19.6.09

Bising Pansistolik

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Jantung merupakan suatu organ tubuh yang memegang peranan sangat penting dalam keseimbangan tubuh manusia. Jantung memiliki sel kontraktil untuk melakukan kerjanya serta sel otoritmik yang mampu mencetuskan potensial aksi tanpa dieksitasi oleh sel lain dengan sendirinya. Jantung memiliki peranan dalam memompa darah ke seluruh tubuh dan paru-paru. Dengan begitu, maka jantung menentukan vaskularisasi setiap jaringan dan sel yang berada di seluruh permukaan tubuh manusia.

Jantung sendiri memiliki beberapa bagian lagi yang memiliki fungsi masing-masing. Jika salah satu saja atau sebagian kecil dari bagian jantung tersebut mengalami kelainan, maka kerja jantung dalam memompa darah dan mengatur sirkulasi darah ke seluruh jaringan di dalam tubuh kelak akan turut terganggu. Kini penyakit akibat kelainan pada jantung banyak terdapat di masyarakat baik kelainan jantung kongenital maupun yang didapat akibat kesalahan metabolisme. Maka, pengetahuan yang baik mengenai jantung perihal fisiologi dan keadaaan patologinya perlu dikuasai oleh seorang dokter guna dapat memberikan tatalaksana serta edukasi terbaik bagi pasien.

Pada tinjauan pustaka penulis akan menjelaskan mengenai embriologi jantung khususnya sekat dan katup jantung, anatomi jantung, siklus jantung, kelainan jatung kongenital serta EKG. Di samping itu, pada pembahasan akan dibahas mengenai patofisiologi kelainan-kelainan yang dapat terjadi pada jantung serta kaitannya dengan manifestasi klinis yang ditemukan khususnya pada skenario.

B. RUMUSAN MASALAH

Dalam skenario ini, penulis mendapatkan satu pokok permasalahan yaitu:

“Bagaimanakah patofisiologi timbulnya bising pansistolik, hipertrofi atrium kiri dan ventrikel kiri tanpa disertai keadaan sianosis?

C. HIPOTESIS

Pada kasus skenario 2 ini, penulis menuliskan hipotesis sebagai berikut:

· Bising pansistolik dapat ditimbulkan oleh kelainan katup mitralis, yaitu insufisensi mitralis atau karena adanya kelainan ventricle septal defect (VSD).

· Maifestasi klinis pada kasus ini dapat timbul sebagai akibat adanya penyakit baru pada jantung baik infeksi ataupun disebabkan karena sebagai manifestasi klinis lambat akibat kelainan jantung sejak lahir yang diderita sebelumnya.

· Sianosis tidak ditemukan pada pasien dapat terjadi kemudian atau benar-benat tidak akan terjadi.

D. TUJUAN

1. Memahami anatomi dan embriologi jantung.

2. Mengetahui pemeriksaan fisik jantung, pemeriksaan EKG dan foto thorax.

3. Mampu menjelaskan patofisiologi bising pansistolik, hipertrofi ventrikel kiri, hipertrofi atrium kiri, axis bergeser ke kanan, perbesaran jantung, jari tabuh, sianosis dan thrill pada pasien dengan kelainan jantung kongenital.

4. Mengetahui penyakit jantung koroner dan faktor risiko penyakit kardiovaskular.

5. Mampu menentukan keadaan dan tindak lanjut bagi pasien pada skenario.

E. MANFAAT

Manfaat dari penulisan laporan ini adalah penulis memahami bagaimana siklus jantung secara fisiologis dan bentuk-bentuk kelainan pada sistem kardiovaskular khususnya jantung.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI JANTUNG

Cor berbentuk conus dengan basis di dorsocraniodexter dan apex di ventrocaudosinister. Cor mempunyai tiga facies yaiu facies sternocostalis di ventral, facies diafragmatica di dorsocaudal dan facies pulmonalis di craniodorsosinister. Bagian dalam jantung terdiri atas empat ruang, yaitu atrium cordis dextrum et sinistrum dan ventriculus cordis dexter et sinister. Di antara atrium cordis dextrum dan atrium cordis sinistrum dibatasi oleh septum interatriale. Di sana terdapat fossa ovalis yang dibatasi oleh limbus ovalis. Fossa ovalis ini merupakan obliterasi dari foramen ovale pada waktu janin. Selain itu juga ada septum interventriculare yang membatasi antara ventriculus cordis dexter dan ventriculus cordis sinister. Sedangkan di antara ventriculus cordis dexter dan atrium cordis dextrum dibatasi oleh ostium atrioventriculare dexter dan melekat valvula tricuspidalis. Di antara ventriculus cordis sinister dan atrium cordis sinistrum dibatasi oleh ostium atrioventriculare sinister yang dilekati valvula bicuspidalis/ mitralis. Di setiap valvula baik tricuspidalis maupun bicuspidalis, mereka dikaitkan oleh cordae tendineae ke m. papillaris. (Budianto, 2004)

Atrium cordis dextrum dimuarai oleh v. cava superior, v. cava inferior, v. cordis minimae dan sinus coronarius. Ventriculus cordis dexter akan mengalirkan darah ke truncus pulmonalis. Atrium cordis sinistrum dimuarai oleh v. pulmonalis dextra dan sinistra masing-masing dua buah. Dan ventriculus cordis sinister akan mengalirkan darah ke aorta. (Budianto, 2004)

B. EMBRIOLOGI SEKAT DAN KATUP JANTUNG

Sistem pembuluh darah mudigah manusia tampak pada pertengahan minggu ketiga, pada saat mudigah tidak lagi dapat mencukupi kebutuhan akan zat makanan hanya melalui difusi saja. Pada tingkat ini, sel-sel lapisan mesoderm splanknik pada mudigah persomit lanjut diinduksi oleh endoderm di bawahnya untuk membentuk angioblas. Kemudian sel-sel berproliferasi dan membentuk kelompok-kelompok sel-sel endotel tersendiri yang disebut angiokista. (Suyono, 1997)

Sekat jantung utama terbentuk antara hari ke-27 dan ke-37 perkembangan mudigah, ketika mudigah mengalami pertumbuhan panjang dari 5 mm hingga kurang lebih 16-17 mm. Sekat jantung dapat terbentuk melalui dua cara, yang pertama adalah dengan cara dua massa jaringan yang sedang tumbuh aktif saling mendekat hingga menjadi satu, bisa hanya satu massa sel saja yang aktif ataupun keduanya. Pembentukan semacam ini tergantung pada sintesis dan desposisi matriks-matriks ekstraseluler dan proliferasi sel. Dan terdapat massa yang tumbuh di daerah atrioventrikuler dan konotrunkal yang disebut dengan bantal-bantal endokardium. Cara pembentukan yang kedua adalah dengan tidak melibatkan bantal-bantal endokardium jika segaris kecil jaringan di dinding atrium atau ventrikel gagal bertumbuh sedangkan daerah di kanan kirinya meluas kemudian terbentuk sebuah rigi yang sempit di antara kedua bagian yang sedang meluas tersebut. Sekat semacam ini terbentuk untuk memisahkan sebagian atrium dan ventrikel. (Suyono, 1997)

Pembentukan sekat di dalam atrium komunis terbentuk pada akhir minggu keempat, suatu rigi berbentuk bulan sabit tumbuh dari atrium komunis ke dalam lumen kemudian rigi ini akan meluas ke arah bantalan endokardium di dalam kanalis atrioventrikularis, rigi ini akan membentuk sebuah septum yaitu septum primum. Di antara tepi bawah septum primum dengan bantalan endokardium terbentuk sebuah lubang yang disebut dengan ostium primum. Setelah pembentukan septum primum, bantalan endokardium akan berangsur-angsur menutup ostium primum, namun sebelum penutupan tersebut sempurna, kematian sel mengahasilkan lubang-lubang pada septum primum dan jika saling bergabung satu sama lain disebut dengan ostium sekundum. (Suyono, 1997)

Ketika lumen atrium kanan meluas akibat menyatunya kornu sinus, timbullah suatu lipatan baru berbentuk bulan sabit. Lipatan ini akan mulai menutupi ostium sekundum dan menyisakan sisa sebuah lubang yang disebut dengan foramen ovale. Jika bagian atas septum primum berangsur-angsur menghilang, akan tertinggal sebagian dan menjadi katup foramen ovale. Setelah lahir, katup foramen ovale tertekan ke septum sekundum dan menutup foramen ovale serta menyekat atrium kanan dan kiri. (Suyono, 1997)

Sekat di kanalis atrioventrikularis berasal dari ujung belakang lipatan bulbo (kono) ventrikularis yang berakhir hampir di tengah-tengah sepanjang dasar bantalan endokardium superior dan jauh kurang menonjol dari sebelumnya. Selain bantalan endokardium inferior dan superior, tampak dua bantalan lain yaitu bantalan atrioventrikularis lateralis. Bantalan endokardium atas dan bawah makin menonjol ke dalam lumen dan akhirnya saling menyatu, menyebabkan kanalis atrioventrikularis benar-benar terpisah menjadi orificium atrioventrikularis kanan dan kiri pada akhir minggu kelima. (Suyono, 1997)

Katup-katup atrioventrikulare terbentuk dengan diawali kejadian dikelilinginya orificium ventrikularis oleh proliferasi setempat jaringan mesenkim. Jaringan yang terletak di atas permukaan ventrikular jaringan ini menjadi berongga dan menipis karena aliran darah dan membentuk katup-katup yang tetap menempel pada dinding ventrikel melalui tali-tali otot. Chorda tendineae terbentuk dari degenerasi sel otot jantung dan diganti oleh jaringan penyambung padat. Jaringan penyambung yang dibungkus endokardium dan dihubungkan ke trabekula tebal di dinding ventrikel akan membentuk katup-katup atrioventrikularis yang berjumlah tiga di kanan dan dua di bagian kiri. (Suyono, 1997)

Sekat di antara ventrikel terbentuk dari dinding medial ventrikel yang meluas dan berhimpit, kemudian berangsur-angsur bersatu sehingga membentuk septum interventrikularis pars muskularis. Selain itu, foramen interventrikularis akan mengecil dengan lengkapnya sekat konus. Kemudian foramen akan tertutup dengan keluarnya jaringan dari bantalan endokardium bawah di sepanjang puncak septum interventrikularis pars muskularis. Setelah menutup sempurna, foramen interventrikularis menjadi septum interventrikularis pars membranacea. (Suyono, 1997)

C. SIKLUS KERJA JANTUNG

Kontraksi otot jantung berjalan bergantian antara atrium dan ventrikel. Pada saat kontraksi jantung disebut dengan sistol sedangkan pada relaksasi jantung disebut sebagai diastol. Pada saat sistol, ventrikel berkontraksi sedangkan atrium relaksasi, sehingga tekanan intraventricularis meninggi. Hal ini menyebabkan valvula atrioventriculare menutup, disamping itu darah akan terpompa menuju aorta dan a. Pulmonalis karena valvula semilunaris aorta dan valvula semilunaris pulmonalis terbuka. Penutupan valvula atrioventriculare menimbulkan bunyi jantung I. (Budianto, 2004; Agus, 2005)

Sedangkan pada saat diastol, ventrikel relaksasi sedangkan atrium kontraksi sehingga tekanan intraatrial meninggi. Hal ini menyebabkan valvula atrioventriculare terbuka dan darah dari atrium masuk ke ventrikel, sedangkan valvula semilunaris aorta dan pulmonalis tertutup. Penutupan valvula semilunaris ini akan menimbulkan suara jantung II. (Budianto, 2004, Pendit, 2001; Agus, 2005)

Jadi, sistole adalah saat di antara suara jantung I dan suara jantung II, sedangkan diastole saat di antara suara jantung II dan suara jantung I. Pada saat sistol, jantung berputar hingga memukul dinding depan thorax dan keadaan ini disebut dengan iktus cordis. Iktus cordis dapat diraba pada spatium intercostale V, sedikit sebelah medial linea medioclavicularis. (Budianto, 2004; Agus, 2005)

D. AKSIS JANTUNG PADA PEMERIKSAAN EKG

Setiap kali terjadi eksitasi di nodus NA, arus depolarisasi akan menyebarkan gelombang dari satu bagian ke bagian yang lain secara terus menerus, hingga seluruh jantung mengalami depolarisasi. Gelombang-gelombang ini memiliki arah dan intensitas tertentu sehingga dapat digambarkan sebagai vektor-vektor kecil. Resultan dari semua vektor-vektor kecil ini akan merupakan sebuah vektor besar yang mewakili arus-arus depolarisasi jantung secara keseluruhan yang dikenal sebagai aksis jantung atau disingkat dengan aksis. (Karim, 2007)

Aksis sebenarnya memiliki arah tiga dimensi, namun yang lazim dievaluasi hanya dua dimensi, yaitu bidang frontal (frontal plane) dan bidang horizontal (horizontal plane). Sandapan yang digunakan pada EKG adalah sandapan dengan sistem heksadesial yang hanya dapat mengukur aktivitas bioelektrik jantung yang merambat melalui bidang frontal dan mengukur aktivitas bioelektrik jantung dari dua kutub yang jauh dari jantung. Sandapan sistem heksadesial ini terdiri dari enam buah sandapan, yaitu:

Sandapan I : berasal dari elektroda lengan kanan (right arm = RA, negatif) ke elektroda lengan kiri (left arm = LA, positif).

Sandapan II : berasal dari elektroda lengan kanan (RA, negatif) ke elektroda tungkai kiri (LL, positif).

Sandapan III : berasal dari elektroda lengan kri (LA, negatif) ke elektroda tungkai kiri (LL, positif).

Sandapan aVL : berasal dari sentral ke lengan kiri (left=L)

Sandapan aVR : berasal dari sentral ke lengan kanan (right=R)

Sandapan aVF : dari sentral ke tungkai kiri (foot=F)

(Karim, 2007)

Pada penilaian aksis, aksis yang dapat dievaluasi pada bidang frontal adalah aksis gelombang P, gelombang QRS dan gelombang T. Secara teoritis, setiap sandapaan yang terletak pada bidang frontal dapat dipakai untuk menghitung aksis. Namun aksis jantung dapat ditentukan dengan mudah dan cepat dengan menggunakan sandapan I dan sandapan aVF. (Karim, 2007)

Maka, dari hasil resultan lead I dan aVF, aksis yang normal berada diantara 0o dan +90o, jika aksis berada diantara +90o sampai +180o, maka ini berarti aksis deviasi kanan dan dikatakan deviasi aksis kiri jika resultan lead I dan aVF antara -90o sampai 0o. Dari ketiga aksis, aksis gelombang P digunakan untuk melihat irama sinus. (Karim, 2007)

E. KELAINAN JANTUNG KONGENITAL

Penyakit jantung kongenital mencakup beragam malformasi, berkisar dari kelainan ringan yang hanya menimbulkan gejala minimal sampai usia dewasa, hingga anomali berat yang menyebabkan kematian pada masa prenatal. Penyebab sebagian besar penyakit jantung kongenital tidak diketahui. Namun, dapat kita bedakan faktor penyebab malformasi ini dalam dua kategori yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik jelas berperan pada sebagian kasus, misalnya pada trisomi 13, 15, 18 dan 21 serta sindrom turner dan malformasi kongenital jantung. (Pendit, 2007)

Selain pengaruh lingkungan, malformasi kongenital juga dapat disebabkan oleh faktor lingkungan. Lingkungan berperan dalam beberapa kasus malformasi kongenital, misalnya karena infeksi rubela kongenital, pengaruh obat talidomid yang dikonsumsi ibu hamil, sinar radiasi maupun penyebab lainnya. Pengaruh genetik dan lingkungan multifaktor mungkin merupakan penyebab pada banyak kasus penyakit jantung kongenital yang saat ini diklasifikasikan sebagai kelainan idiopatik. (Pendit, 2007)

Penyakit jantung kongenital dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu:

§ Malformasi yang menyebabkan pirau (shunt) kiri ke kanan.

Pada malformasi jantung kongenital jenis ini, komunikasi abnormal menyebabkan darah mengalir dari rongga jantung kiri ke kanan. Yang termasuk dalam malformasi ini adalah Atrium Septal Defect (ASD), Ventricle Septal Defect (VSD) dan Patent Ductus Arteriosus (PDA). Malformasi ini mungkin asimtomatik saat lahir atau menimbulkan gagal jantung kongestif fulminan. Biasanya pada malformasi ini, sianotik tidak ditemukan sebagai gejala awal, namun akan timbul kemudian ketika sudah terjadi hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal ini akan menyebabkan aliran darah abnormal yang semula dari kiri ke kanan berubah arah sebaliknya dan menimbulkan sianotik pada penderita. Maka, fenomena ini sering disebut dengan sianosis tardif (lambat). (Pendit, 2007)

§ Malformasi yang menyebabkan pirau kanan ke kiri (penyakit jantung kongenital sianotik).

Malformasi ini dibedakan dibedakan oleh malformasi menjelang atau saat lahir. Pada malformasi jenis ini, darah yang kurang oksigen dari sisi kanan jantung dialirkan langsung ke sirkulasi arteri. Kelainan terpenting yang dapat menyebabkan kelainan ini adalah tetralogi fallot dan transposisi pembuluh darah besar. Biasanya, karena terjadi aliran darah dari sisi kanan jantung yang notabene berisi darah dari seluruh tubuh yang kurang akan kandungan oksigen ke sisi kiri jantung yang bertugas menerima darah bersih dan mengalirkannya langsung ke seluruh tubuh, maka pada pemeriksaan fisik akan ditemukan fenomena sianosis pada kelainan ini. sianosis dapat ditemukan sebagai manifestasi dini dan signifikan sejak awal kehidupan. (Pendit, 2007)

§ Malformasi yang menyebabkan obstruksi.

Beberapa malformasi menyebabkan hambatan aliran darah dan sebagian kasus merupakan kelainan tersendiri seperti pada stenosis katup aorta kongenital. Namun pada kasus lain, malformasi jenis ini merupakan komponen dari malformasi yang disebabkan oleh tetralogi fallot. Salah satu jenis anomali obstruksi yang cukup sering ditemukan adalah koarktasio aorta yang merupakan penyempitan abnormal lumen aorta. Biasanya pada kelainan ini sianosis selektif di ekstremitas bawah terjadi akibat perfusi bagian bawah tubuh oleh darah yang kurang beroksigen dan dialirkan melalui duktus arteriosus. (Pendit, 2007)

F. PENYAKIT KATUP JANTUNG

Penyakit katup jantung dahulu dianggap sebagai penyakit yang hampir selalu disebabkan oleh rematik yang disebabkan oleh streptokokus grup A β-hemolitik, tetapi sekarang lebih banyak ditemukan penyakit katup jenis baru. Pada penyakit rematik, streptokokus ini akan menyerang beberapa bagian tubuh dan menyebabkan kelainan seperti pada persendian, jantung, chorea, eritema marginatum dan nodul subkutanis. Jika terjadi di jantung dapat menyebabkan karditis, endokarditis sehingga katup-katup menjadi fibrosis, biasanya terjadi pada katup mitralis dan katup aorta karena streptokokus lebih senang di tempat tersebut dkarena tekanan hemodinamik lebih besar pada tempat ini. Yang paling sering dijumpai adalah penyakit katup degeneratif yang berkaitan dengan meningkatnya masa hidup rata-rata pada orang-orang yang hidup di negara industri dibandingkan dengan yang hidup di negara berkembang. (Leman, 2007; Pendit, 2005)

Penyakit katup jantung dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stenosis dan regurgitasi. Stenosis adalah keadaan dimana lubang katup mengalami penyempitan sehingga aliran darah mengalami hambatan. Regurgitasi yang sinonim dengan insufisiensi katup merupakan kelainan dimana katup tidak dapat menutup rapat sehingga darah dapat mengalir balik. Stenosis dan regurgitasi pada katup yang berbeda masing-masing akan menimbulkan bising sebagai manifestasi yang berbeda-beda baik pada waktu sistol atau pada waktu diastol. (Pendit, 2005)

Stenosis mitral pada pemeriksaan fisiknya dapat ditemukan bising mid sistolik yang kasar, bising menggerendeng (rumble), aksentuasi presistolik dan bunyi jantung I lebih kencang. Sedangkan pada insufisiensi mitral ditemukan bising pansistolik yang bersifat blowing di apeks, menjalar ke aksila dan mengeras pada ekspirasi, terdengar bunyi jantung III dan diikuti diastolic flow murmur. (Mansjoer, 2001)

Pada stenosis aorta didapatkan penyempitan tekanan nadi dan perlambatan lonjakan denyut arteri, murmur sistolik diamond shaped, bunyi A2 melemah, regurgitasi aorta melemah dan paradoxical splitting bunyi jantung II. Pada insufisiensi aorta akan ditemukan denyut arteri karotis yang cepat dan perbedaan tekanan darah yang besar dengan pulsus bisferiens, bising sistolik di apeks, bisisng Austin Flint (diastolic rumble) di apeks dan bising sistolik trikuspid. (Mansjoer, 2001)

Stenosis dan regurgitasi ini dapat terjadi sendiri pada satu atau lebih katup jantung maupun terjadi secara bersamaan pada katup yang sama. Stenosis dan regurgitasi katup yang terjadi secara bersamaan pada satu katup yang sama dan dapat dikatakan sebagai lesi campuran. Lesi ini diduga terjadi akibat katup yang mengalami stenosis dan tidak dapat bergerak leluasa sering kali tidak dapat menutup sempurna, sering terjadi akibat penyakit jantung rematik, biasanya akan mengenai banyak katup. Lesi gabungan ini dapat menetralisir atau malah memperbesar akibat fisiologi lesi murni. Namun gabungan lesi yang sama pada katup berbeda misal stenosis katup aorta dan stenosis mitralis dapat memproteksi bagian jantung lain dari kerusakan akibat usaha kompensasi jantung. (Pendit, 2005)

BAB III

PEMBAHASAN

Pada kasus kali ini diinformasikan bahwa pasien seorang anak laki-laki (10 th) dengan keluhan sering batuk pilek, cepat lelah, dan nafsu makan berkurang. Pasien lahir prematur dan memiliki kelainan jantung. Tidak terdapat sianosis maupun jari tabuh, tumbuh kembang dalam batas normal. Tekanan darah 120/80 mmHg, denyut nadi 90x/menit, inspeksi dinding dada tampak normal. Iktus kordis teraba di SIC V 2 cm lateral LMCS, tidak teraba thrill. Perkusi batas jantung di SIC V 2 cm lateral LMCS. Pada auskultasi terdengar bising pansistolik dengan punctum maksimum SIC IV-V parasternal kiri. Pemeriksaan hematologi rutin normal. Pemeriksaan EKG axis ke kiri, LVH, LAH. Pemeriksaan foto thorax CTR: 0.60, apeks bergeser ke kaudolateral.

Pasien disebutkan memiliki kelainan jantung, dari sini dapat diperkirakan adanya gangguan pada sistem kardiovaskularnya. Namun tidak ditemukan sianosis yang biasanya merupakan tanda pada gangguan kardiovaskular. Sianosis mungkin tidak muncul karena tubuh masih sanggup mengkompensasi rendahnya saturasi oksigen pada peredaran sistemik.

Sering batuk pilek berarti pada pasien terjadi infeksi saluran pernapasan berulang. Hal ini mungkin dapat disebabkan karena adanya defek jantung yang mengakibatkan peningkatan aliran darah ke paru sehingga membuat traktus respiratorius menjadi ‘basah’ dan fungsi toilet bronkial terganggu. Hal inilah yang memudahkan terjadinya infeksi saluran pernapasan. Infeksi pernapasan ini dapat disebabkan oleh bakteri, virus, atau mikroorganisme lainnya. Cepat lelah mungkin disebabkan kelainan jantung pada pasien yang menyebabkan curah jantung rendah sehingga saturasi oksigen sistemik tidak mampu mencukupi kebutuhan pasien, apalagi saat beraktivitas fisik. Nafsu makan berkurang dapat disebabkan gangguan metabolisme tubuh pasien yang terganggu akibat saturasi oksigen yang sedikit berkurang berkaitan dengan kelainan jantung yang diderita pasien. Kemungkinan lain adalah karena ketidaksempurnaan pembentukan sistem pencernaan pasien yang lahir prematur. Gangguan proses pencernaan juga dapat menurunkan nafsu makan pasien. Tumbuh kembang pasien masih terpantau normal. Hal ini perlu diperhatikan sebab apabila terjadi hambatan tumbuh kembang mungkin disebabkan oleh kelainan jantung yang menyebabkan darah yang beredar secara sistemik berkurang ataupun akibat tercampurnya darah kaya dan miskin oksigen. Akibatnya saturasi oksigen yang beredar ke seluruh tubuh berkurang sehingga terjadi hipoksemia dan hipoksia jaringan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan sel-sel dan perkembangannya. Pada kasus kali ini tidak ditemukan hambatan tumbuh kembang padahal terdapat kelainan jantung pada pasien, diperkirakan jantung masih dapat mengkompensasi turunnya saturasi oksigen sehingga tidak ditemukan hambatan tumbuh kembang.

Pada usia 10 tahun, nilai sistol berkisar antara 85-125 mmHg dan diastole antara 50-80 mmHg. Pada kasus kali ini tekanan darah bernilai 120/80 mmHg dan termasuk kategori normal. Denyut nadi 90x/menit juga termasuk nilai normal. Secara normal, letak ictus cordis adalah pada SIC V linea miclavicularis sinistra sedangkan pada hasil pemeriksaan fisik didapatkan ictus cordis bergeser yang merupakan tanda adanya pembesaran jantung.

Pemeriksaan foto thorax yang menyatakan apex bergeser ke lateral bawah. Akibat dari hipertrofi ventrikel kiri adalah apex yang bergeser ke lateral bawah. Adanya kelainan ini juga dipastikan dengan pemeriksaan EKG yang menunjukkan axis deviasi ke kiri dengan LVH (left ventricular hypertrophy) dan LAH (left atrial hipertrophy). Aksis merupakan suatu garis yang digunakan untuk menghubungkan lingkaran dengan titik potong garis tegak lurus yang ditarik dari berbagai sandapan. Aksis kompleks QRS normalnya di antara -300 sampai +1050. Aksis yang lebih negatif dari 300 maka disebut deviasi aksis kiri sedangkan aksis yang lebih positif dari 1100 disebut deviasi aksis kanan. Aksis akan mengalami deviasi aksis kiri seiring dengan bertambahnya usia. Aksis dapat mengalami deviasi akibat perubahan proses penyebaran eksitasi. Deviasi aksis kiri pada pasien dapat diakibatkan oleh hipertrofi ventrikel kiri sehingga arus depolarisasi ventrikel kiri menjadi lebih besar dan menggeser aksis ke kiri.

Bising pansistolik (holosistolik) merupakan bising yang terjadi selama fase sistol berlangsung. Bising terjadi akibat aliran turbulen darah melalui jalan yang sempit. Bising pansistolik dapat muncul pada beberapa kelainan jantung, misalnya insufisiensi / regurgitasi mitral atau pun pada ventricle septal defect (VSD). Pada insufisiensi mitral, bising pansistolik terjadi akibat katup mitral tidak menutup sempurna saat fase sistol sehingga terjadi aliran balik ke atrium sinistrum sehingga darah yang melewati bagian katup tersebut mengasilkan bising. Bising pada penyakit ini terdengar di apeks menjalar ke aksila. Di Indonesia insufisiensi mitral sebagian besar disebabkan karena demam rheuma, namun pada kasus ini tidak ada tanda-tanda inflamasi yang berarti sehingga demam rheuma dapat dieliminir.

Pemeriksaan hematologi meliputi LED, hematokrit, AT, AL, AE, Hb disebutkan normal. Dari sini dapat dideteksi tidak adanya leukositosis yang menandakan adanya infeksi. Hal ini dapat menyingkirkan anggapan adanya proses inflamasi yang berarti pada pasien. Jari tabuh merupakan manifestasi klinis dari akumulasi PGE2 di jaringan distal atau hipoksia pada jaringan. PGE2 adalah prostaglandin E2 yang diproduksi tubuh sebagai mediator inflamasi dan memegang peranan penting dalam terjadinya jari tabuh. Pada kelainan jantung dimana aliran darah yang menuju akan berkurang, sehingga proses degradasi PGE2 yang sebagian besar terjadi di paru akan terganggu. Tidak ada jari tabuh pada kasus ini menandakan tidak adanya penunpukan PGE2 di jaringan distal yang berarti tidak ada proses inflamasi pada tubuh.

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

v Berdasarkan gejala-gejala yang terdapat pada pasien seperti LVH, LAH, bising pansistolik, dan gambaran apeks bergeser ke kaudolateral, pasien diperkirakan menderita kelainan jantung, yaitu VSD maupun insufisiensi mitral.

B. SARAN

v Untuk mengetahui kelainan jantung yang diderita pasien sebaiknya dilakukan pemeriksaan untuk mendengarkan bunyi jantung I dan II serta penjalaran bising.

v Pada pasien untuk sementara dapat diberikan profilaksis untuk mencegah endokarditis, mencegah terjadinya gagal jantung pada pasien dapat diberikan diuretik dan digoxin diberikan untuk meningkatkan efektivitas fungsi miokardium.

DAFTAR PUSTAKA

Budianto, Anang dan Azizi, M. Syahrir.2004.Guidance to Anatomy II Edisi Revisi.Surakarta: Keluarga Besar Asisten Anatomi Fakultas Sebelas Maret

Gray, Huon H. et. al.; alih bahasa: Azwar Agus dan Asri dwi R.2005.Lecture Notes Kardiologi edisi keempat.Surabaya: Erlangga

Karim, Sjukri dan Kabo, Peter.2007.EKG dan Penanggulangan Beberapa Penyakit Jantung untuk Dokter Umum Cetakan ke-8.Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Leman, Saharman.2007.’Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik’, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid III. Jakarta: Penerbitan FKUI Pusat

Mansjoer, Arif, dkk.2001.Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Pertama.Jakarta: Media Aesculapius FKUI

Price, Sylvia A and Wilson, Lorraine M; alih bahasa:Brahm U. Pendit.2005.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. EGC: Jakarta

Robbins, Stanley L, et.al.; alih bahasa, Brahm U. Pendit.2007.Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 7 Volume 2.Jakarta: EGC

Sadler, T.W; alih bahasa Joko Suyono. 1997.Embriologi Kedokteran Langman Edisi ke-7.Jakarta: EGC

Sherwood , Lauralee; alih bahasa Brahm U. Pendit.2001.Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem Edisi Kedua.Jakarta: EGC