19.6.09

Diare

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Didapatkan seorang pria berusia 43 tahun, bekerja sebagai petani datang dengan keluhan sakit perut dan diare lendir, kadang berdarah, selama kurang lebih 1 bulan, cepat lelah setelah beraktivitas, sering berkunang-kunang dan dada berdebar-debar, serta kadang tubuh merasa gatal.

Kondisi rumah pasien berlantai tanah, sumber air minum dari sumur yang berjarak 2 meter dari ‘Jembleng/ sumuran terbuka’ (tempat BAB tradisional). Beberapa tetangganya juga mempunyai keluhan yang mirip (diare). Pada pemeriksaan fisik ditemukan pecah-pecah di tepi mulut, konungtiva pucat. Nyeri tekan lepas daerah Mc Burney (-). Auskultasi didapatkan takikardia, bising sistolik dan ronki basah basal paru. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya anemia berat dan eosinofilia. Dari pemeriksaan mikroskopis tinja didapatkan telur cacing, protozoa dan bakteri.

Keluhan utama yang membawa pasien tersebut datang adalah diare yang disertai beberpa keluhan lainnya. Diare seperti yang dikeluhkan tersebut merupakan keluhan yang sering ditemukan pada orang dewasa. Apabila dibiarkan dapat menyebabkan kematian. Kematian ini dapat disebabkan karena terjadi dehidrasi sedang sampai berat maupun karena komplikasi lainnya. Maka, penatalaksanaan terhadap keluhan diare bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut yang dapat berakhir pada kematian. Diare itu sendiri dapat disebabkan oleh berbagai hal, sehingga pemahaman atas perbedaan dari setiap penyebab ini sangatlah penting.

Oleh karena itu, penulis akan membahas mengenai beberapa agen infeksius penyebab diare agar dapat membedakan ciri khas setiap jenis diare dari masing-masing agen infeksius. Dalam tinjauan pustaka akan dipaparkan mengenai karakteristik feses, cara infeksi, organ yang terinfeksi, epidemiologi, patogenesis, cara penegakkan diagnosis, manifestasi klinis dan pencegahan dari setiap agen infeksius penyebab diare yang mungkin berperan sebagai agen infeksius dalam diare pada skenario kali ini. Juga disertai dengan komplikasi, faktor risiko, dan terapi yang dapat dilakukan untuk kejadian diare sendiri. Selain itu, juga akan dibahas korelasi antara diare yang dikeluhkan pasien dengan keluhan lainnya serta penatalaksanaan terbaik yang sesuai dengan kondisi pasien dalam skenario.

B. RUMUSAN MASALAH

“Apa saja yang dapat menyebabkan diare dan apakah perbedaan dari masing-masing penyebab tersebut?”

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

Tujuan Umum

Mahasiswa mengetahui keadaan patologis karena infeksi mikroorganisme yang dapat menimbulkan keadaan diare.

Tujuan Khusus

1. Mengetahui definisi diare.

2. Mengetahui agen infeksius penyebab diare serta patogenesisnya, predisposisi, komplikasi, patofisiologi serta terapinya.

3. Mengetahui ciri khas masing-masing diare dengan agen infeksius yang berbeda.

4. Mengetahui cara penegakkan diagnosis diare dengan agen infeksiusnya.

Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang diperoleh mahasiswa adalah bertambahanya pengetahuan dan pemahaman mahasiswa mengenai etiologi, patofisiologi, patogenesis, manifestasi klinis, komplikasi, faktor predispossi, terapi dan pencegahan dari keadaan diare.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Diare adalah peningkatan massa tinja, bertambahnya frekuensi buang air besar atau fluiditas (tingkat keenceran) tinja yang lebih tinggi. Pengertian diare ini sendiri perlu dibedakan dengan disentri. Diare yang berdarah dan berjumlah sedikit serta menimbulkan nyeri biasanya disebut dengan disentri.(Dorland, 2002; Robbins, 2007)

Diare dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu karena adanya infeksi enteral dan parenteral, imuninodefisiensi, terapi, maupun karena tindakan tertentu lainnya. Infeksi enteral dapat disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa, dan cacing. Sedangkan infeksi parenteral dapat disebabkan oleh karena intoksisitas makanan, alergi dan malabsorbsi.(PAPDI, 2006)

Bakteri penyebab diare terdiri dari berbagai macam spesies yang jumlah sangat banyak, diantaranya adalah Vibrio cholera, Shigella dysentriae dan Escherichia coli. Disamping itu, agen infeksius dari golongan cacing juga memiliki kemungkinan yang bervariasi, kemungkinan ini terdiri dari Ancylostoma duodenale, Necator americanus, Enterobius vermicularis, Strongiloides stercoralis, Trichuris trichiura dan Ascaris lumbricoides. Sedangkan untuk golongan protozoa terutama protozoa yang mungkin dapat menyebabkan diare terdiri dari Entamoeba coli, Entamoeba hystolotica, Balantidium coli, dan Giardia Lamblia. Selain bakteri, cacing dan protozoa, virus yang sudah terbukti dapat menyebabkan diare sebagai gejala infeksi terdiri dari Rotavirus, Norwalk agent, Hawaii agent serta beberapa jenis virus lain seperti Adenovirus, Coronavirus, Echovirus, Reovirus dan Coxsackievirus yang mungkin menyebabkan diare.(PAPDI, 2006; Syahrurachman, 1994)

Diare dapat diklasifikasikan berdasarkan :

1. Lama waktu diare: akut atau kronik.

2. Mekanisme patofisiologik: sekretorik, osmotik, eksudatif, malabsorbsi, gangguan motilitas atau infeksi.

3. Berat ringan diare: kecil atau besar.

4. Penyebab infeksi atau tidak: infektif atau non-infektif.

5. Penyebab organik atau tidak: organik atau fungsional.

(PAPDI, 2006; Robbins, 2007)

Yang berperan pada terjadinya diare terutama karena infeksi yaitu faktor kausal (agent) dan faktor pejamu (host). Faktor pejamu adalah kemmpuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap agen infeksius, terdiri dari daya tangkis atau lingkungan interna saluran cerna antara lain motilitas usus, keasaman lambung, imunitas dan juga lingkungan mikroflora usus. Sedangkan faktor kausal yang berperan terdiri dari daya penetrasi serta daya lekat kuman. (PAPDI, 2006)

Untuk penatalaksanaan diare akut pada orang dewasa karena infeksi terdiri atas rehidrasi, identifikasi penyebab diare akut karena infeksi, terapi simtomatis dan terapi definitif. Untuk rehidrasi terdapat empat hal penting yang perlu diperhatikan yaitu jenis, jumlah, jalan masuk atau cara dan jadwal pemberian cairan. Pada identifikasi penyebab tentukan jenis diare koleriform atau disentriform dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan penunjang yang terarah. Terapi simtomatis yang diberikan dengan pemberian obat antidiare diberikan sangat hati-hati atas pertimbangan rasional. Untuk terapi definitif pada diare akut, edukasi yang jelas sangat penting sebagai langkah pencegahan. Higiene perorangan, sanitasi lingkungan dan imunisasi melalui vaksinasi sangat berarti selain terapi farmakologi.(Mansjoer, 2001)

Sedangkan pada diare kronis penatalaksanaan terdiri dari penatalaksanaan simtomatis dan kausal. Sebenarnya sebagian besar sama dengan penatalaksanaan pada diare akut, namun diperlukan bebrapa tambahan yang bersifat simtomatis. Penatalaksanaan simtomatis terdiri dari rehidrasi, pemberian antispasmodik, antikolinergik, obat antidiare, antiemetik, vitamin dan mineral, obat ekstrak enzim pankreas, alumunium hidroksida, fenotiazin dan asam nikotinat. Sedangkan untuk pengobatan kausal diberikan pada infeksi maupun noninfeksi. Pada diare yang disebabkan karena infeksi, obat diberikan berdasarkan etiologinya.(Mansjoer, 2001)

BAKTERI

Patogenesis diare yang disebabkan oleh bakteri di bedakan dalam dua kelompok yaitu diare karena bakteri Non-Invasif (enterotoksigenik) dan diare karena bakteri invasif (enteroinvasif). Bakteri-bakteri yang non-invasif misalnya V.cholerae, Enterotoxigenic E.coli (ETEC) dan Clostridium perfringens. Sedangkan yang termasuk ke dalam bakteri invasif diantaranya adalah Enteroinvasive E.coli (EIEC), Salmonella, Shigella, Yersinia, dan Clostridium perfringens tipe C.(PAPDI, 2006)

v Vibrio cholera

Vibrio cholera berbentuk koma, batang kurva dengan panjang 2-4 µm. organisme ini motil aktif karena memiliki flagela polar. V.cholerae bukan merupakan patogen yang invasif. Organisme ini tidak mencapai aliran darah tetapi tetap dalam saluran usus. V.clholera yang virulen menempel pada mikrovilli pada permukaan sel epitelial, di sana mereka memperbanyak dan melepaskan enterotoksin dan mungkin musinase dan endotoksin. Enteroktoksin yang dikeluarkan dapat meningkatkan sekresi khlorid dan penyerapan sodium serta khlorid terhambat dan ini akan menyebabkan diare. Gambaran klinisnya secara klasik tidak bergejala. Feses yang dikeluarkan mirip cucian beras (rice water stool), mengandung mukus, sel epitelial dan sejumlah besar vibrio. Manifestasi klini yang mungkin timbul dapat berupa dehidrasi berat, syok dan anuria. Kematian akibat infeksi V.cholera tanpa pengobatan adalah antara 25% sampai 50%.(Brooks, 2005)

v Shigella dysentriae

Infeksi S.dysentriae hampir terbatas pada sistem gastrointestinal, penyebaran ke dalam aliran darah sangat jarang dan dapat mnular. Proses patologik terpenting adalah invasi sel epitelial mukosal diinduksi oleh fagositosis, lolos dari vakuola fagositik, pelipatgandaan dan pengembangan dalam sel epitelial sitoplasma dan melintas ke sel yang berdekatan. Manifestasi klinis berupa tiba-tiba sakit perut, demam dan diare cair. Diare terjadi akibat pengaruh eksotoksin dalam usus kecil. Keluhan ini juga disertai tenesmus . lebih dari setengah kasus demam dan diare reda secara spontan dalam 2-5 hari. Namun, diare berkepanjangan dapat menyebabkan dehidrasi, acidosis dan mungkin kematian.(Brooks, 2005)

v Escherichia coli

Secara normal, Escherichia coli ini merupakan flora normal usus. Namun terdapat beberapa strain yang patogen dan menimbulkan diare. Ciri diare yang disebabkan oleh bakteri ini adalah ditemukan feses dengan disertai mukus, darah dan nanah. Strain Escherichia coli yang patogen ini memiliki antigen permukaan atau enterotoksin yang kemudian dapat menimbulkn terjadinya diare. Infeksi bakteri ini terjadi melalui fekal-oral dengan menelan sejumlah bakteri yang tidak sedikit, baik dari makanan, minuman, air dan bahan-bahan lainnya yang masuk ke dalam mulut.(Brooks, 2005)

CACING

v Ancylostoma duodenale dan Necator americanus

Morfologi dan daur hidup

Cacing dewasa dari kedua cacing ini hidup di rongga usus halus, dengan mulut yang besar melekat pada mukosa dinding usus. Yang menjadi stadium infektif cacing tambang ke manusia adala larva filariform. Larva ini dapat hidup di tanah selama 7-8 minggu. larva ini menginvasi host dengan cara menembus kulit.(Gandahusada, 2002)

Patologi dan manifestasi klinis

Gejala-gejala yang ditimbulkan pada keadaan nekatoriasis dan ankilostomiasis adalah berupa ground itch, anemia hipokrom mikrositer dan eosinofilia. Biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan tubuh berkurang dan prestasi kerja menurun.(Gandahusada, 2002)

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja segar. Dalam tinja yang lama mungkin ditemukan larva. Untuk membedakan spesies N.americanusi dengan A.duodenale dapat dilakukan biakan tinja misalnya dengan cara Harada-Mori.(Gandahusada, 2002)

Predisposisi

Insidens tinggi ditemukan pada penduduk Indonesia terutama di daerah pedesaan, khususnya perkebunan. Orang-orang dengan golongan pekerjaan perkebunan yang langsung berhubungan dengan tanah merupakan faktor predisposisi yang cukup besar. Selain itu, kebiasaan defekasi di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk juga menjadi faktor predisposisi untuk infeksi cacing ini.(Gandahusada, 2002)

Pencegahan

Untuk menghindari infeksi, usaha yang dapat dilakukan antara lain ialah dengan memakai sandal atau sepatu.(Gandahusada, 2002)

v Enterobius vermicularis

Morfologi dan daur hidup

Parasit in ikosmopolit tetapi lebih banyak ditemukan di daerah dingin daripada di daerah panas. Habitat cacing dewasa biasanya di rongga sekum, usus besar dan di usus halus yang berdekatan dengan rongga sekum. Makanannya adalah isi dari usus. Infeksi cacing kremi ini terjadi bila menelan telur matang, atau bila larva dari telur yang menetas di daerah perianal bermigrasi kembali ke usus besar. Telur matang yang tertelan menetas di duodenum dan larva rhanditiform berubah dua kali sebelum menjadi dewasa di jejunum dan bagian atas ileum. Infeksi cacing kremi dapat sembuh sendiri (self limited). Bila tidak ada infeksi, tanpa pengobatan infeksi dapat berakhir.(Gandahusada, 2002)

Patologi dan manifestasi klinis

Enterobiasis relatif tidak berbahaya, jarang menimbulkan lesi yang berarti. Gejala klinis yang menonjol disebabkan iritasi di sekitar anus, perineum dan vagina oleh cacing betina gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina sehingga menyebabkan pruritus lokal. Cacing sering ditemukan di appendiks tetapi jarang menyebabkan apendisitis. Beberapa gejala karena infeksi Enterobius vermicularis yaitu kurang nafsu makan, berat badan turun, aktivitas meninggi, enuresis, cepat marah, gigi menggeretak, insomnia dan masturbasi tetapi kadang-kadang sukar untuk membuktikn hubungan sebab dengan cacing kremi.(Gandahusada, 2002)

Diagnosis

Infeksi cacing sering diduga pada anak yang menunjukkan rasa gatal di sekitar anus pada waktu malam hari. Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dan cacing dewasa. Telur cacing dapat diambil dengan mudah dengan alat anal swab yang ditempelkan di sekitar anus pada waktu pagi hari sebelum anak buang air besar dan mencuci pantat (cebok).(Gandahusada, 2002)

Epidemiologi

Penularan dapat terjadi pada suatu keluarga atau kelompok yang hidup dalam satu lingkungan yang sama. Anka prevalensi pada berbagai golongan manusia 3% - 80%. Kelompok usia terbanyak yang menderita enterobiasis adalah kelompok usia antara 5-9 tahun. Penularan dapat dipengaruhi oleh kontak tangan dengan daerah perianal lalu menyentuh mulut sehingga telur masuk melalui kontak tangan ke mulut. Selain itu, telur cacing ini dapat diterbangkan oleh angin sehingga melelui debu dapat tertelan. Retrofeksi melalui anus, larva dari telur yang menetas di sekitar anus kembali masuk ke anus juga merupakan suatu cara penuaran enterobiasis.(Gandahusada, 2002)

v Strongiloides stercoralis

Morfologi dan daur hidup

Hanya ditemukan cacing betina yang hidup sebagai parasit di duodenum dan jejunum. Cacing ini berbentuk filiform, halus, tidak berwarna dan panjangnya kira-kira 2 mm. Berkembang biak secara partenogenesis, telur diletakkan di di mukosa usus, kemudian akan menetes menjadi larva rabditiform yang masuk ke rongga usus serta dikeluarkan bersama tinja.(Gandahusada, 2002)

Patologi dan manifestasi klinis

Bila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit, timbul kelainan yang dinamakan creeping eruption, sering disertai rasa gatal yang hebat. Infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti tertusuk-tusuk di daerah epigastrium tengah dan tidak menjalar. Mungkin ada mual dan muntah, diare dan konstipasi saling bergantian. Pada pameriksaan darah mungkin ditemukan eosinofilia atau hiperesinofilia.(Gandahusada, 2002)

Diagnosis

Diagnosis klinis tidak pasti karena strongiloidiasis tidak memberikan gejala klinis yang nyata. Diagnosis pasti bila ditemukan larva filariform dalam tinja segar, dalam biakan atau dalam aspirasi duodenum.(Gandahusada, 2002)

Prognosis

Pada infeksi strongiloidiasis dapat menyebabkan kematian.(Gandahusada, 2002)

Epidemiologi

Daerah yang panas, kelembapan tinggi dan sanitasi yang kurang sangat menguntungkan cacin Stringiloides sehingga terjadi daur hidup yang tidak langsung. Tanah yang baik untuk perkembangan larva adalah tanah yang gembur, berpasir dan humus.(Gandahusada, 2002)

Pencegahan

Pencegahan strongiloidiasis tergantung pada sanitasi pembuangan tinja dan melindungi kulit dari tanah yang terkontaminasi, misalnya dengan memakai alas kaki. Penerangan kepada masyarakat mengenai cara penularan dan cara pembuatan serta pemakaian jamban juga penting untuk pencegahan penyakit ini(Gandahusada, 2002)

v Trichuris trichiura

Morfologi dan daur hidup

Cacing Trichuris trichiura bersifat kosmoplit, ditemukan di daerah panas dan lembab, seperti Indonesia. Cacing ini menginfeksi manusia secara langsung bila tanpa disengaja hospes menelan telur matang. Telur ini telah memiliki larva didalamnya yag kemudian akan keluar dari dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. Setelah itu, cacing dewasa akan hidup di kolon asendens dan sekum. Bagian anterior cacing ini berbentuk seperti cambuk dan akan masuk ke dalam mukosa usus. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina meletakkan telur kira-kira 30-90 hari.(Gandahusada, 2002)

Patologi dan manifestasi klinis

Cacing ini terutama hidup di sekum, kana tetapi dapat juga ditemukan di kolon ascendens. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus higga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus dan di tempat itu terjadi perdarahan, selain itu cacing ini juga menghisap darah hospesnya. Penderita dengan infeksi yang berat dan menahun, menunjukkan gejala-gejala nyata seperti diare diselingi disentri, anemia, berat badan menurun dan kadang-kadang disertai denga prolaps rektum. Infeksi berat Trichuris trichiura sering disertai dengan infeksi cacing lain atau protozoa.(Gandahusada, 2002)

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja.(Gandahusada, 2002)

Epidemiologi

Yang penting untk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Pemakain tinja dengan pupuk kebun merupakan sumber infeksi.(Gandahusada, 2002)

Pencegahan

Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan dan lingkungan. Mencuci tangan sebelum makan, mencucui dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di negeri-negeri yang memakai tinja sebagai pupuk.(Gandahusada, 2002)

v Ascaris lumbricoides

Morfologi dan daur hidup

Parasit ini ditemukan kosmopolit. Askariasis yang disebabkan oleh cacing ini ditularkan melalui tanah. Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan yang betina 22-35 cm. Stadium dewasanya hidup di usus halus. Telur yang berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. bentuk infektif ini bila tertelan oleh manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkn ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Di paru, larva menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus kemudian naik ke trakea menuju faring. Di faring, larva ini akan menimbulkan rangsangan batuk pada penderita, sehingga larva akan tertelan ke dalam oesofagus lalu menuju ke usus halus dan berubah menjadi cacing dewasa.(Gandahusada, 2002)

Patofisiologi dan manifestasi klinis

Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru, terjadi operdarahan kecil pada dinding alveolus pada orang yang rentan, disertai dengan batuk, demam dan eosinofilia, sindrom Loeffler. Cacing dewasa akan menimbulkan gangguan berupa gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi. Pada infeksi berat dapat terjadimalabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Efek serius terjadi bila cacing-cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus).(Gandahusada, 2002)

Diagnosis

Cara menegakkan diagnosis penyakit adalah dengan pemeriksaan tinja secara langsung. Telur dalam tinja memastikan diagnosis askariasis. Selain itu diagnosis dapat dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui mulut atau hidung maupun melalui tinja.(Gandahusada, 2002)

Prognosis

Pada umumnya prognosis baik, tanpa pengobatan infeksi dapat sembuh sendiri dalam waktu 1,5 tahun.(Gandahusada, 2002)

Epidemiologi

Di Indonesia, prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak. Pencemaran tanah di sekitar tempat tinggal oleh jamban keluarga akan memudahkan terjadinya infeksi. Tanah liat, lembab dan suhu antara 25o-30o C merupakan hal-hal yang sangat baik untuk berkembangnya telur A.lumbricoides menjadi bentuk infektif.(Gandahusada, 2002)

PROTOZOA

v Entamoeba coli

Protozoa ini termasuk amoeba dan memiliki banyak kesamaan dengan Entamoeba hystolitica. Cara infeksi protozoa ini adalah apabila manusia menelan kista matang. Jalur infeksinya adalah melalui oral. Protozoa ini bersifat komensal di dalam usus. Sebagian besar sifatnya hampir mirip dengan Entamoeba hystolitica namun pada Entamoeba coli, di dalam vakuolanya tidak mengandung sel darah merah atau eritrosit seperti yang ditemukn pada pameriksaan mikroskopis tinja pada kasus E.hystolitica.(Brooks, 2005)

v Entamoba hystolitica

Morfologi dan Identifikasi

Tiga tahap yang sering dijumpai adalah amoeba aktif, kista inaktif dan prekista intermedia. Trofooit amoeba adalah satu-satunya bentuk yang ada di jaringan, ditemukan juga dalam feses cair selama disentri amoeba. Ukurannya 15-30 µm. sitoplasmanya granuler dan bisa mengandung sel darah merah (patognomonik) tetapi biasanya tidak mengandung bakteri. Kista hanya terdapat dalam lu,en dan feses lembek dan yang berbentuk.(Brooks, 2005)

Patogenesis, patofisiologi dan manifestasi klinis

Trofozoit muncul dari kista (metakista) yang termakan setelah aktivasi dari proses pengeluaran kista dalam perut dan duodenum. Penyakit timbul bila E hystolitica menginvasi epitel usus dan membentuk ulkus “berbentuk botol”. Amoeba berkembang biak dan berakumulasi di atas mukosa muskularis, seringkali menyebar atau menembus lapisan muskularis ke dalam submukosa. Gejala-gejala klinis sangat bervariasi tergantung tempat dan intensitas lesi.(Brooks, 2005)

Diagnosis

Diagnosis adanya infeksi amoeba ini ditentukan dengan pemeriksaan spesimen feses cair untuk pemeriksaan segera trofozoit, feses padat untuk kista, kerokan dan biopsi sigmoidoskopi, aspirasi abses hati dan darah. Selain itu pemeriksaan mikroskopis juga diperlukan untuk menemukan gambaran berupa mengandung sangat banyak debris fecal, sedikit darah dengan benang-benang mukus yang tidak melekat, sel darah merah yang terdegenerasi, sedikit sel PMN atau makrofag, kristal Charcot-Leyden dan trofozoit. Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan mikroskopis, biakan dan serologis.(Brooks, 2005)

Epidemiologi, Pencegahan dan Pengendalian

Kista biasanya termakan melalui air, sayuran dan makanan yang terkontaminasi serta penyebaran karena hinggapnya lalat. Orang yang mengeluarkan kista dan yang tak bergejala merupakan sumber kontaminasai utama dan mungkin bertanggung jawab dalam wabah epidemi berat dimana air selokan mengkontaminasi persediaan air atau terdapat pelanggaran peraturan kebersihan (untuk instansi dan sebagainya). Pengendalian yang dapat dilakukan meliputi peningkatan sanitasi makanan dan lingkungan. (Brooks, 2005)

v Balantidium coli

Morfologi

Trofozoitnya beberbentuk oval, bercilia, ukurannya 60 X 45 µm atau lebih besar. Dinding selnya dibatasi oleh barisan spiral cilia, ketika organisme ini membetuk kista, ia mensekresi suatu dinding berlapis ganda.(Brooks, 2005)

Patogenensis, Patologi dan Manifestasi klinis

Ketika kista termakan oleh inang baru, dinding kista melebur dan trofozoit terlepas turun ke kolon dan memakan bakteri dan debris fekal, berkembang biak secara seksual dan aseksual. Trofozoit menginvasi mukosa dan submukosa usus besar, tetapi jarang, bila mereka berkembang akan terbentuk abses dan ulserasi yang tidak teratur dengan tepi menjuntai. Manifestasi klinis lainnya berupa diare berulang yang kronik, diselingi konstipasi, fesesnya mukoid dan berdarah, menderita tenesmus dam kolik. Amoebiasis usus yang parah dapat menimbulkan akibat yang fatal.(Brooks, 2005)

Diagnosis

Diagnosis infeksi protozoa ini tergantung pada deteksi laboratorium trofozoit dalam feses cair atau dari kista dalam feses padat. Sigmoidoskopi berguna untuk mengumpulkan material secara langsung dari ulserasi untuk pemeriksaan. Sedangkan untuk pembiakan jarang diperlukan.(Brooks, 2005)

Epidemiologi dan Predisposisi

Infeksi oleh protozoa ini ditemukan di seluruh dunia, terutama derah tropis, namun jarang. Infeksi ini terjadi setelah memakan kista viabel yang sebelumnya dikeluarkan dalam feses oleh manusia dan mungkin dari babi. Peternak babi dan pekerja rumah penyembelhan merupakan faktor risiko. (Brooks, 2005)

v Giardia lamblia

Morfologi

Giardia lamblia merupakan satu-satunya protozoa patogen yang sering ditemukan dalam duodenum dan jejunum manusia, menyebabkan penyakit giardiasis. Trofozoitnya berbentuk hati, simetris dengan panjang 10-20 µm dan memiliki 4 pasang flagella. Sebagai protozoa yang berjalan ke dalam kolon, mereka membentuk kista, ditemukan dalam feses sering dalam jumlah yang sangat banyak. Mereka berdinding tebal, sangat resisten, panjang 8-14 µm dan elipsoid mengandung 2 nukleus saat kista immatur dan 4 nukleus saat matur.(Brooks, 2005)

Patogenesis dan Manifestasi Klinis

Pada beberapa orang, protozoa ini menyebabkan iritasi dan peradangan ringan pada mukosa duodenum dan jejunum dengan akibat diare akut atau kronis yang disebabkan oleh hipertropi kripte, atropi villi dan kerusakan sel epitel. Ciri khas feses berbau amis, penuh lemak, padat dan berbau amis. Selain itu juga dapat terjadi malaise, kelemahan, penurunan berat badan, kram perut distensi dan kembung.(Brooks, 2005)

Diagnosis

Untuk penegakkan diagnosisnya tergantung pada penemuan kista ang khas dalam feses yang padat, atau kista dan trofozoit dalam feses cair. Diagnosis cepat yang spesifik dan sensitip dapat dilakukan dengan pemeriksaan ELISA. Selain itu, pemeriksaan isi duodenum baik dengan aspirasi maupun pemakaian teknik kapsul duodenum juga mungkin diperlukan. Dianjurkan pemeriksaan fese berseri tiga hari berselang-selang.(Brooks, 2005)

Epidemiologi

Protozoa ini terdapat di seluruh dunia. Manusia terinfeksi stelah mencerna makanan atau minuman terkontaminasi feses mengandung kista atau melalui kontaminasi feses secara langsung. Selain itu, manusia juga dapat terinfeksi oleh berbagai giardia hewan yang dibawa oleh pengerat, rusa, lembu, kambing, kuda atau hewan peliharaan.(Brooks, 2005)

BAB III

PEMBAHASAN

Pada skenario ini terdapat informasi sebagai berikut: Seorang petani (laki-laki, 43 tahun) keluhan sakit perut, diare berlendir diselingi disentri selama kurang lebih 1 bulan, cepat lelah, sering berkunang-kunang, gatal, dan berdebar-debar. Pada pemeriksaan fisik ditemukan: pecah-pecah di tepi mulut, konjungtiva anemis, nyeri tekan daerah Mc Burney (-), takikardi, bising sistolik, dan ronki nasah basal paru. Kondisi rumah berlantai tanah, sumber air minum berjarak 2 meter dari jamban, dan terdapat tetangga dengan keluhan serupa. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia berat dan eosinofilia. Pada pemeriksaan mikroskopis tinja ditemukan telur cacing, protozoa, dan bakteri.

Dari pemeriksaan dengan sedian feses didapatkan telur cacing, protozoa, dan bakteri. Hal ini mengindikasikan pasien terjangkit diare yang kemungkinan diakibatkan oleh ketiga hal tersebut. Agen infeksius yang mungkin menyebabkan terjadinya diare pada skenario ini terdiri dari Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura dan Ascaris lumbricoides dari golongan nematoda. Sedangkan dari golongan protozoa, kemungkinan agen infeksiusnya adalah Entamoeba hystolitica serta Shigella dysentriae dari kelompok bakteri.

Kemungkinan-kemungkinan agen infeksius di atas dilihat berdasarkan keluhan pasien dengan diare yang berlendir, terkadang berdarah (disentri), anemia, terasa gatal, eosinofilia serta berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopis tinja. Meskipun pada diagnosis banding agen infeksius satu dengan yang lainnya masing-masing memiliki kecocokan dengan hal yang bertolak belakang dengan keadaan pasien, sebagian besar memiliki kesamaan dilihat dari menifestasi klinis yang dikeluhkan. Disamping itu, juga ditinjau dari lingkungan tempat tinggal pasien yang memungkinkan sebagai habitat serta tempat berkembang dari bentuk infektif setiap agen infeksius.

Namun tidak menutup kemungkinan pasien terinfeksi bakteri Shigella sp. maupun Eschericia coli. Hal ini dapat terjadi apabila melihat kebersihan rumah serta jarak jamban dengan sumber air minum yang tidak ideal. Pada lingkungan sekitar pasien juga terdapat adanya penderita dengan gejala serupa, hal ini pun mengindikasikan kemungkinan terdapat penyakit menular dan lingkungan sekitar pasien tidak terjaga kebersihannya. Selain itu diare yang disebabkan oleh Shigella sp. dan E. coli memiliki ciri-ciri seperti yang disebutkan pada skenario, yaitu diare dengan darah dan lendir.

Vibrio cholerae disingkirkan dari kemungkinan agen infeksius karena feses yang dikeluarkan pasien tidak berbentuk seperti air cucian beras, yang seharusnya ditemukan pada penderita yang terinfeksi Vibrio choleriae. Begitupula dengan agen infeksus Giardia lamblia tidak dimasukkan dalam kemungkinan agen infeksius pada kasus ini mengingat bahwa feses pasien tidak berlemak dan bau amis, seperti pada penderita infeksi karen Giardia lamblia.

Gatal yang terjadi kemungkinan merupakan akibat dari penetrasi larva filariformis cacing tambang ke dalam kulit. Gatal merupakan ambang batas dari rasa sakit, mekanisme jalannya rangsangan melalui alur saraf yang digunakan sama dengan alur rangsang nyeri, yaitu serabut C yang berada di perifer, grup dari dorsal horn interneuron, dan membentuk jalur khusus pada medulla spinalis anterolateral ke otak. Namun, gatal juga dapat ditimbulkan sebagai reaksi inflamasi akibat adanya agen infeksius di dalam darah, kemudian ini dapat menyebabkan dermatitis.

Diare berlendir dan kadang berdarah akibat terjadi akibat kerusakan pada mukosa usus sehingga merangsang sel-sel untuk menghasilkan lendir. Rangsangan toksin dari agen infeksius yang kemudian menyebabkan sekresi elektrolit dan cairan berlebih ke dalam lumen usus akan menyebabkan feses menjadi cair.

Anemia mungkin saja terjadi akibat terjadi akibat perdarahan karena infeksi maupun kehilangan darah secara langsung akibat hisapan cacing atau perusakan eritrosit oleh agen infeksisus seperti Entamoeba hystolitica. Anemia ini akan menyebabkan hipertrofi jantung akibat berkurangnya eritrosit dalam tubuh pasien memicu kompensasi jantung dengan cara memompa lebih cepat guna memenuhi kebutuhan O2 seluruh tubuh. Ini akan mengakibatkan aliran darah yang melewati katup jantung menjadi besar sehingga terjadi aliran turbulansi dan akhirnya terjadi bising sistolik. Takikardi terjadi akibat kompensasi ini sehingga frekuensi sirkulasi darah lebih cepat dari pada keadaan normal. Anemia juga akan menyebabkan keluhan lainnya berupa konjungtiva anemis dan pandangan berkunang-kunang.

Untuk memastikan lebih jelas dan pasti agen infeksius penyebab diare ini harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Pada pemeriksaan mikroskopis harus diperhatikan ciri khas agen infeksius yang ditemukan baik dalam bentuk telur, larva maupun stadium dewasanya. Hal ini memerlukan pengetahuan mengenai ciri khas setiap agen infeksisu di atas, sesuai dengan ilmu parasitologi kedokteran. Disamping itu, perlu dicatat bahwa manifestasi yang terjadi dapat disebabkan oleh bebrapa agen infeksius, sehingga tidak dapat dikelompokkan manifestasi mana yang disebabkan oleh satu agen infeksisus tertentu.

Penatalaksanaan yang perlu dilakukan terutama adalah rehidrasi guna mencegah dehidrasi pada pasien mengingat jangka waktu diare yang telah lama, kurang lebih satu bulan. Selain rehidrasi, pengaturan diet juga perlu diperhatikan agar pasien tidak mengkonsumsi makanan yang merangsang sekresi cairan ke lumen usus lebih banyak lagi. Disamping itu, terapi medikamentosa diperlukan untuk mengatasi kausatif diare yang terjadi setelah ditegakkan diagnosis agen infeksius penyebab diare tersebut.

BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Pada skenario terjadi diare selama kurang lebih 1 bulan, sehingga dapat di klasifikasikan sebagai diare kronis. Perdarahan dalam diare manunjukkan bahwa diare diselingi dengan disentri. Keluhan-keluhan selain diare yang diraskan pasien merupakan komplikasi. Kemungkinan agen infeksius penyebab diare tersebut adalah cacing Ascaris lumbricoides, Ancyslostoma duodenale, Trichuris trichiura. Sedangkan dari golongan protozoa dan bakteri terdiri dari Entamobe hystolitica serta Shigella dysentriae atau Escherichia coli. Terapi yang dilakukan pada pasien tersebut terdiri dari terapi simtomatis dan terapi kausatif.

Saran

Guna menegakkan diagnosis dan menentukan terapi kausatif yang tepat sasaran, maka perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya terutama pemeriksaan tinja untuk mengetahui jenis telur mapun agen infeksius lainnya dengan melihat bentuk telur cacing, kista, larva maupun bentuk dewasa parasit.

DAFTAR PUSTAKA

Behrman, R.E.2003.Nelson Textbook of Pedriatics 17th Edition.Philadelphia: Saunder

Brooks, G.F, alih bahasa dr. Nani Widorini.2005.Mikrobiologi Kedokteran.Buku 1 & 2 Edisi Pertama.Jakarta: Salemba Medika

Dorland, W.A.N, alih bahasa dr. Huriwati Hartanto, et al.2002.Kamus Kedokteran DORLAND Edisi 29. Jakarta, EGC

Gandahusada, Prof.dr. Srisasi.2002.Parasitogi Kedokteran. Edisi Ketiga. Jakarta: FKUI

Harrison, T.R.2005.Harrison’s Principles of Medicine 16th Edition.USA: Mc Graw-Hill Companies

Mansjoer, et al.2001.Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1 Edisi 3.Jakarta, Media Aesculapius

Mubin, A.H.Panduan Praktis Penyakit Dalam Diagnosis dan Terapi.Jakarta: EGC

PAPDI.2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I.Jakarta, Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI

PAPDI.2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.Jakarta, Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Rampengan, T.H.2007.Penyakit Infeksi Tropik pada Anak.Jakarta: EGC

Robbins, et al alih bahasa Bram U. Pendit.2007.Buku Ajar Patologi Edisi 7 Vol.2. Jakarta: EGC

Syahrurachman, Agus, et.al.1994.Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi.Jakarta: Binarupa Aksara

Wilson, W.R.2001.Current Diagnosis and Treatment in Infectious Diseases.USA: Mc Graw-Hill Companies