19.6.09

Anemia Defisiensi Besi

I. PENDAHULUAN

I.1. DEFINISI MASALAH

Skenario I

“Sakit Ketedun Kok Pucat?”

Seorang anak laki-laki 2 tahun 6 bulan, BB 11 kg dikonsulkan bagian bedah ke bagian anak dengan Hernia inguinalis lateralis sinistra reponibilis yang pada pemeriksaan pre-operasi didapatkan bising sistolik pada semua ostia. Pada anamnesis didapatkan berat badan yang tidak naik-naik, pucat, tidak mengeluh sesak nafas sebelumnya. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan rata-rata denyut jantung 120/menit, laju respirasi 28/menit, afebril, telapak tangan dan kaki pucat dan terdapat konjungtiva anemis. Hasil pemeriksaan laboratorium dan gambaran darah tepi menunjukkan anemia mikrositik hipokromik disertai hasil ekokardiografi VSD sedang. Setelah dilakukan transfusi, menunjukkan peningkatan jumlah Hb, AL, AT dan Hct dengan penurunan kadar AE dalam darah.

I.2. LATAR BELAKANG MASALAH

Anemia merupakan kelainan hematologi yang paling sering dijumpai di Indonesia, baik di klinik maupun di lapangan. Masih banyak penderita yang tidak menunjukkan gejala-gejala atau pertanda dan ini tentunya menganggu produktivitas dan kualitas hidup seseorang dalam jangka waktu yang cukup panjang. Selain itu, tidak sedikit pula para penderita yang mengira dirinya mengidap anemia akan tetapi tidak mengerti jelas apa yang menyebabkan anemia tersebut dan seberapa besar dampaknya pada kualitas hidupnya sehingga pengobatan dan penatalaksanaan yang diberikan tidak efektif diakibatkan kurangnya kesadaran untuk menanggulangi penyakit anemia ini. Oleh karena itu, pentinglah kita untuk mengetahui secara rinci dan mendalam mengenai anemia baik penyebab dan penyembuhannya agar dapat memberikan gambaran agar dapat menangani anemia berdasarkan pada penyebabnya.

I.3. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah hasil lab dan hubungannya dengan ciri-ciri anemia defisiensi besi?

2. Bagaimanakah patofisiologi anemia?

3. Apakah anemia defisiensi besi dan bagaimanakah patogenesis, epidemiologi,

etiologi dan gejalanya?

4. Bagaimanakah penatalaksanaan terhadap anemia defisiensi besi?

I.4. TUJUAN

I.3.1. Umum

1. Mahasiswa mampu menjelaskan hematopoiesis.

2. Mahasiswa memahami petogenesis anemia.

3. Mahasiswa mampu menjelaskan pemeriksaan laboratorium yang berhubungan

dengan kelainan hematologi.

4. Mahasiswa mampu menjelaskan berbagai pernyakit hematologi.

I.3.2. Khusus

1. Mahasiswa mampu menjelaskan sintesis hemoglobin normal.

2. Mahasiswa mampu menjelaskan Anemia Defisiensi Besi.

3. Mahasiswa mampu menjelaskan perbedaan antara Anemia Defisiensi Besi dan

anemia karena penyakit kronik.

I.5. MANFAAT

1.Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi, gejala-gejala dan tanda Anemia

Defisiensi Besi.

2.Mahasiswa mampu menjelaskan langkah-langkah dalam menegakkan diagnosis dan

diagnosis banding Anemia Defisiensi Besi.

3.Mahasiswa mampu menjelaskan prognosis dan pencegahan Anemia Defisiensi Besi.

I.6. HIPOTESIS

Dari hasil pemeriksaan fisik, gambaran darah tepi dan perubahan kondisi penderita setelah dilakukan penatalaksanaan, khususnya setelah post-transfusi, hipotesis dari kasus skenario I ini menuju pada penyakit anemia mikrositik hipokromik yaitu anemia defisiensi besi.

II. STUDI PUSTAKA

* ERITROSIT

Eritrosit hidup dan beredar dalam darah tepi rata-rata selama 120 hari. Setelah 120 hari eritrosit mengalami penuaan kemudian dikeluarkan dari sirkulasi oleh sistem RES. Eritrosit matang merupakan suatu cakram bikonkaf dengan diameter sekitar 7 mikron. Eritrosit merupakan sel dengan struktur yang tidak lengkap. Sel ini hanya terdiri atas membran dan sitoplasma tanpa inti sel. Komponen eritrosit terdiri dari:

1. Membran eritrosit

2. Sistem enzim

3. Hemoglobin, berfungsi sebagai alat angkut oksigen. Komponennya terdiri atas heme,

yang merupakan gabungan protoforfirin dengan besi. Serta globin, bagian protein yang

terdiri atas 2 ratai alfa dan 2 rantai beta.

* ERITROPOIESIS

Faktor utama yang dapat merangsang produksi sel darah merah adalah hormon dalam sirkulasi yang disebut eritropoietin. Pengaruh utamanya adalah merangsang produksi proeritoblas dari sel-sel stem hemopoietik dalam sumsum tulang, dengan meningkatkan jumlah sel progenitor yang terikat untuk eritropoiesis. Stimulus untuk pembentukan eritropoietin adalah tekanan O2 dalam jaringan ginjal.

Eritropoiesis berjalan dari sel induk melalui sel progenitor CFUGEMM, BFUE & CFUE menjadi prekursor eritrosit yang dapat dikenali pertama kali di sumsum tulang, yaitu pronormoblas. Pronormoblas menyebabkan terbentuknya suatu rangkaian normoblas melalui sejumlah pembelahan sel menjadi normoblas awal lalu menjadi normoblas intermedia (polikromatik) dilanjutkan dengan pembelahan menjadi normoblas lanjut (piknotik) lalu retikulosit sampai menjadi eritrosit matur berwarna merah muda seluruhnya. Satu pronormoblas biasanya menghasilkan 16 eritrosit matur.

* SINTESIS HEMOGLOBIN

scan0001.tifSintesis heme terutama terjadi di mitokondria. Bermula dengan kondensasi glisin dan suksinil koenzim A oleh kerja enzim kunci asam δ-aminolevulinat (ALA) dengan koenzim yaitu piridoksial fosfat (vit. B6) yang dirangsang oleh eritropoetin. Kemudian membentuk porfobilinogen, prekursor segera porfirin, cincin priol dengan rantai samping asetil, propionil dan aminometil. Dilanjutkan dengan bergabungnya 4 molekul porfobilinogen untuk membentuk 1 molekul uroporfirinogen III dan kemudian dikonversikan menjadi koproforbirinogen III untuk membentuk protoporifin. Protoporfirin ini bergabung dengan besi dalam bentuk Ferro (Fe2+) untuk membentuk heme. Masing-masing molekul heme bergabung dengan 1 rantai globin yang dibuat pada poliribosom, membentuk suatu subunit Hb yang disebut rantai hemoglobin. Empat dari rantai-rantai hemoglobin ini selanjutnya akan berikatan satu sama lain secara longgar untuk membentuk molekul hemoglobin yang lebih lengkap.

* METABOLISME BESI

Besi penting bagi pembentukan hemoglobin, mioglobin & substansi lainnya, seperti sitokrom oksidase, peroksidase & katalase. Absorbsi besi paling banyak terjadi pada duodenum dan jejenum proksimal disebabkan oleh struktur epitel usus yang memungkinkan untuk itu.

1. Fase luminal, besi dalam makanan diolah dalam lambung kemudian siap diserap di duodenum. Besi dalam makanan terdapat dalam 2 bentuk yaitu besi heme dan besi nonheme. Karena pengaruh asam lambung maka besi dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain, kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri ke fero.

2. Fase mukosal, penyerapan yang terjadi secara aktif melalui proses kompleks pada mukosa usus. Terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejenum proksimal.

3. Fase korporeal, meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel-sel yang memerlukan, serta penyimpanan besi (storage) oleh tubuh.

scan0003.tifBesi setelah diserap oleh enterosit (epitel usus), melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus, kemudian dalam darah diikat oleh apotransferin mejadi transferin. Transferin adalah kombinasi dari: apotransferin, suatu beta globulin disekresikan oleh hati yang mengalir melalui duktus empedu ke dalam duodenum, berikatan dengan besi bebas dan dengan beberapa senyawa besi seperti hemoglobin dan mioglobin dari makanan. Kemudian, dengan cara pinositosis, dilepaskan pada sisi darah dari sel epitel dalam bentuk transferin plasma. Yang selanjutnya diangkut dalam plasma menuju bagian tubuh yang memerlukan. Kelebihan besi dalam darah di simpan dalam seluruh sel tubuh, tapi terutama di hepatosit hati dan sedikit di sel retikuloendotelial sumsum tulang. Bila sel darah merah telah melampaui masa hidupnya dan hancur, maka hemoglobin yang dilepaskan dari sel akan dicerna oleh sel-sel dari sistem makrofag-monosit. Terjadi pelepasan besi bebas, kemudian disimpan terutama di tempat penyimpanan feritin dan digunakan lagi untuk membentuk hemoglobin baru. Bagian porifrin dari molekul hemoglobn diubah oleh sel-sel makrofag melalui serangkaian tahap menjadi pigmen empedu bilirubin, yang dilepaskan ke dalam darah dan akhirnya disekresikan oleh hati masuk ke dalam empedu.

* ANEMIA

Anemia ialah keadaan dimana massa eritrosit dan atau massa hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Secara laboratorik dijabarkan sebagai penurunan di bawah normal kadar hemoglobin, hitung eritrosit dan hematokrit (packed red cell).

Berdasarkan morfologi erotrosit pada pemeriksaan apusan darah tepi atau dengan melihat indeks eritrosit, anemia diklasifikasikan sebagai berikut:

A. Anemia hipokromik mikrositer, terbagi menjadi Anemia defisiensi besi; Thalassemia; Anemia akibat penyakit kronik; dan Anemia sideroblastik

B. Anemia normokromik normositer yang dibagi menjadi Anemia pascaperdarahan akut; Anemia aplastik – hipoplastik; Anemia hemolitik – terutama bentuk yang didapat; Anemia akibat penyakit kronik; Anemia mieloplastik; Anemia pada gagal ginjal kronik; Anemia pada mielofibrosis; Anemia pada sinsindrom mielodisplastik; dan Anemia pada leukimia akut

C. Anemia makrositer, dibagi menjadi dua yaitu Megaloblastik (Anemia defisiensi asam folat dan Anemia defisiensi vitamin B12); serta Nonmegaloblastik (Anemia pada penyakit hati kronik; Anemia pada hipotiroid; dan Anemia pada sindroma mielodisplastik).

* ANEMIA DEFISIENSI BESI

Anemia defisiensi besi adalah salah satu dari anemia hipokromik mikrositik yang timbul akibat berkurangnya besi untuk erotropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh kehilangan Fe, akibat perdarahan menahun yang dapat berasal dari saluran cerna, cacing tambang, saluran genitalia wanita (akibat menorrhagia) saluran kemih atau saluran napas. Disamping itu, anemia defisiensi besi juga dapat disebabkan oleh malnutrisi, kebutuhan Fe meningkat dan karena adanya gangguan absorbsi besi (malabsorbsi).

Gejala khas dari anemia defisiensi besi adalah adanya koilon chia, artrofi papil lidah, stomatitis angularis, disfagia, artrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia dan pica. Untuk penyakit anemia defisiensi besi akibat infeksi parasit khususnya cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak dan kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Sedangkan pada anemia karena perdarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala gangguan buang air besar atau gejala lain tergantung dari lokasi kanker tersebut. Diagnosis banding untuk anemia defisensi besi adalah anemia akibat penyakit kronik, thalassemia dan anemia sideroblastik. Pemeriksaan laboratorium pada apusan darah tepi akan memberikan suatu acuan mengenai diagnosis yang tepat dari diagnosis banding tersebut.

Terapi terhadap anemia defisiensi besi dapat berupa terapi kausal dan terapi preparat besi. Terapi kausal dilakukan sesuai dengan penyebabnya. Terapi kausal harus dilakukan, sebab jika tidak dilakukan maka anemia akan kambuh kembali. Sedangkan terapi dengan pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh dibagi menjadi dua yaitu besi per oral dan besi parenteral. Terapi besi per oral merupakan obat pilihan pertama karena efektif, murah dan aman. Pemberian besi per oral saat lambung kosong memberikan hasil lebih baik, akan tetapi efek samping berupa mual, muntah serta konstipasi pun juga lebih banyak. Sedangkan besi parenteral diberikan secara intramuskular dalam atau intravena pelan namun efek sampingnya lebih berbahaya seperti intoleransi oral berat, kolitis ulserativa, dll. Selain terapi kausal dan pemberian preparat besi, pengobatan lain seperti pengaturan diet makanan bergizi tinggi protein, vitamin C maupun transfusi darah juga merupakan terapi bagi penderita anemia defisiensi besi.

III. PEMBAHASAN/ DISKUSI

Besi mempengaruhi sintesis hemoglobin yang merupakan bagian dari eritrosit. Berkurangnya besi dalam tubuh akan mempengaruhi sintesis hemoglobin sehingga produksinya akan menurun dan akan menghambat eritropoesis. Jika cadangan besi kosong dan kekurangan besi dalam tubuh ini berlanjut terus maka penyediaan besi untuk erotropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Jika kekurangan ini berlanjut terus akan timbul anemia hipokromik mikrositer sehingga menimbulkan gejala-gejala pada kuku, epitel mulut dan berbagai gejala lainnya seperti yang telah disebutkan pada tinjauan pustaka di atas.

Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah karena malnutrisi, malabsorbsi, infeksi parasit, perdarahan dan lain sebagainya. Untuk mengatasi anemia harus diketahui terlebih dahulu faktor kausalnya sehingga anemia ini tidak akan kambuh lagi. Jika, kausal tidak dapat diatasi maka anemia defisiensi besi ini akan terus berlanjut dan kambuh kembali. Anemia akibat perdarahan biasanya disebabkan karena menorrhagia pada wanita pada masa produktif. Selain karena perdarahan dan infeksi parasit, anemia defisiensi besi juga dapat diakibatkan karena adanya infeksi pada saluran pencernaan yang menyebabkan terjadinya malabsorbsi sehingga dapat menimbulkan malnutrisi. Malabsorbsi mengakibatkan kadar besi yang diserap tubuh akan berkurang sehingga pasokan untuk tubuh akan berkuran. Akibat kurangnya diet makanan bergizi dan mengadung besi maka kadar besi dalam tubuh akan berkurang sehingga dapat menyebabkan defisiansi nutrisi, khususnya besi. Terapi yang dilakukan pada penderita anemia defisiensi besi adalah dengan memberikan transfusi darah berupa PRC (Packed Red Cell) untuk menghindari overload yang didampingi dengan pemberian besi per oral maupun parenteral. Penindaklanjutan pada kausal dari anemia defisiensi besi merupakan satu langkah besar dan penting untuk menyembuhkan anemia defisiensi besi ini..

Perbedaan antara anemia defisiensi besi dengan anemia akibat penyakit kronik tidak terlalu terlihat pada manifestasi klinis secara visual, karena semua jenis anemia biasanya memiliki gejala klinis yang serupa tergantung pada tingkat keparahannya. Yang dapat membedakannya adalah dari hasil pemeriksaan apusan darah tepi. Pada anemia defisensi besi, TIBC akan meningkat sedangkan pada anemia penyakit kronik, TIBC akan menurun. Selain itu, pada anemia defisiensi besi feritinnya akan menurun, sedangkan pada anemia penyakit kronik normal. Pada pemeriksaan besi sumsum tulang, pada anemia defisiensi besi hasilnya akan negatif sedangkan pada anemia penyakit kronik akan menjadi positif karena pada anemia defisensi besi, cadangan besi kosong, sedangkan pada anemia penyakit kronik cadangn besi masih ada namun kekurangan besi. Hasil pemeriksaan MCV dan MCH serta besi serum pada keduanya akan menunjukkan hasil yang menurun dari keadaan normal. Anemia defisiensi besi ditandai dengan menurunnya MCV dan MCH, serum besi dan feritim serum yang disertai dengan naiknya TIBC dan reseptor transferin. Jadi, anemia defisiensi besi ini memiliki bentuk eritrosit yang mikrositik dan konsentrasi hemoglobin yang hipokromik. Pada anemia defisiensi besi, pemberian besi per oral akan memberikan respon yang baik, sedangkan pada anemia penyakit kronik tidak akan memberikan respon maupun perubahan.

Anemia akibat penyakit kronik adalah anemia yang dijumpai pada penyait kronik tertentu yang khas ditandai oleh gangguan metabolisme Fe, yaitu adanya hipoforemia sehingga menyebabkan berkurangnya penyediaan Fe yang dibutuhkan untuk sintesis Fe tetapi cadangan besi sumsum tulang masih cukup. Anemia ini hanya terkoreksi dengan keberhasilan pengobatan penyakit yang mendasari dan tidak berespons terhadap terapi besi walaupun kadar Fe serum rendah.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

* Anemia defisensi besi berbeda dengan anemia akibat penyakit kronik. Anemia defisiensi besi adalah keadaan dimana tubuh kekurangan cadangan besi untuk eritropoesis yang kemudian menhambat pembentukan hemoglobin. Sedangkan anemia akibat penyakit kronik adalah anemia yang dijumpai pada penyakit kronik tertentu yang khas ditandai oleh gangguan metabolisme Fe sehingga berkurangnya penyediaan Fe yang dibutuhkan untuk sintesis besi tetapi cadangan sumsum tulang masih cukup.

* Kasus Anemia Defisiensi besi pada anak tersebut dapat disebabkan olah karena dua hal yaitu malnutrisi maupun malabsorbsi. Diet rendah Fe dan kebutuhan akan Fe yang meningkat pada masa pertumbuhannya menyebabkan terjadinya malnutrisi besi dalam tubuh sehingga menyebabkan anemia defisiensi besi. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan anemia defisiensi besi ini disebabkan oleh malabsorbsi akibat adanya gangguan pada saluran pencernaan khususnya duodenum dan proximal jejenum. Untuk menentukan dan memastikan kausal dari anemia defisiensi ini diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang laboratorium lainnya.

V. DAFTAR PUSTAKA

Bakta, I made.(2006).Hematologi Klinik Ringkas.Jakarta: EGC.

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.(2006).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid

II.Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Dorland, W.A. Newman.(2006).Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29.Jakarta: EGC

Guyton, Arthur C.(1997).Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Jakarta: EGC

Hoffbrand, A.V.dkk.(2005).Kapita Selekta Hematologi Edisi 4.Jakarta: EGC

Mansjoer Arif, et al.(2005).Kapita Selekta Kedokteran Ed.3 Jilid 2, cet.7, Jakarta: Media

Aesculapius.