19.6.09

Epilepsi

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Epilepsi adalah istilah untuk cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu, mendadak, dan sangat cepat. (Ginsberg, 2008)

Pada tahun 2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37 juta orang di antaranya adalah epilepsi primer dan 80% tinggal di negara berkembang. Laporan WHO (2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi aktif di antara 1000 orang penduduk dengan angka insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara berkembang. (Pinzon, 2007)

Epilepsi dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka kematian yang tinggi, stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif, dan gangguan psikiatrik. Pada penyandang usia anak-anak dan remaja, permasalahan yang terkait dengan epilepsi menjadi lebih kompleks. Penyandang epilepsi pada masa anak dan remaja dihadapkan pada masalah keterbatasan interaksi sosial dan kesulitan dalam mengikuti pendidikan formal. Mereka memiliki risiko lebih besar terhadap terjadinya kecelakaan dan kematian yang berhubungan dengan epilepsi.

Kasus dalam skenario merupakan suatu trigger untuk mahasiswa dalam mencapai tujuan pembelajaran blok sistem saraf. Oleh karena itu dalam laporan ini, penulis akan membahas mengenai kejang dan epilepsi yang dihubungkan dengan kasus dalam skenario.

II. RUMUSAN MASALAH

Seorang wanita berumur 16 tahun datang di poliklinik penyakit syaraf setelah sebelumnya mendapat serangan kejang untuk yang kedua kalinya. Kedua serangan kejang tersebut diikuti dengan tidak sadar selama kira-kira tiga menit. Kemudian kesadarannya normal kembali dan dapat bekerja seperti sebelumnya. Penderita menyangkal adanya riwayat demam sebelumnya. Penderita juga menyatakan belum pernah periksa ke dokter maupun minum obat anti kejang setelah serangan kejang yang pertama kali. Dikatakan oleh penderita bahwa pada kejang yang kedua ini sebelum kejang penderita sedang main game di komputer.

Kemudian di poliklinik tersebut pada penderita akan dilakukan pemeriksaan EEG dan pemeriksaan laboratorium.

Sebelum umur satu tahun, penderita sering mengalami kejang pada saat badannya panas. Diriwayatkan juga bahwa jika penderita mengikuti upacara atau olahraga sering mengalami pingsan dan akan membaik setelah mendapat pertolongan dari petugas UKS, kejadian ini mulai sejak penderita menduduki bangku sekolah dasar.

Berdasarkan kasus yang ada pada skenario, timbul beberapa pertanyaan yang dapat dijadikan sebagai rumusan masalah, antara lain :

a. Apa yang dimaksud dengan kejang?

b. Apa saja etiologi dari kejang?

c. Apa saja faktor pencetus terjadinya kejang?

d. Bagaimana mekanisme terjadinya kejang beserta klasifikasi kejang?

e. Bagaimana prosedur penegakkan diagnosis pada kasus kejang?

f. Bagaimana penatalaksanaan dan prognosis pada penderita kejang?

g. Mengapa pada kedua serangan kejang diikuti oleh tidak sadar selama tiga menit?

h. Apa hubungan antara bermain game di komputer dengan timbulnya serangan kejang kedua?

i. Bagaimana mekanisme terjadinya kejang demam pada penderita sebelum usia satu tahun?

j. Adakah hubungan antara kejang demam sebelum usia satu tahun dengan serangan kejang yang dialami saat usia 16 tahun?

k. Mengapa pasien pingsan setiap kali mengikuti upacara atau olahraga sejak sekolah dasar?

III. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

1. Tujuan

Tujuan dari penulisan laporan ini adalah sebagai sarana pembelajaran bagi mahasiswa dalam :

a. mempelajari fisiologi sistem saraf manusia;

b. mempelajari keadaan patologis yang terjadi pada sistem saraf;

c. mempelajari mekanisme terjadinya gejala-gejala yang timbul pada penyakit sistem saraf; dan

d. menyebutkan prosedur penegakkan diagnosis dalam kasus neurologi.

2. Manfaat

Manfaat dari penulisan laporan ini adalah :

a. membentuk pola pikir mahasiswa menjadi terarah dan sistematik;

b. mahasiswa mampu menyusun tulisan ilmiah yang baik dan benar;

c. menambah pengetahuan mahasiswa tentang mekanisme penyakit pada sistem saraf; dan

d. menambah pengetahuan mahasiswa tentang terapi dan pencegahan penyakit pada sistem saraf.

IV. HIPOTESIS

Berdasarkan data pada skenario, penulis mengajukan beberapa hipotesis, yaitu :

1. Terdapat hubungan antara kejang demam sebelum usia satu tahun dengan serangan kejang pada usia 16 tahun.

2. Faktor pencetus terjadinya serangan kejang kedua pasien adalah bermain game di komputer.

3. Pasien menderita epilepsi generalisata.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. FISIOLOGI LEPAS MUATAN LISTRIK DAN TRANSMISI PADA SINAPS

Neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik yang disebabkan oleh adanya potensial membran sel. Potensial membran neuron bergantung pada permeabilitas selektif membran neuron, yakni membran sel mudah dilalui oleh ion K dari ekstraselular ke intraselular dan kurang sekali oleh ion Ca, Na, dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat konsentrasi tinggi ion K dan konsentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl dan keadaan sebaliknya terdapat di ruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan potensial membran. Biasanya membran sel dalam keadaan polarisasi yang dapat dipertahankan oleh adanya suatu proses metabolik aktif (pompa sodium) yang mengeluarkan ion Ca dan Na dari dalam sel. (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2005)

Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrit-dendrit dan badan neuron lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi mebran neuron berikutnya. Zat kimiawi tersebut dikenal sebagai neurotransmitter. Ada dua jenis neurotransmitter, yaitu neurotransmiter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmiter inhibisi yang menimbulkan hiperpolarisasi, sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan muatan listrik. Beberapa neurotransmiter yang tergolong neurotransmiter eksitasi yaitu : glutamat, aspartat, dan asetilkolin, sedangkan yang termasuk neurotransmiter inhibisi adalah gamma amino butiric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis neurotransmiter pada sinaps bersifat memudahkan akan timbul lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan berlepas muatan listrik. Hasil pengaruh kedua jenis neurotransmiter pada sinaps akan memungkinkan impuls diteruskan ke neuron berikutnya. Segera setelah terjadi depolarisasi dalam waktu singkat sekali, keadaan potensial membran kembali seperti semula. (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2005)

II. KESADARAN

Kesadaran (consciousness) dapat didefinisikan sebagai keadaan yang mencerminkan pengintegrasian impuls eferen dan aferen. Kesadaran mengacu pada kesadaran subjektif mengenai dunia luar dan diri, termasuk kesadaran mengenai dunia pikiran sendiri; yaitu kesadaran mengenai pikiran, persepsi, mimpi, dan sebagainya. Walaupun tingkat akhir dari kesadaran berada di korteks serebrum dan sensasi kesadaran kasar dideteksi oleh thalamus, pengalaman di alam sadar bergantung pada integrasi fungsi berbagai sistem saraf. (Sherwood, 2001)

Jumlah (kuantitas) input susunan saraf pusat menentukan derajat kesadaran. Cara pengolahan input itu sehingga menelurkan pola-pola iutput susunan saraf pusat menentukan kualitas kesadaran. Input susunan saraf pusat dibedakan menjadi input yang bersifat spesifik dan yang bersifat non-spesifik. Input spesifik merujuk kepada perjalanan impuls aferen yang khas dan kesadaran yang ditelurkan adalah khas juga. Hal ini berlaku bagi semua lintasan aferen impuls perasaan protopatik, proprioseptif, dan perasaan pancaindera.. lintasan yang digunakan impuls-impuls tersebut dapat dinamakan lintasan yang menghubungkan satu titik pada tubuh dengan suatu titik di daerah korteks perseptif primer, disebut penghantaran impuls afern dari titik ke titik. Setibanya umpuls afern spesifik di tingkat korteks terwujudlah suatu kesadaran akan modalitas perasaan yang spesifik. (Mardjono dan Sidharta, 2008)

Input yang bersifat non-spesifik adalah sebagian dari impuls aferen spesifik yang disalurkan melalui lintasan aferen non-spesifik. Lintasan ini terdiri dari serangkaian neuron-neuron di substansia retikularis medula spinalis dan batang otak yang menyalurkan impuls aferen ke talamus, yaitu ke inti intralaminar. Impuls aferen spesifik sebagian disalurkan melalui cabang kolateralnya ke rangkaian neuron-neuron substansia retikularis dan impuls eferen itu selanjutnya bersifat non-spesifik oleh karena cara penyalurannya ke talamus berlangsung secara multisinaptik dan, unilateral, dan bilateral dan setibanya di inti intralaminar akan menggalakkan inti tesebut untuk memancarkan impuls yang menggiatkan seluruh korteks secara difus dan bilateral. Lintasan afern non-spesifik dikenal sebagai diffuse ascending reticular system. (Mardjono dan Sidharta, 2008)

Neuron-neuron di seluruh korteks serebri yang digalakkan oleh impuls aferen non-spesifik dinamakan neuron pengemban kewaspadaan, oleh karena tergantung pada jumlah neuron-neuron tersebut yang aktif, derajat kesadaran bisa tinggi atau rendah. Aktivitas neuron-neuron tersebut digalakkan oleh neuron-neuron yang menyusun inti talamik yang dinamakan nuklei intralaminares. Oleh karena itu, neuron-neuron tersebut dapat dinamakan neuron penggalak kewaspadaan. (Mardjono dan Sidharta, 2008)

Tingkat kesadaran berikut diurutkan berdasarkan penurunan tingkat keadaan terjaga atau terbangun (arousal), berdasarkan seberapa intensif interaksi antara rangsangan perifer dan otak : ketajaman perhatian maksimum (maximum alertness), keadaan terjaga penuh (wakefulness), tidur (dibedakan menjadi beberapa jenis), dan koma. (Sherwood, 2001)

Ketajaman perhatian maksimum bergantung pada masukan sensorik penarik-perhatian yang “memberi kekuatan” pada RAS (reticular activating system) dan kemudian tingkat aktivitas SSP secara keseluruhan. Pada ujung yang lain, koma mengacu kepada ketidaktanggapan total seseorang yang masih hidup terhadap rangsangan eksternal, yang disebabkan oleh kerusakan batang otak yang mengganggu RAS atau oleh depresi luar korteks serebrum, misalnya kekurangan oksigen. Koma dapat terjadi karena neuron penggalak kewaspadaan sama sekali tidak berfungsi atau neuron penggalak kewaspadaan tidak mampu mengaktifkan neuron pemban kewaspadaan. (Mardjono dan Sidharta, 2008; Sherwood, 2001)

III. KEJANG DAN EPILEPSI

Kejang atau konvulsi adalah kontraksi involunter hebat atau gerak otot klonik atau tonik yang involuntar. Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlenihan dari suatu populasi neuron yang sangat mudah terpicu (fokus kejang) sehingga mengganggu fungsi normal otak. Namun kejang juga terjadi dari jaringan otak normal di bawah kondisi patologik tertentu, seperti perubahan kseimbangan asam-basa atau elektrolit. (Dorland, 2006; Mardjono dan Sidharta, 2008; Price and Wilson, 2006)

Kejang dapat terjadi hanya sekali atau berulang. Kejang rekuren, spontan, dan tidak disebabkan oleh kelainan metabolisme yang terjadi bertahun-tahun disebut epilepsi. Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi namun dengan gejala tunggal yang khas, yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan. Status epileptikus adalah keadaan aktivitas kejang yang kontinu dan intermiten yang berlangsung selama 20 menit atau lebih saat pasien kehilangan kesadarannya. (Mardjono dan Sidharta, 2008; Price and Wilson, 2006)

Kejang diklasifikasikan sebagai parsial atau generalisata berdasrkan apakah kesadaran utuh atau lenyap. Kejang dengan kesadaran utuh disebut sebagai kejang parsial. Kejang parsial dimulai di suatu daerah di otak, biasanya korteks serebrum. Gejala kejang ini bergantung pada lokasi fokus di otak. Kejang generalisata melibatkan seluruh korteks serebrum dan diensefalon serta ditandai dengan awitan aktivitas yang bilateral dan simetrik yang terjadi di kedua hemisfer tanpa tanda-tanda bahwa kejang berawal sebagai kejang fokal. Pasien tidak sadar dan tidak mengetahui keadaan sekeliling saat mengalami kejang. Kejang ini biasanya muncul tanpa aura atau peringatan terlebih dahulu. (Price and Wilson, 2006)

KLASIFIKASI KEJANG

1. Kejang Parsial : kesadaran utuh walaupun mungkin berubah; fokus di satu bagian tetapi dapat menyebar ke bagian lain.

a. Parsial sederhana : dapat bersifat motorik, sensorik, autonomik, maupun psikik; biasanya berlangsung kurang dari satu menit

b. Parsial kompleks : dimulai sebagai kejang parsial sederhana; berkembang menjadi perubahan kesadaran yang disertei oleh gejala motorik, gejala sensorik, otomatisme; biasanya berlangsung satu sampai tiga menit.

2. Kejang generalisata : hilangnya kesadaram; tidak ada awitan fokal; bilateral dan simetrik; tidak ada aura.

a. Tonik-Klonik : spasme tonik-klonik otot.

b. Absence : menatap kosong, kepala sedikit lunglai, kelopak mata bergetar atau bekedip secara cepat, tonus postural tidak hilang; berlangsung beberapa detik.

c. Mioklonik : kontraksi mirip syok mendadak yag terbatas di beberapa otot atau tungkai; cenderung singkat.

d. Atonik : hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lenyapnya postur tubuh (drop attacks)

e. Klonik : gerakan menyentak, repetitif , tajam, lambat, dan tunggal atau multipel di lengan, tungkai, atau torso.

f. Tonik : peningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku, kontraksi) wajah dan tubuh bagian atas; fleksi lengan dan ekstensi tungkai

(Price and Wilson, 2006)

Ada berbagai faktor pencetus terjadinya serangan pada penderita epilepsi. Pada penderita epilepsi ambang rangsang serangan kejang menurun pada berbagai keadaan sehingga timbul serangan. Faktor-faktor pencetus dapat berupa :

1. Kurang tidur

Kurang tidur dapat mengganggu aktivitas dari sel-sel otak sehingga dapat mencetuskan serangan.

2. Stres emosional

Stres dapat meningkatkan frekuensi serangan. Penderita epilepsi perlu belajar menghadapi stres. Stres fisik yang berat juga dapat menimbulkan serangan

3. Infeksi

Infeksi biasanya disertai dengan demam. Dan demam inilah yang merupakan pencetus serangan karena demam dapat mencetuskan terjadinya perubahan kimiawi dalam otak, sehingga mengaktifkan sel-sel otak yang menimbulkan serangan. Faktor pencetus ini terutama nyata pada anak-anal.

4. Obat-obat tertentu

Beberapa obat dapat menimbulkan serangan seperti penggunaan obat-obat antidepresan trisiklik, obat tidur (sedatif) atau fenotiasin. Menghentikan obat-obat penenang secara mendadak seperti berbiturat dan valium dapat mecetuskan kejang.

5. Alkohol

Alkohol dapat menghilangkan faktor penghambat terjadinya serangan. Biasanya peminum alkohol juga mengalami kurang tidur sehingga memperburuk keadaannya. Penghentian minum alkohol secara mendadak dapat menimbulkan serangan.

6. Perubahan hormonal

Pada masa haid dapat terjadi perubahan siklus hormon (berupa peningkatan kadar estrogen) dan stres, dan hal ini diduga merupakan pencetus terjadinya serangan. Demikian pula pada kehamilan terjadi perubahan siklus hormonal yang dapat mencetuskan serangan.

7. Terlalu lelah

Terlalu lelah atau stres fisik dapat menimbulkan hiperventilasi dimana terjadi peningkatan kadar CO2 dalam darah yang mengakibatkan terjadinya penciutan pembuluh darah otak yang dapat merangsang terjadinya serangan epilepsi.

8. Fotosensitif

Ada sebagian kecil penderita epilepsi yang sensitif terhadap kerlipan atau kilatan sinar (flashing lights) pada kisaran antara 10-15 Hz, seperti pada pesawat TV.

(Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2005)

Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama secara klinis, yaitu berdasarkan deskripsi kejang, biasanya dari saksi karena pasien tidak sadar akan gejala-gejalanya. Pemeriksaan pasien dengan kecurigaan epilepsi bertujuan untuk : mengonfirmasi atau mendukung diagnosis klinis, mengklasifikasi sindrom epilepsi, dan menetapkan penyebab. Dua tujuan pertama didapatkan dari pemeriksaan EEG, terutama pada anak. Akan tetapi sering terjadi positif palsu dan negatif palsu pada rekaman EEG. Ketepatan EEG dapat dipertajam dengan memperpanjang waktu perekaman, terutama setelah pasien kurang tidur. Pada beberapa pasien, bukti nyata diagnosis epilepsi didapatkan hanya dari EEG ambulasi atau telemetri dengan perekaman video simultan yang merekam gejala. Untuk mencapai tujuan ketiga, yaitu mencari kausa epilepsi, dilakukan pemeriksaan darah rutin, misalnya glukosa serum dan kalsium. Pemeriksaan yang lebih penting adalah pencitraan otak baik dengan CT scan maupun MRI. (Ginsberg, 2008)

Penatalaksanaan primer untuk pasien kejang adalah terapi obat untuk mencegah timbulnya kejang atau untuk mengurangi frekuensinya sehingga pasien dapat hidup normal. Sekitar 70% sampai 80% pasien memperoleh manfaat dari pemberian obat antikejang. Obat yang dipilih ditentukan oleh jenis kejang dan profil efek samping. Dosis disesuaikan secara individual. Klasifikasi kejang merupakan unsur penting dalam merancang terapi, karena sebagian obat antiepilepsi memiliki aktivitas yang berbeda untukk jenis kejang yang berbeda. Beberapa obat antikejang yang biasa dipergunakan di klinik antara lain : fenobarbital, fenitoin, karbamazepin, valproat, klonazepam, dan pirimidon. Fenobarbital, fenitoin, pirimidon, dan karbamazepin digunakan untuk kejang parsial dan kejang umum. Valproat digunakan untuk semua jenis kejang. Klonazepam digunakan untuk absence dan mioklonik. (Price and Wilson, 2006)


BAB III

PEMBAHASAN

Penderita dalam skenario datang ke poliklinik syaraf dengan keluhan serangan kejang dua kali dan disertai dengan tidak sadar selama tiga menit. Berdasarkan data tersebut, penulis menyimpulkan bahwa penderita menderita epilepsi generalisata. Epilepsi generalisata melibatkan seluruh korteks serebrum dan diensefalon serta ditandai dengan awitan aktivitas yang bilateral dan simetrik yang terjadi di kedua hemisfer tanpa tanda-tanda bahwa kejang berawal sebagai kejang fokal. Pasien tidak sadar dan tidak mengetahui keadaan sekeliling saat mengalami kejang. Kejang ini biasanya muncul tanpa aura atau peringatan terlebih dahulu. Penulis tidak dapat mengklasifikasikan lebih spesifik tipe epilepsi yang diderita pasien karena hanya dijelaskan terjadi penurunan kesadaran dan tidak dideskripsikan lebih mendetail tentang karakteristik epilepsi yang dialami.

Dalam keadaan fisiologik neuron melepaskan muatan listriknya oleh karena potensial membrannya direndahkan oleh potensial postsinaptik yang tiba pada dendrit. Potensial aksi itu disalurkan melalui akson yang bersinaps dengan dendrit neuron lain. Pada keadaan patologik, gaya yang bersifat mekanik atau toksik dapat menurunkan potensial membran neuron, sehingga neuron melepaskan muatan listriknya. Manifestasi klinisnya berupa kejang atau terasanya suatu modalitas perasaan. Diduga neurotransmitter acetylcholine merupakan zat yang merendahkan potensial membran postsinaptik. Apabila sudah cukup acetylcholine tertimbun di permukaan otak, maka pelepasan muatan listrik neuron-neuron kortikal dipermudah. Penimbunan acetylcholine setempat harus mencapai suatu konsentrasi tertentu untuk dapat merendahkan potensial membran sehingga lepas muatan listrik dapat terjadi. Oleh karena itul, fenomena lepas muatan listrik epileptik terjadi secara berkala.

Ditinjau dari bidang biokimia, didapatkan juga faktor etiologik yang dapat menjelaskan mekanisme epilepsi yang hingga saat ini dianggap sebagai idiopatik. Misalnya zat yang dikenal sebagai gama-aminobutyric-acid (GABA). Substansi serbral itu dapat dianggap sebagai zat anti-konvulsi alamiah. Pada orang tertentu zat itu kurang cukup, sehingga neuron-neuron kortikalnya mudah sekali terganggu dan bereaksi dengan melepaskan muatan listriknya secara menyeluruh.

Dikatakan oleh penderita bahwa sebelum terjadi serangan kejang yang kedua, penderita sedang bermain game di komputer. Seperti yang telah disebutkan dalam bagian tinjauan pustaka, salah satu faktor pencetus terjadinya kejang adalah fotosensitif. Individu yang fotosensitif akan mengalami serangan apabila terpapar oleh kerlipan atau kilatan sinar (flashing lights) pada kisaran antara 10-15 Hz, seperti pada pesawat TV atau layar komputer. Kemungkinan besar terdapat suatu fokus epileptik pada bagian lobus oksipitalis korteks serebri pasien yang merupakan pusat pengolahan awal masukan penglihatan. Fokus epileptik merupakan neuron-neuron epileptik yang sangat sensitif terhadap rangsang. Fokus inilah yang menjadi sumber bangkitan epilepsi. Jika ada suatu rangsang cahaya yang cukup kuat (dalam hal ini cahaya dari layar monitor komputer) dan diterima oleh fotoreseptor pada retina mata, maka cahaya ini akan diubah menjadi impuls yang kemudian akan disampaikan ke korteks serebri. Karena neuron-neuron korteks serebri pada pusat penglihatan pasien sangat sensitif, terjadilah letupan muatan listrik yang berlebihan dari neuron tersebut. Letupan muatan listrik ini dapat menjalar ke area yang lebih luas dan menimbulkan kejang umum.

Kedua serangan kejang yang dialami oleh pasien disertai oleh tidak sadar selama tiga menit. Hilangnya kesadaran bukanlah manifestasi dari lepas muatan listrik di neuron-neuron kortikal. Pada kejang grand mal yang secara primer melepaskan muatan listriknya adalah nuklei intralaminares talami atau inti centrecephalic. Inti tersebut merupakan terminal dari lintasan asendens aspesifik atau lintasan asendens ektralemniskal. “Input” korteks serebri melalui lintasan aferen aspesifik itu menentukan derajat kesadaran. Bila sama sekali tidak ada “input”, maka timbullah koma. Pada grand mal, terjadi lepas muatan listrik dari inti-inti intralaminar talamik secara berlebihan. Perangsangan talamokortikal yang berlebihan ini menghasilkan kejang otot seluruh tubuh (konvulsi umum) dan sekaligus menghalangi neuron-neuron pembina kesdaran menerima impuls aferen dari dunia luar sehingga kesadaran hilang. Selain mekanisme di atas, terdapat bagian dari substansia retikularis di bagian rostral dari mesensefalon yang dapat melakukan blokade sejenak terhadap inti-inti intralaminar talamik, sehingga kesadaran hilang sejenak tanpa disertai kejang-kejang pada otot skeletal. Hal ini terjadi pada kejang petit mal.

Salah satu riwayat penyakit penderita adalah sering mengalami kejang pada saat badannya panas sebelum berusia satu tahun. Keadaan yang dialami penderita lazim disebut kejang demam atau febrile convulsion, yaitu kejang yang umum timbul pada waktu bayi atau anak kecil mendapat demam. Pada yang satu kejang timbul kalau demamnya meningkat pada 40ºC, tetapi pada yang lain kejang umum sudah muncul pada demam 37,8ºC. Perbedaan suhu yang memicu demam disebabkan oleh setiap orang mempunyai ambang rangsang tertentu, yang sebagian besar ditentukan oleh faktor keturunan. Artinya ialah bila ada sejumlah orang diberikan rangsang kejang yang sama, hanya satu atau dua orang yang mengalami rangsangan, sedangkan sebagian lain tidak karena mempunya ambang serangan yang cukup tinggi. Demam merupakan keadaan dimana nuklei intralaminares talami menjadi lebih peka untuk diaktifkan atau merupakan keadaan dimana ambang lepas muatan listrik neuron-neuron kortikal direndahkan, sehingga kejang umum mudah terjadi.

Kemungkinan besar, pasien pernah mengalami kejang demam yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) sehingga menimbulkan suatu lesi yang dapat menjadi “matang” di kemudian hari dan menyebabkan terjadinya serangan epilepsi yang spontan. Namun menurut penulis, epilepsi dan riwayat kejang demam bukanlah sesuatu yang dapat dihubungkan secara mutlak karena masih ada berbagai faktor yang turut menentukan terjadinya epilepsi seperti faktor genetik, gangguan metabolik, keracunan, cedera otak, dan lain-lain. Dalam skenario, tidak dijelaskan mengenai riwayat kesehatan keluarga berkaitan dengan serangan epilepsi yang dialami pasien. Selain itu, hasil pemeriksaan laboratorium juga belum dapat diketahui sehingga belum dapat dipastikan penyebab (etiologi) yang pasti dari epilepsi yang dialami pasien.

Pasien akan segera melakukan pemeriksaan EEG dan laboratorium. EEG adalah prosedur pencatatan aktifitas listrik otak dengan alat pencatatan yang peka. Pada penderita epilepsi dapat ditemukan serangan elektroensefalografik (electroencephalografic seizure) di luar masa serangan klinis. Bila seseorang sudah pernah mendapat serangan klinis, maka adanya pola EEG yang bersifat khas epileptik sudah merupakan informasi yang kuat untuk memastikan adanya epilepsi. EEG sebaiknya dilakukan sesegera mungkin pada pasien yang memiliki kelainan kejang. EEG dapat membantu dokter untuk memastikan diagnosa epilepsi dan klasifikasinya. Selain itu, EEG seringkali dapat dipakai untuk menentukan lokasi lesi yang menimbulkan kejang sehingga tindakan eksisi pembedahan pada fokus tersebut seringkali dapat mencegah serangan berikutnya.

Pemeriksaan laboratorium darah rutin diindikasikan untuk mengidentifikasi penyebab metabolik yang umum dari serangan kejang seperti ketidaknormalan dalam elektrolit, glukosa, kalsium, atau magnesium serta penyakit hepar atau renal.

Penderita epilepsi membutuhkan pengobatan yang cermat dalam jangka waktu yang panjang. Kerja sama dengan orang tua penderita atau keluarga sangat mempengaruhi pengobatan. Pengobatan yang diberikan terdiri dari pemberian antikonvulsan serta nasihat untuk penderita dan orang tua atau keluarga penderita. Pencegahan terhadap timbulnya serangan kejang dapat dilakukan dengan meminum obat secara teratur dan sebisa mungkin berusaha menghindari berbagai faktor presipitasi (faktor pencetus).


BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

1. Berdasarkan data pasien dalam skenario yaitu serangan kejang diikuti dengan hilangnya kesadaran, maka disimpulkan bahwa pasien menderita epilepsi generalisata.

2. Hilangnya kesadaran pasien setelah kejang disebabkan oleh : perangsangan talamokortikal yang berlebihan sehingga menghalangi neuron-neuron pembina kesadaran menerima impuls aferen dari dunia luar dan terdapat bagian dari substansia retikularis di bagian rostral dari mesensefalon yang dapat melakukan blokade sejenak terhadap inti-inti intralaminar talamik.

3. Bermain game di komputer merupakan faktor pencetus timbulnya serangan kejang kedua. Penderita bersifat fotosensitif sehingga cahaya komputer merangsang fokus epileptik pada bagian lobus oksipitalis korteks serebri pasien yang merupakan pusat pengolahan awal masukan penglihatan

4. Hubungan antara kejang demam sebelum usia satu tahun dengan serangan epilepsi pada usia 16 tahun adalah kejang demam yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) dapat menimbulkan suatu lesi yang dapat menjadi “matang” di kemudian hari dan menyebabkan terjadinya serangan epilepsi yang spontan. Namun, hal ini bukanlah suatu hubungan yang mutlak karena masih terdapat faktor-faktor pencetus yang dat menimbulkan serangan epilepsi.

B. SARAN

1. Setelah hasil pemeriksaan EEG dan pemeriksaan laboratorium keluar, pasien harus segera mendapatkan terapi obat sesuai dengan tipe epilepsi yang diderita untuk mencegah timbulnya epilepsi atau untuk mengurangi frekuensinya sehingga pasien dapat hidup normal. Kedisiplinan dan keteraturan dalam mengonsumsi obat serta didukung oleh kerjasama antara pasien dengan penderita sangat mempengaruhi hasil terapi obat.

2. Pasien disarankan untuk menghindari faktor pencetus epilepsi yakni bermain game di komputer agar frekuensi serangan epilepsi dapat menurun.

DAFTAR PUSTAKA

Dorland, W. A. Newman. 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta : EGC.

Ginsberg, Lionel. 2008. Lecture Notes Neurologi Edisi Kedelapan. Jakarta : Erlangga.

Mardjono, Mahar. dan Priguna Sidharta. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat.

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2005. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Pinzon, Rizaldy. 2007. Dampak Epilepsi pada Aspek Kehidupan Penyandangnya dalam Cermin Dunia Kedokteran No. 157. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/157_08DampakEpilepsipdAspekKehidupanPenderitanya.pdf/157_08DampakEpilepsipdAspekKehidupanPenderitanya.html (diakses tanggal 15 Oktober 2008)

Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2 Edisi 6. Jakarta : EGC.

Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta : EGC.