesitas dan sindrom metabolik.

II. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah yang dimaksud dengan deiabets melitus dan diabetes insipidus? Apakah keduanya sama atau berlainan?

2. Mengapa dapat terjadi poliuri pada kasus ini?

3. Masuk ke dalam jenis yang manakah kasus pada skenario 1 ini?

III. TUJUAN

Tujuan Umum

a. Memahami dan mampu menjelaskan patogenesis dan patofisiologi suatu penyakit berdasar pada prinsip-prinsip ilmu dasar yang relevan.

b. Memahami tujuan dan manfaat dari suatu penatalaksanaan serta efek samping dan komplikasi dari suatu penyakit.

Tujuan Khusus

a. Memahami fungsi dan kerja insulin serta hormon lain yang mempengaruhi pengaturan kadar glukosa dalam darah.

b. Mengetahui mengenai sindrom metabolik, diabetes melitus, diabetes insipidus, gout artritis, dislipidemia dan obesitas serta penatalaksanaannya.

c. Mengetahui patofisilogis poliuria.

IV. MANFAAT

Penulisan laporan dari hasil tutorial skenario I pada blok VI Endokrinologi ini bermanfaat bagi penulis khususya dan bagi para pembaca pada umumnya adalah guna mengetahui dan memahami fungsi insulin dalam tubuh manusia dan berbagai penyakit sindrom metabolik. Khususnya mengenai mekanisme pada poliuria pada penyakit diabetes melitus.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

INSULIN DAN GLUKAGON DALAM PENGATURAN KADAR GLUKOSA DARAH

Selain fungsi pencernaan, pankreas juga mensekresikan dua hormon yang penting, yakni insulin dan glukagon. Pankreas mempunyai 1 sampai 2 pulau Langerhans dan tersusun mengelilingi pembuluh kapiler kecil yang merupakan tempat penampungan hormon yang disekresikan oleh sel-sel tersebut. Pulau Langerhans mengandung tiga jenis sel utama, yaitu sel alfa, beta dan delta yang dapat dibedakan dari ciri morfologik dan peewarnaannya. Pada sel beta yang terdapat di pulau Langerhans inilah insulin disekresikan oleh pankreas. Sedangkan glukagon disekresi oleh sel alfa.

Insulin merupakan hormon anabolik yang memiliki pengaruh besar terhadap metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Insulin terdiri atas dua rantai asam amino, yang satu sama lainnya dihubungkan oleh ikatan disulfida. Insulin disintesis oleh sel-sel beta dengan cara yang mirip dengan sintesis protein, yakni diawali dengan translasi RNA insulin oleh ribosom yan gmelekat pada retikulum endolasma untuk membentuk preprohormon insulin. Kemudian preprohormon insulin ini akan melekat pada pada retikulum endoplasma untuk membentuk proinsulin. Lalu sebagian besar proinsulin ini melekat erat pada alat Golgi untuk membentuk insulin sebelum terbungkus dalam granula sekretorik. Kira-kira seperenam dari hasil akhirnya tetap dalam bentuk proinsulin. Proinsulin ini tidak memiliki aktivitas insulin. Selain sebagian insulin yang berikatan denga reseptor yang ada pada sel target, sisa insulin didegradasi oleh enzim insulinase terutama di dalam hati, sebagian kecil dipecah di dalam ginjal dan otot dan sedikit di dalam jaringan yang lain.

Insulin berperan dalam metabolisme glukosa, protein dan lemak dalam hal sebagai berikut:

1. Insulin menghambat fosforilasi hati, yang merupakan enzim utama yang menyebabkan terpecahnya glikogen dalam hati menjadi glukosa sehingga akan mencegah pemecahan glikogen yang telah tersedia dalam sel-sel hati. Insulin akan meningkatkan pemasukan glukosa dari darah oleh sel-sel hati. Ini terjadi dengan meningkatkan aktivitas enzim glukokinase, yang merupakan salah satu enzim yang menyebabkan timbulnya fosforilasi awal dari glukosa sesudah glukosa berdifusi ke dalam hati. Glukosa yang sudah terfosforilasi tidak dapat berdifusi kembali. Selain itu, insulin juga meningkatkan aktivitas enzim-enzim yang meningkatkan sintesis glikogen, termasuk enzim glikogen sintase yang bertanggung jawab untuk polimerasi dari unit-unit monosakarida untuk membentuk molekul-molekul gllikogen.

2. Insulin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sebagian besar jaringan tubuh, yang secara otomatis akan mengurangi pemakain lemak, jadi berfungsi sebagai suatu : penghemat lemak” insulin akan menghambat kerja lipase sensitif-hormon. Sehingga pelepasan asam lemak dari jaringan adiposa ke dalam sirkulasi darah akan terhambat. Bila tidak ada insulin, maka semua asoek pemecahan lemak dan yang digunakan untuk menyediakan energi akan sangat meningkat yang terutama energi tersebut akan digunakan oleh seluruh jaringan tubuh kecuali otak

3. Insulin menyebabkan timbulnya pengangkutan secara aktif sebagian besar asam amino ke dalam sel. Insulin juga menghambat proses katabolisme protein, jadi mengurangi kecepatan pelepasan asam amino dari sel, khususnya dari sel-sel otot.

Pelepasan insulin turut melibatkan sejumlah intermediat yaitu konsentrasi glukosa dalam darah, faktor hormonal lainnya seperti epinefrin dan preparat farmakoligik misalnya senyawa sulfonilurea. (Murray, 2003; Turner, 1988; Guyton, 1997)

Glukagon merupakan hormon katabolik bereaksi terutama pada hati untuk menggiatkan proses glikogenetik, sehingga menaikkan gula darah. Glukagon ini disekresi oleh sel-sel alfa pulau Langerhans yang memiliki beberapa fungsi bertentangan dengan fungsi insulin. Pengaruh glukagon adalah mempermudah aktivasi fosforilase, yakni suatu enzim glukosa darah. Efek glukagon terhadap metabolisme glukosa adalah (1) pemecahan glikogen hati (glikogenolisis) dan (2) meningkatkan proses glukogenogenesis di dalam hati. (Turner, 1988; Guyton, 1997)

DIABETES MELITUS

Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara klinis, maka diabetes melitus ditandai dengan hiperglikemia dan postprandial, aterosklerotik dan peyakit vaskular mikroangiopati dan neuropati. Manifestasi klinis hiperglikemia biasanya sudah bertahun-tahun mendahului timbulnya kelainan klinis dari penyakit vaskularnya. (Price, 2005)

Etiologi

Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau Diabetes Melitus Tergantung Insulin (DMTI) disebabkan oleh destruksi sel β pilau Langerhans akibat proses autoimun. Sedangkan Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau Diabetes Melitus Tidak Trgantung Insulin (DMTII) disebabkan kegagalan relatif sel β dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel β tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa. (Mansjoer, 2000)

Klasifikasi

Berdasarkan pengetahuan mutakhir mengenai patogenesis sindrom diabetes dan gangguan toleransi glukosa, yang telah disahkan oleh WHO dan telah dipakai di seluruh dunia, diabetes melitus diklasifikasikan menjadi empat yaitu: (1) diabetes melitus tipe 1 (2) diabetes melitus tipe 2 (3) diabetes melitus gestasional (4) diabetes melitus tipe lain. (Price, 2005)

Manifestasi Klinis

Manifestasi diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin. pasien dengan diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang eksplosif dengan polidipsia, poliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen yang terjadi selama beberapa hari atau beberapa minggu. Sebaliknya pasien dengan diabetes tipe 2 migkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. (Price, 2005)

Komplikasi

1. Akut

a. Koma hipoglikemia

b. Ketoasidosis

c. Koma hiperosmolar nonketotik

2. Kronik

a. Makroangiopati; mengenai pembuluh darah besar seperti pembuluh darah jantung, tepi dan otak. (atherosclerosis dan menyebabkan stroke).

b. Mikroangiopati; mengenai pembuluh darah kecil,seperti retinopati diabetik, nefropati diabetik, neuropati diabetik.

c. Neuropati diabetik.

d. Rentan infeksi.

e. Kaki diabetik.

(Mansjoer, 2000)

Diagnosis

Diagnosis diabetes melitus berdasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnisa, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risko DM sebagai berikut: 1) Usia > 45 tahun; 2) Berat badan lebih: BBR >110% BB idaman atau IMT > 23 kg/m2; 3) Hipertensi;( > 140/90 mmHg); 4) Riwayat DM dalam garis keturunan; 5) Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB bayi > 4000 gram; 6) Kolesterol HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/ dl. (Reno, 2006)

Penatalaksanaan

1. Perencanaan makan (meal planning)

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan kegiatan jasmani untuk mencapai berat badan ideal. Konsumsi garam dibatasi bila terdapat hipertensi, sedangkan untuk pemanis dapat digunakan secukupnya.

2. Latihan jasmani

Dianjurkan latihan jasmani teratur, 3-4 kali tiap mingu selama + 0,5 jam yang sifatnya sesusi CRIPE (Continous, Interval, Progressive, Endurance training). Latihan dilakukan terus menerus tanpa berhenti, otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur, selang-seling antara gerak cepat dan lambat, berangur-angsur dari sedikit ke latihan yan glebih berat secara bertahap dan bertahan dalam waktu tertentu.

3. Obat berkhasiat hipoglikemik

Jika telah dilakukan pengaturan makan dan kegiatan jasmani yang teratur tetapi kadar glukosa darahnya masih belum baik, dipertimbangkan pemakaian obat berkhasiat hipoglikemik (oral/suntikan) seperti sulfonilurea, biguanid, inhibitor α glukosidase dan insulin sensitizing agent.

(Mansjoer, 2000)

DIABETES INSIPIDUS

Adalah penyakit yang disebabkan oleh terganggunya system neurohypophyseal-renal reflex yang berakibat pada kegagalan tubuh mengkonversi air.

Gejala Klinis

Gejala klinis yang timbul adalah poliuria dan polidipsia. Selain itu jarang ditemukan gejala yang lain, kecuali jika ada penyakit lain yang menyebabkan terjadinya gangguan pada system neurohypophyseal-renal reflex. (Ranakusuma et.al, 2006)

ADH dan Efek Fisiologisnya

Ekskresi urin dalam tubuh di atur melalui makanisme neurohypophyseal-renal reflex. Komponen humoral dalam proses ini adalah ADH (Anti Deuretik Hormon) atau Arginin Vasopresin(AVP) yang dihasilkan oleh nucleus supraoptik, paraventrikuli, dan filiformis hypothalamus dan diangkut melalui akson traktus supraoptikohipofisealis dan akson akson hipofisis posterior dalam ikatan dengan protein pembawa spesifik yang dinamakan neurofisin II. Pengaturan sekresi ADH dilakukan oleh sejumlah stimulus yang berlainan. Stimulan fisiologik primer adalah peningkatan osmolalitas plasma yang diperankan oleh osmoreseptor( Verney’s osmoreceptor cells) yang terletak di hipotalamus dan baroreseptor yang terletak di jantung. Stimulus lainnya dapat berupa stress emosional atau fisik, preparat farmakologik mencakup asetilkolin, nikotin serta morfin. Sebagian besar stimulant ini meningkatkan pelepasan ADH dan neurofisin II. (Murray, 2003)

Mekanisme kerja ADH

Sel taget dari ADH adalah sel-sel pada tubulus kontortus proximal dan tubulus koligentes. Saluran ini melewati medulla renal yaitu tumpat depot solute extrasel memiliki gredien osmolalitas sampai 4 kali gradient osmolalitas plasma. Sel-sel ini bersifat relative impermeable terhadap air. Dalam keadaan tanpa ADH maka urin tidak dipekatkan dan dapat diekskresikan lebih dari normal. ADH bekerja meningkatkan permeabilitas sel-sel tersebut thd air sehingga terjadi terjadi keseimbangan osmolalitas cairan dalam tubulus dengan cairan intersisial yang hipertonis.

Reseptor ADH ada dua yaitu V1 dan V2. Reseptor V2 hanya ditemukan pada permukaan sel epitel renal. Reseptor ini berikatan dengan adenilil siklase, dan cAMP kemudian muncul untuk melakukan fosforilasi protein membrane sel kemudian meningkatkan permiabilitas dengan cara melebarkan ukuran pori dan memperbanyak jumlah pori. Terdapat fosfatase pada membrane yang dapat mengembalikan proses tersebut diatas. Integritas mikrotubulus dan mikrofilamen merupakan factor yang penting pula dalam peningkatan permeabilitas selain proses pembentukan cAMP. Semua reseptor V1 terletak di luar ginjal. Pengikatan ADH dengan reseptor V1 akan mengaktifkan enzim fosfolipase C yang menyebabkan pembentukan IP3 dan diasilgliserol. Keadaan ini akan meningkatan kadar ion Ca intrasel dan aktivasi enzim protein kinase C. Efek utama reseptor V1 adalah vasokonstriksi dan peningkatan resistensi vaskuler perifer. (Murray, 2003)

Regulasi ADH Secara Osmotic Dan Non-Osmotik

Secara osmotic

Depesi cairanà peningkatan osmolalitas cairan ekstrasel (ECF)àpenurunan volume sel-sel osmoreseptoràstimulasi listrikà depolarisasi membran sel-sel osmoreseptoràeksositosis dan pelepasan ADH.

Secara nonosmotik

Stimulan yang terlibat adalah hipotensi dan deplesi cairan ECF. Stimulasi lain adalah keadaan dimana terjadi peningkatan stimulasi andregenik termasuk rasa nyeri, takut, payah jantung, dan hipoksia. (Murray, 2003)

Patogenesis

Diabetes insipidus dibagi menjadi 2 jenis yaitu :

1. Diabetes Insipidus Sentral(DIS), disebabkan oleh kegagalan pelepasan ADH yang secara fisiologis dapat merupakan kegagalan sintesis atau penyimpanan. DIS judga timbul akibat gangguan pengangkutan. Secara biokimia, DIS dapat terjadi kerena gangguan kuantitas maupun kualitas ADH. Sintesis Neurofisin II yang abnormal dapat juga mengganggu pelepasan ADH. Selain itu DIS juga dapat disebabkan oleh adanya antibody terhadap ADH. Kerusakan pada osmoreseptor pada hypothalamus dapat juga mengakibatkan DIS.

2. Diabetes Insipidus Nefrogenik (DIN), disebabkan oleh :

· Kegagalan pembentukan dan pemeliharaan gradient osmotic dalam medulla renalis.

· Kegagalan utilitasi gradient pada keadaan dimana ADH dalam keadaan jumlah yang cukup dan berfungsi normal.

(Ranakusuma et.al, 2006)

Pemeriksaan Khusus DI

Setelah diketahui bahwa poliuria yang terjadi adalah diuresis air murni, maka langkah selanjutnya adalah menentukan penyakit penyebabnya. Test-test yang dapat dilakukan adalh sebagai berikut :

1. Hickey-Hare atau Carter-Robbins test

2. Fluid deprivation menurut Martin Goldberg

3. Uji nikotin

4. Uji vasopressin

(Ranakusuma et.al, 2006)

Pengobatan DI

Biasanya diperlukan terapi hormone penggantiàDDAVP(1-Idesamino-8-d-arginine vasopressin) dan Vasopressin tanate.

Selain terapi hormon pengganti dapat juga dipakai terapi adjuvant yang secara fisiologis mengatur keseimbangan air dengan cara :

· Mengurangi jumlah air ke tubulus distal dan collecting duck

· Memacu pelepasan ADH endogen

· Meningkatkan efek ADH endogen yang masih ada pada tubulus ginjal

Obat-obatan adjuvant yang biasa dipakai :

1. Diuretik Tiazid

2. Kloropropamid

3. Klofibrat

4. Karbamazepin

(Ranakusuma et.al, 2006; Murray, 2003)

SINDROM METABOLIK

Sindrom metabolik dikenal pertama kali sebagai sindrom X yang mengkaitkannyadengan resistensi insulin. Namun dalam perkembangannya, berkembang beberapa kriteria yang sebenarnya mempunyai tujuan yang sama yaitu mengenali sedini mungkin gejala gangguan metabolik sebelum seseorang jatuh dalam keadaan sakit. Adapun kriteria-kriteria tersebut adalah sebagai berikut:

scan0003.jpgSindrom metabolik dapat ditegakkan apabila seseorang memiliki sedikitnya 3 (tiga) kriteria. Sedangkan untuk penatalakasanaannya terdiri atas 2 pilar, yaitu tatalaksana penyebab (berat badan lebih/ obesitas dan inaktivitas fisik) serta tatalaksana faktor risiko lipid dan non lipid. Adapun tujuan utama dari penatalaksanaan pada sindrom metabolik adalah untuk menurunkan risiko penyakit kardiovaskular arterosklerosis dan risiko diabetes melitus tipe pada pasien yang belum diabetes. (Sidartawan, 2006)

OBESITAS

Obesitas adalah kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang berlebihan. Setiap orang memerlukan sejumlah lemak tubuh untuk menyimpan energi, sebagai penyekat panas, penyerap guncangan dan fungsi lainnya. Rata-rata wanita memiliki lemak tubuh yang lebih banyak dibandingkan pria. Perbandingan yang normal antara lemak tubuh dengan berat badan adalah sekitar 25-30% pada wanita dan 18-23% pada pria. Wanita dengan lemak tubuh lebih dari 30% dan pria dengan lemak tubuh lebih dari 25% dianggap mengalami obesitas.

Obesitas digolongkan menjadi 3 kelompok:

· Obesitas ringan : kelebihan berat badan 20-40% .

· Obesitas sedang : kelebihan berat badan 41-100% .

· Obesitas berat : kelebihan berat badan >100%.

Penyebab Obesitas

Secara ilmiah, obesitas terjadi akibat mengkonsumsi kalori lebih banyak dari yang diperlukan oleh tubuh. Penyebab terjadinya ketidakseimbangan antara asupan dan pembakaran kalori ini masih belum jelas. Terjadinya obesitas melibatkan beberapa faktor:

· Faktor genetik. Obesitas cenderung diturunkan, sehingga diduga memiliki penyebab genetik.

· Faktor lingkungan. Gen merupakan faktor yang penting dalam berbagai kasus obesitas, tetapi lingkungan seseorang juga memegang peranan yang cukup berarti. Lingkungan ini termasuk perilaku/pola gaya hidup (misalnya apa yang dimakan dan berapa kali seseorang makan serta bagaimana aktivitasnya). Seseorang tentu saja tidak dapat mengubah pola genetiknya, tetapi dia dapat mengubah pola makan dan aktivitasnya.

· Faktor psikis. Apa yang ada di dalam pikiran seseorang bisa mempengaruhi kebiasaan makannya. Banyak orang yang memberikan reaksi terhadap emosinya dengan makan. Ada dua pola makan abnormal yang bisa menjadi penyebab obesitas yaitu makan dalam jumlah sangat banyak (binge) dan makan di malam hari (sindroma makan pada malam hari). Kedua pola makan ini biasanya dipicu oleh stres dan kekecewaan.

· Faktor kesehatan. Beberapa penyakit bisa menyebabkan obesitas, diantaranya hipotiroidisme, sindroma cushing, sindroma prader-willi dan beberapa kelainan saraf yang bisa menyebabkan seseorang banyak makan.

· Obat-obatan.

Obat-obat tertentu (misalnya steroid dan beberapa anti-depresi) bisa menyebabkan penambahan berat badan.

· Faktor perkembangan. Penambahan ukuran atau jumlah sel-sel lemak (atau keduanya) menyebabkan bertambahnya jumlah lemak yang disimpan dalam tubuh. Penderita obesitas, terutama yang menjadi gemuk pada masa kanak-kanak, bisa memiliki sel lemak sampai 5 kali lebih banyak dibandingkan dengan orang yang berat badannya normal. Jumlah sel-sel lemak tidak dapat dikurangi, karena itu penurunan berat badan hanya dapat dilakukan dengan cara mengurangi jumlah lemak di dalam setiap sel.

· Aktivitas fisik. Kurangnya aktivitas fisik kemungkinan merupakan salah satu penyebab utama dari meningkatnya angka kejadian obesitas di tengah masyarakat yang makmur. Orang-orang yang tidak aktif memerlukan lebih sedikit kalori. Seseorang yang cenderung mengkonsumsi makanan kaya lemak dan tidak melakukan aktivitas fisik yang seimbang, akan mengalami obesitas.

Gejala Obesitas

Penimbunan lemak yang berlebihan dibawah diafragma dan di dalam dinding dada bisa menekan paru-paru, sehingga timbul gangguan pernafasan dan sesak nafas, meskipun penderita hanya melakukan aktivitas yang ringan. Gangguan pernafasan bisa terjadi pada saat tidur dan menyebabkan terhentinya pernafasan untuk sementara waktu (tidur apneu), sehingga pada siang hari penderita sering merasa ngantuk. Obesitas bisa menyebabkan berbagai masalah ortopedik, termasuk nyeri punggung bawah dan memperburuk osteoartritis (terutama di daerah pinggul, lutut dan pergelangan kaki). Juga kadang sering ditemukan kelainan kulit. Seseorang yang menderita obesitas memiliki permukaan tubuh yang relatif lebih sempit dibandingkan dengan berat badannya, sehingga panas tubuh tidak dapat dibuang secara efisien dan mengeluarkan keringat yang lebih banyak. Sering ditemukan edema (pembengkakan akibat penimbunan sejumlah cairan) di daerah tungkai dan pergelangan kaki.

Komplikasi

Obesitas bukan hanya tidak enak dipandang mata tetapi merupakan dilema kesehatan yang mengerikan. Obesitas secara langsung berbahaya bagi kesehatan seseorang. Obesitas meningkatkan resiko terjadinya sejumlah penyakit menahun seperti:

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan obesitas dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu pengobatan dasardan pengobatan terhadap komplikasinya.

Pengobatan Dasar

1) Diet.

Dianjurkan diet dengan rendah kalori tetapi cukup gizi, ialah 15 ­ 20 kalori/kg.bb.,dengan komposisi 20% protein, 65% karbohidrat dan 15% lemak, komposisi tersebut mirip dengan komposisi diet B1 dari Askandar. Diet yang tak lazim misalnya diet hanya dengan protein saja (tiger diet), diet tidak makan nasi sama sekali, pada saat sekarang ini tidak sesuai lagi.

2)Olah Raga.

Di samping mempercepat metabolisme, juga dapat membuat kondisi tubuh lebih segar dan dapat menambah estetika. Olah raga dimaksudkan agar jumlah kalori yang dikeluarkan tubuh lebih banyak daripada jumlah kalori yang masuk. Dengan olah raga yang baik akan terjadi peningkatan metabolisme.

3)Obat-obatan.

Obat-obatan yang banyak digunakan untuk obesitas terdiri dari obat penahan nafsu makan di antaranya ialah golongan amfetamin, obat yang meningkatkan/mempercepat metabolisme tubuh misalnya preparat tiroid, obat pemacu keluarnya cairan tubuh misalnya diuretika; pencahar. Namun obat-obat tersebut bila digunakan dalam jangka panjang akan menyebabkan efek samping sangat merugikan tubuh. Oleh karena itu penggunaannya sebaiknya disertai kontrol ketat.

4)Pembedahan.

Operasi jejuno-ileal by-pass dilakukan memotong sebagian usus halus yang menyerap makanan, tetapi resikonya cukup besar sehingga hal tersebut harus dilakukan dengan indikasi yang cukup kuat, yaitu apabila obesitas tak dapat diobati dengan tindakan konservatif. Operasi pengambilan jaringan lemak (adipektomi), lebih cenderung bersifat estetika.

(Hermawan, 1991; Anonim, 2008)

GOUT ARTRITIS

Gout artritis adalah radang sendi yang diakibatkan oleh kumpulan gangguan metabolisme purin, yang ditandai dengan berbagai kombinasi: (1) hiperurisemia, (2) artirtis akut disertai peradangan yang berulang karena kristal monosodium urat monohidrat, (3)pengendapan tofi dari kristal kristal tersebut pada dan disekeliling persendian ekstremitas (cacat persendian). Jadi, gout artritis merupakan kelompok gagguan metabolik yang ditandai dengan konsentrasi asam urat (hiperurisemia) >7,0 mg/dL pada pria dan > 6,0 mg/dL pada wanita.

Supernsaturnasi asam urat dipengaruhi hormon estrogen. Estrogen menaikkan ekskresi melalui ren. Jadi, pada laki-laki lebih rentan terkena gout (95%) daripada perempuan tetapi perempuan menopause juga rentan terkena gout.

Gout Artritis diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

1. Primer: akibat langsung pembentukan asam urat tubuh yang berlebihan atau akibat penurunan ekskresi asam urat.

2. Sekunder: disebabkan oleh pembentukan asam urat yang berlebihan atau ekskresi asam urat yang berkurang akibat proses penyakit lain atau pemakaian obat-obat tertentu. (Price, 2005; Tehupeiory, 2006)

Gambaran Klinis

Tahapan perjalanan klinis gout artritis yang tidak diobati:

1. Hiperurisemia asimtomatik à pasien tidak menunjukkan gejala selain dari peningkatan asam urat serum.

2. Artrirtis Gout akut à terjadi awitan pembengkakan yang bersifat monoartikuler keluhan utama tumor, kalor, dolor, rubor, dan gejala sistemik berupa demam, menggigil dan merasa lelah.

Faktor Pencetus : trauma local, diet tinggi purin, kelelahan fisik, stres, pemakaian obat diuretic.

3. Stadium interkritikal à kelanjutan dari stasium akut, tidak terdapat gejala namun pada aspirasi sendi ditemukan kristal urat menunjukkna peradangan tetap berlanjut walaupun tidak ada gejala.

4. Gout kronik à timbunan asam urat menahun jika tidak diobati. Disertai tofi yang banyak dan terdapat poliartikular. Tofi terbentuk karena insolubilitas relatif asam urat.

Gout dapat merusak ginjal karena ekskresi asam urat buruk. Kristal asam urat dapat terbentuk dalam interstitium medulla, papilla dan pyramid sehingga timbul proteinuria dan hipertensi ringan. Batu ginjal juga bis terbentuk sebagai akibat sekunder. (Price, 2005; Tehupeiory, 2006)

Pengobatan

Untuk pengobatannya tergantung jenis gout yangg diderita:

1. Hiperurisemia asimtomatik à tidak membutuhkan pengobatan.

2. Artrirtis Gout akut à obat-obatan anti inflamasi nonsteroid atau kolkisin.

3. Gout kronik à berdasarkan usaha untuk menurunkan produksi asam urat, atau menaikkan ekskresi asam urat oleh ginjal. Obat alopurinol dapat menghambat pembentukan asam urat dari perkusornya (xantin dan hipoxantin) dg menghambat enzim xantin oksidase. Obat urikosurik akan menaikkan ekskresi asam urat dengan menghambat reabsorpsi tubulus ginjal.

4. Menghindari makan yang mengandung purin tinggi seperti daging dari alat-alat dalam (jeroan, contohnya hepar, ginjal, pankreas, otak) dan macam daging olahan, menghindari minuman alkohol.

(Tehupeiory, 2006)

DISLIPIDEMIA PADA DIABETES MELITUS TIPE 2 DAN SINDROMA METABOLIK

Diabetes melitus dan sindroma metabolik mempunyai kelainan dasar yang sama yaitu adanya resistensi insulin. pada mereka ini, metabolisme lipoprotein sedikit berbeda dengan mereka yang bukan resistensi insulin. dalam keadaan normal tubuh menggunakan glukosa sebagai sumber energi. Pada keadaan resistensi insulin, hormone sensitive lipase di jaringan adiposa akan mejadi aktif sehingga lipolisis trigliserid di jaringan adiposa semakin meningkat keadaan ini akan mengakibatkan asam lemak bebas yang berlebihan. Asam lemak bebas akan memasuki aliran darah, sebagian akan digunakan sebagai sumber energi dan sebagian akan dibawa ke hati sebagai bahan baku pembentukan trigliserid kemali dan menjadi bagian dari VLDL. Oleh karena itu, VLDL yang dihasilkan pada keadaan resistensi insulin akan sangat kaya akan trigliserid, disebut VLDL kaya trigliserid atau VLDL besar.

Dalam sirkulasi trigliserid yang banyak di VLDL akan bertukar dengan kolestrol ester dari kolestrol-LDL. Hal mana akan menghasilkan LDL yang kaya akan trigliserid tetapi kurang kolesterol ester. Trigliserid yang dikandung oleh LDL akan dohidrolisis oleh enzim hepatic lipase sehingga menghasilkan LDL yang kecil tapi padat, yang dikenal dengan LDL kecil padat. Partikel LDL kecil padat ini sifatnya mudah teroksodasi, oleh karena itu sangat aterogenik. Trigliserid VLDL besar juga dipertukarkan dengan kolesterol ester dari HDL dan menghasilkan HDL miskin kolesterol ester tetapi kaya trigliserid. Kolesterol HDL bentuk demiian lebih mudah dikatabolisme oleh ginjal sehingga jumlah serum HDL menurun. Oleh karena itu pada resistensi insulin terjadi kelainan profil lipd serum yang khas yaitu kadar trigliserid tinggi, kolesterol-HDL rendah dan meningkatnya subfraksi LDL kecil padat, dikenal dengan nama fenotipe lipoprotei aterogenik atau lipid triad. (John, 2006)

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan tidak banyak berbeda dengan dislipidemi yaitu terdiri atas penatalaksanaan nin-farmakologis dan penggunaan obat penurun lipid. Perbedaan utama adalah pada semua pasien diabetes melitus kadar kolestrol-LDL harus <>

BAB III

PEMBAHASAN

Selain fungsi pencernaan, pankreas juga mensekresikan dua hormon yang penting, yakni insulin dan glukagon. Pada sel beta yang terdapat di pulau Langerhans inilah insulin disekresikan oleh pankreas. Sedangkan glukagon disekresi oleh sel alfa. Insulin merupakan hormon anabolik yang memiliki pengaruh besar terhadap metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Glukagon merupakan hormon katabolik bereaksi terutama pada hati untuk menggiatkan proses glikogenetik, sehingga menaikkan gula darah. Pengaruh glukagon adalah mempermudah aktivasi fosforilase, yakni suatu enzim glukosa darah.

Sangat penting sekali untuk mempertahankan konsentrasi glukosa darah yang konstan oleh peranan insulin dan glukagon serta enzim-enzim lainnya. Sebab, secara normal glukosa merupakan satu-satunya bahan makanan yang dapat digunakan oleh otak, retina, epiteluim germinal dari gonad dalam jumlah yang cukup untuk menyuplai jaringan tersebut secara optimal dengan energi yang dibutuhkannya.

Ekskresi urin dalam tubuh di atur melalui makanisme neurohypophyseal-renal reflex. Setelah kadar tertentu glukosa plasma dicapai, taraf maksimal rebsorbsi glukosa pada tubulus renalis akan dilampaui, dan gula akan diekskresikan ke dalam urine (glikosuria). Volume urine yang bersifat obligatorik pada saat yang bersamaan (poliuria). Kejadian ini akan menimbulkan dehidrasi (hiperosmolaritas) sehingga bertambahnya rasa haus (polidipsia). Pada penderita diabetes, mereka akan mengalimi mudah haus. Adapun mekanisme mudah haus tersebut adalah sebagai akibat peningkatan osmolalitas plasma merangsang pusat haus atau sebaliknya. Pengaturan osmotic pusat haus dipengaruhi oleh volume sel-sel pusat haus hypothalamus. Terdapat jalur non-osmotik terhadap stimulasi pusat haus yang diduga adalah akibat system rennin-angiotensin.Glukosuria akan menyebabkan kehilangan kalori yang cukup besar. Kehilangan ini, jika ditambah lagi dengan hilangnya jaringan otot dan adiposa, akan mengakibatkan penurunan berat badan yang hebat seperti yan gterjadi pada DM tipe 1 meskipun terdapat peningkatan selera makan dan asupan kalori yan gnormal.

Pada resistensi insulin terjadi kelainan profil lipd serum yang khas yaitu kadar trigliserid tinggi, kolesterol-HDL rendah dan meningkatnya subfraksi LDL kecil padat, dikenal dengan nama fenotipe lipoprotei aterogenik atau lipid triad. Defisiensi insulin akan meningkatkan aktivitas enzim lipase yang mengakibatkan peningkata asam lemak bebas plasma dan hati sehingga kadar VLDL dan LDL pada penderita diabetes melitus atau defisiensi insulin aakan mengalami kenaikan seperti yang terjadi pada kasus ini. Kadar HDL pada penderita resistensi insulin akan menurun karena metabolisme lipoprotein pada resistensi insulin akan menghasilkan HDL yang miskin kolesterol ester namun kaya akan trigliserid. Dan sifat HDL seperti ini mudah dioksidasi sehingga akan mudah dikatabolisme oleh ginjal.

Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Diabetes melitus diklasifikasikan menjadi empat yaitu: (1) diabetes melitus tipe 1 (2) diabetes melitus tipe 2 (3) diabetes melitus gestasional (4) diabetes melitus tipe lain.

Untuk penderita diabetes melitus, mekanisme obat-obatan yang diberikan untuk mangatasi hipoglikemia adalah sebagai berikut:

Sulfonylurea bertindak dengan merangsang pengeluaran insulin ke dalam darah dan meningkatkan pemasukan gula ke dalam sel-sel lalu akan menurunkan kadar gula dalam darah. Contoh obatnya generasi pertamanya adalah chlorpropamide dan tolbutamide. Sedangkan untuk generasi keduanya adalah glibenclamide, gliclazide dan glipizide. Disamping sulfonylureas, dapat juga diberikan biguanides dengan mekanisme meningkatkan pengaliran gula ke dalam sel-sel dan menyekat penyerapan gula (dari makanan) ke dalam darah melalui usus. Dengan itu, dapat mengurangkan kadar gula dalam darah. Obatnya adalah seperti metformin. Yang ketiga, tatalaksanan farmakologik adalah dengan menggunakan penghalang Alpha-Glucosidase yang bertindak dengan menyekat enzim tertentu di dalam usus yang bertanggung jawab menyerap gula dari makanan. Dengan yang demikian, akan mengurangi penyerapan gula ke dalam darah melalui usus dan juga mengurangi kadar gula darah. Obatnya seperti acarbose. Setiap obat-obatan ini memiliki efek samping masing-masing yang berbeda.

Diabetes insipidus adalah penyakit yang disebabkan oleh terganggunya system neurohypophyseal-renal reflex yang berakibat pada kegagalan tubuh mengkonversi air. Gejala klinis yang timbul adalah poliuria dan polidipsia. Selain itu jarang ditemukan gejala yang lain, kecuali jika ada penyakit lain yang menyebabkan terjadinya gangguan pada system neurohypophyseal-renal reflex. Gejala klinis yang ditunjukkan oleh diabetes insipidus ini mipir dengan diabetes melitus, namun perlu diperhatikan bahwa etiologinya berbeda.

Gout artritis adalah radang sendi yang diakibatkan oleh kumpulan gangguan metabolisme purin, yang ditandai dengan berbagai kombinasi: (1) hiperurisemia, (2) artirtis akut disertai peradangan yang berulang karena kristal monosodium urat monohidrat, (3)pengendapan tofi dari kristal kristal tersebut pada dan disekeliling persendian ekstremitas (cacat persendian).

Obesitas adalah kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang berlebihan. Setiap orang memerlukan sejumlah lemak tubuh untuk menyimpan energi, sebagai penyekat panas, penyerap guncangan dan fungsi lainnya. Rata-rata wanita memiliki lemak tubuh yang lebih banyak dibandingkan pria. Perbandingan yang normal antara lemak tubuh dengan berat badan adalah sekitar 25-30% pada wanita dan 18-23% pada pria. Wanita dengan lemak tubuh lebih dari 30% dan pria dengan lemak tubuh lebih dari 25% dianggap mengalami obesitas. Dan berdasarkan hasil penghitungan BMI dengan rumus BB/tinggi badan2, maka ibu pada skenario ini termasuk ke dalam golongan obesitas tingkat berat. Maka ia memerlukan penatalaksanaan terhadap obesitas yang dideritanya.

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari data-data yang diberikan dalam skenario dan disesuaikan dengan tinjauan pustaka yang telah penulis kumpulkan, dapat disimpulkan bahwa ibu tersebut menderita sindrom metabolik dengan terpenuhinya 3 kriteria sindrom metabolik, yaitu hasil pemeriksaan profil lipid tidak sesuai harga rujukan (di atas harga rujukan), BMI yang menunjukkan pada golongan obesitas tingkat berat dan hipertensi. Ada kemungkinan dia menderita diabetes melitus tipe 2 mengingat saudaranya yang pernah diamputasi akibat diabetes dan anaknya yang pernah didiagnosis terkena diabetes melitus. Akan tetapi, untuk penegakkan diagnosis diabetes melitus pad ibu ini masih diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan lanjutan yang lebih lengkap. Sebab, pada skenrio hanya di sebutkan profil lipid dan kandungan urine saja, padahal untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus diperlukan pemeriksaan gula darah, gula puasa, dsb. Kmudian, hasil pemeriksaan urin yang dibawa oleh ibu tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat gagal ginjal pada ibu tersebut, sebab hasil pemeriksaan kandungan urine tidak sesuai dengan harga rujukan. Sedangkan untuk anak ibu tersebut, berdasarkan data-data dari skenario dapat disimpulkan ia mengidap diabetes melitus tipe 1 dilihat dari usia serta penurunan berat badan secara drastis. Untuk penyaki gout artritis yang pernah diderita, sampai sekarang berdasarkan hasil pemeriksaan asam urat manunjukka jumlah > 6 mg/dL, maka perlu diperhatikan dalam penatalaksanaannya bahwa ibu tersebut juga menderita gour artritis dan masih perlu penatalaksanaan terhadap gout artritis tersebut.

B. SARAN

Hal pertama yang paling panting dilakukan adalah melakukan pemeriksaan kadar gula dara pada ibu tersbut untuk mendiagnosis apakah ibu tersebut menderita diabetes melitus atau tidak, sehingga dapat mencegah komplikasi akibat diabetes yang berujung pada kematian. Disamping itu, pengaturan diet sertapola hidup perlu dilakukan untuk menatalaksana obesitas sebab jika tidak hal ini dapat mmbahayakan nyawa ibu tersebut ditamabah dengan usianya yang telah lanjut mencapai 55 tahun.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2008.Obesitas.http://id.wikipedia.org/wiki/Obesitas

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Dorland, W. A. N.2002.Kamus Kedokteran Dorland edisi 29.Jakarta: EGC

Guyton, A. C and Hall, J. E.1997.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 9.Jakarta:EGC

Hermawan, A.G.1991.Komplikasi Obesitas dan Usaha Penanggulangannya.http://www.kalbe.co.id

Mansjoer, A.M.2000.Kapita Selekta Kedokteran Jilid I edisi ketiga.Jakarta: Media Aesculapius

Murray, Robert K. 2003.Biokimia Harper.Jakarta: EGC

Price, Sylvia Anderson. 2005.Patofisiologis : Konsep Klinis Proses Proses Penyakit volume 2.Jakarta: EGC

Turner, C.D. and Bgnara, J.T penerjemah Harsojo.1988.Endokrinologi Umum.Yogyakarta: Airlangga University Press