19.6.09

Tuberculosis

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Respirasi (pernapasan) melibatkan keseluruhan proses yang menyebabkan pergerakan pasif O2 dari atmosfer ke jaringan untuk menunjang metabolisme sel, serta pergerakan pasif CO2 sebagai produk sisa metabolisme dari jaringan ke atmosfer. Sistem pernapasan berperan dalam homeostasis dengan mempertukarkan O2 dan CO2 antara atmosfer dan darah. Maka, hampir seluruh proses metabolisme tubuh bergantung pada sistem pernapasan. Kelainan pada sistem pernapasan akan menyebabkan terganggunya pula porses metabolisme dalam tubuh manusia dan bergesernya homeostasis tubuh dari keseimbangan seharusnya. Salah satu penyakit pernapasan yang sering ditemukan di Indonesia adalah tuberkulosis.

Dalam bab II tinjauan pustaka akan dijelaskan mengenai definisi tuberkulosis, etiologi, prevalensi, klasifikasi, patogenesis, manifestasi klinis, penegakkan diagnosis serta penatalaksanaan penyakit tersebut. Pada bab III pembahasan menjelaskan tentang patofisiologi masing-masing gejala seperti yang dialami pasien pada skenario dengan diagnosis banding tuberkulosis. Pada bab IV penutup akan penulis memberikan kesimpulan dan saran yang perlu dilakukan.

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah yang diangkat penulis adalah “Bagaimanakah patofisiologi tuberkulosis?”

C. TUJUAN

1. Mengetahui etiologi, manifestasi klinis, penegakkan diagnosis, penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan tuberkulosis paru.

2. Memahamii patogenesis dan patofisilogi tuberkulosis primer dan sekunder.

D. MANFAAT

Manfaat dari penulisan laporan ini adalah penulis mengetahui dan memahami kelainan sistem pernapasan akibat infeksi mikrobakteria tuberkulosis.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi dan Etiologi Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dengan gejala bervariasi. Tidak hanya Mycobacterium tuberculosis yang dapat menginfeksi, namun Mycobacterium bovis dan Mycobacterium africanum yang ketiganya merupakan anggota ordo Actinomisetales dan famili Microbacteriasese. Tempat masuk kuman ini adalah melalui saluran pernapasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. (Amin, 2006; Mudihardi, 2005)

Di masa lalu, M. tuberculosis strain bovine menginfeksi produk-produk susu, menyebabkan infeksi pada manusia melalui susu yang terinfeksi. Saat ini hampir semua tuberkulosis bovine telah dilenyapkan dari produk-produk susu di sebagian besar negara maju, dan pasteurisasi susu telah menurunkan risiko infeksi pada manusia lebih lanjut. (Soedoko, 2005)

Prevalensi Tuberkulosis

Indonesia adalah negara dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah China dan India. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110/100.000 penduduk. Prevalensi nasional terakhir TB paru diperkirakan 0,24%. Sedangkan angka prevalensi TB di antara tahun 1979-1982 di Jawa Tengah adalah 0,13% dari jumlah penduduk sebesar 26,2 juta kepala. (Amin, 2006)

Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB masih tetap menjadi problem kesehatan dunia yang utama. TB dianggap sebagai masalah kesehatan dunia yang penting karena kurang lebih 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh Mycobacterium tuberkulosis. Sebagian besar dari kasus TB ini, (95%) dan kematiannya (98%) terjadi di negara-negara yang sedang berkembang. Di antara mereka 75% berada pada usia produktif yaitu 15-50 tahun. (Amin, 2006)

Klasifikasi Tuebrkulosis Paru

· Secara patologis

- Tuberkulosis primer

- Tuberkulosis pasca-primer (sekunder)

· Secara aktivitas radiologis

- Tuberkulosis paru aktif

- Tuberkulosis paru non aktif

- Tuberkulosis paru quiescent (bentuk aktif yan gmulai menyembuh)

· Secara radiologis

- Tuberkulosis minimal. Terdapat sebagian kecil infiltrat nonkavitas pada satu paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.

- Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan diameter <>

- For advanced tuberculosis. Terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi keadaan pada moderately advanced tuberculosis.

(Amin, 2006)

Klasifikasi Pasien Tuberkulosis Paru

1) Kasus Baru

Pasien belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2) Relaps

Sebelumnya pasien pernah mendapat pengobatan dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

3) Default

Pasien telah berobat dan putus berobat selama dua bulan atau lebih dengan BTA positif.

4) Failure

Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap posotof atau kembali menjadi positif pada bulan ke lima atau lebih selama pengobatan.

5) Transfer In

Pasien yang pindah tempat berobat dari satu tempat ke tempat lain disertai register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.

6) Kasus lain

Semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas, termasuk kasus kronik.

(Field Lab FK UNS, 2008)

Patogenesis

Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respons imunitas diperantarai sel. Sel efektor adalah makrofag dan limfosit. Respons ini merupakan raksi hipersensitivitas tipe IV (selular atau lambat). (Pendit, 2005)

Awalnya, infeksi kuman dalam wujud droplet nuklei terhirup masuk saluran nafas dan menuju paru-paru. Di paru-paru, mereka akan bertemu makrofag jaringan dan neutrofil sebagai garis pertahanan pertama. Sebagian dari mereka mati akibat difagosit netrofil, terkena sekret makrofag dan terkena sekret saluran nafas. Bila kuman difagosit oleh makrofag, ia akan tetap hidup karena kuman TB bersifat intraseluler. M. tuberculosis merupakan basil tahan asam (BTA) karena ia memiliki banyak lipid yang membuatnya tahan terhadap asam, gangguan kimia dan fisik. Kandungan lipid yang banyak dalam makrofag, dimanfaatkan kuman untuk memperkuat dirinya. (Mudihardi, 2005; Mansjoer, 2005; Amin, 2006)

Setelah infeksi tuberkulosis primer, ada kemungkinan infeksi ini akan sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat, sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis fibrotik, kalsifikasi hilus dan di antaranya dapat kambuh kembali menjadi tuberkulosis sekunder karena kuman yang dormant ataupun akan menimbulkan komplikasi dan menyebar baik dapat secara perkontinuitatum, bronkogen, limfogen atau hematogen. (Amin, 2006; Pendit, 2005)

Kuman yang dormant pada tuberkuloisis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis sekunder. Tuberkulosis sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru. (Pendit, 2007)

Manifestasi Klinis

Gejala-gejala yang paling sering ditemukan (tanpa menghiraukan jenis cairan yang terkumpul ataupun penyebabnya) adalah sesak napas, nyeri dada (biasanya bersifat tajam dan semakin memburuk jika penderita batuk atau bernafas dalam). Terkadang, beberapa penderita tidak menunjukkan gejala sama sekali. Gejala lainnya yang mungkin ditemukan dalah batuk, cegukan, pernafasan yang cepat, nyeri perut. (Mansjoer, 2005)

Penegakkan Diagnosis

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Pada pemriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda infiltrat (redup, bronkial, ronki basah, dan lain-lain), adanya penarikan paru, difragma dan mediastinum, terdapat sekret di saluran nafas dan ronkil, suara nafas amforil larena adanya kavitas yang berhubungan langsung dengan bronkus.

b. Laboratorium darah rutin (LED normal atau meningkat, limfositosis)

c. Foto toraks PA dan lateral. Gambaran foto toraks yang menunjang diagnosis TB adalah:

· Bayangan lesi di lapangan atas paru atau segmen apikal lobus bawah

· Bayangan berawan (patchy) atau berbercak (nodular)

· Adanya kavitas, tunggal atau ganda

· Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas paru

· Adanya kalsifikasi

· Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian

· Bayangan milier

d. Pemeriksaan sputum BTA

Pemeriksaan sputum BTA memastikan diagnosis TB paru, namun pemeriksaan ini tidak sensitif karena hanya 30-70% pasien TB yang dapat didiagnosis berdasarkan pemeriksaan ini.

e. Tes PAP (Peroksidase Anti Peroksidase)

Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alt histogen imunoperoksidase staining untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB.

f. Tes Mantoux/ Tuberculin

g. Teknik PCR/ Pollymerase Chain Reaction

Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam berbagai tahap sehingga dapat mendeteksi meskipun hanya ada 1 mikroorganisme dalam spesimen. Juga dapat mendeteksi adanya resistensi.

h. Becton Dickinson Diagnostic Instrument System

Deteksi groeth indexi berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak oleh M. tuberculosis.

i. ELISA

Deteksi respons humoral, berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Pelaksanaannya rumit dan antibodi spesifik dalam jumlah memadai maka warna sisir akan berubah.

j. MYCODOT

Deteksi antobodi memakai antigen lipoarabinomannan yang direkatkan pada suatu alat berbentuk seperti sisir plastik, kemudian dicelupkan dalam serum pasien. Bila terdapat antibodi spesifik dalam jumlah memadai maka warna sisir akan berubah.

(Mansjoer, 2005)

Penatalaksanaan

a. Obat anti TB (AOT)

OAT harus diberikan dalam kombinasi sediktinya dua obat yang bersifat bakterisid dengan atau tanpa obat ketiga. Tujuan pemberian adalah untuk mengonversi sputum BTA (+) menjadi BTA (-) melalui kegiatan bakterisid, mencegah kekambuhan dalam tahun pertama setalah pengobatan dengan kegiatan sterilisasi dan menghilangkan atau mengurangi gejala dan lesi melalui perbaikan daya tahan imunologis.

Pengobatan ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan. OAT yang baisa digunakan adalah isonoazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin dan ethambutol.

b. Pembedahan pada TB paru

Indikasi Mutlak:

· Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetapi sputum tetap positif.

· Pasien batuk darah masih tidak dapt diatasi dengan cara konservatif.

· Pasien dengan fistula bronkopleura dan empisema yang tidak dapat diatasi secara konservatif.

Indikasi Relatif:

· Pasien dengan sputum negatif dan batuk darah berulang-ulang.

· Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan.

· Sisa kavitas yang menetap.

(Mansjoer, 2005; Amin, 2006)

BAB III

PEMBAHASAN

Pada kesempatan kali ini akan dibahas kasus mengenai seorang pria 30 tahun dengan keluhan utama hemoptisis sebanyak 250 cc semenjak satu hari yang lalu. Gejala yang menyertai keluhan adalah demam yang hilang timbul dan keringat malam. Berat badan pasien juga turun sebanyak 4 kg dan pasien tidak nafsu makan selama dua hari ini. Penderita adalah perokok. Riwayat penyakit dahulu pernah menderita sakit paru dan suara serak, telah mendapat pengobatan dengan obat paket dari puskesmas selama 6 bulan. Saat pengobatan, pasien pernah dirawat di rumah sakit karena muntah-muntah dan mata kuning. Di rumah penderita terdapat dua orang balita. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 100/60, konjunctiva pucat, auskultasi suara amforik pada paru kanan dan didapatkan pembesaran kelenjar leher. Pada hasil foto toraks ditemukan adanya gambaran fibroinfiltrat dan kavitas pada paru kanan.

Hemoptisis dapat terjadi akibat banyak hal yaitu: tuberculosis, brokkiektasis, abses paru, Ca paru, dan bronchitis kronik. Namun diantara banyak penyebab, yang paling sering adalah tuberculosis. Adanya infeksi pada paru dapat menyebabkan nekrosis pada parenkim paru yang akan menimbulkan proses perkejuan. Apabila dibatukkan, bahan cair dari perkejuan tersebut akan keluar dan meninggalkan lubang yang disebut kavitas. Kavitas ini lama-lama akan menebal karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar dan terjadilah sklerotik. Jika terjadi peradangan arteri di dinding kavarne akan mengakibatkan pecahnya vasa darah. Jika vasa darah pecah maka darah akan dibatukkan keluar dan terjadilah hemoptisis. Pada kasus kali ini terjadi hemoptisis sebanyak 250 cc dan dapat digolongkan sebagai hemoptisis derajat 4 (150-500cc). Hemoptisis derajat 4 belum termasuk hemoptisis massif namun harus terus menerus dimonitor.

Batuk dengan sputum sulit keluar selama dua bulan dikarenakan viskositas dari sputum yang tinggi sehingga mengakibatkan sputum sulit keluar. Sputum yang kental dan pekat dapat disebabkan oleh karena infeksi. Demam merupakan salah satu tanda inflamasi. Demam pada penyakit tuberculosis biasanya hilang timbul, biasanya muncul pada sore hari. Mekanisme demam sendiri yaitu mikroorganisme yang masuk ke dalam jaringan atau darah akan difagositosis oleh leukosit darah, makrofag, dan sel mast. Setelah memfagositosis, sel ini akan mengeluarkan IL-1 ke dalam cairan tubuh disebut sebagai pirogen endogen. IL-1 menginduksi pembentukan prostaglandin akan menstimulus hipotalamus sebagai pusat termoregulator untuk meningkatkan temperatur tubuh dan terjadi demam atau panas.

Keringat malam ini kemungkinan disebabkan oleh karena kuman yang menginfeksi penderita, misalnya kuman Mycobacterium Tuberculosis, mengadakan metabolisme seperti pembelahan didalam tubuh penderita sehingga terjadilah manifestasi keringat. Sebenarnya, keringat yang disebut disini tidak hanya terjadi pada malam hari saja tetapi juga terjadi setiap saat. Namun, pada pagi dan siang hari umumnya penderita melakukan aktivitas fisik jadi keringat akibat metabolisme kuman tersebut menjadi samar. Tidak nafsu makan selama dua hari dapat disebabkan oleh toksemia yang disebabkan oleh bakteri. Selain itu, penyebab lainnya adalah kandungan nikotin rokok yang dapat menempati reseptor glukosa sehingga penderita tidak merasakan lapar. Keadaan inilah yang juga menyebabkan berat badan penderita turun.

Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang disebutkan beberapa tanda yang akan dijelaskan berikutnya. Suara serak pada penderita terjadi oleh karena sputum yang terbentuk menyumbat sebagian plica vocalis yang memproduksi getaran-getaran suara. Namun ada kemungkinan suara serak ini timbul karena penyakit faringitis TB yang dapat merusak faring. Konjungtiva anemis yang terjadi dapat disebabkan oleh kedua kemungkinan yaitu karena hemoptisis sebanyak 250 cc dapat menyebabkan turunnya kadar hemoglobin sehingga menyebabkan anemia normositik. Selain itu, apabila penderita menderita tuberculosis biasanya disertai dengan anemia defisiensi besi. Kedua hal inilah yang diduga menjadi faktor terjadinya konjungtiva anemis.

Hipotensi yang terjadi pada kasus kali ini mungkin disebabkan akibat kehilangan darah. Seperti yang kita ketahui sebelumnya, tubuh memiliki respon untuk mengembalikan hemostasis ke keadaan semula. Pada auskultasi terdapat suara amforik paru kanan yang dapat terjadi karena kavitas yang terbentuk berhubungan dengan bronkus sehingga ketika respirasi akan terjadi suara mirip tiupan botol. Pembesaran kelenjar limfe di leher dapat menandakan terjadinya infeksi pada cavitas thoracis, misalnya infeksi yang terjadi pada paru-paru. Fibroinfiltrat di paru kanan dapat terjadi akibat infeksi kuman Mycobacterium Tuberculosis. Mycobacterium Tuberculosis merupakan jenis kuman yang sangat ‘membandel’ dan sangat sulit dihancurkan oleh sistem pertahanan tubuh. Pada paru basil Mycobacterium Tuberculosis dikepung oleh makrofag alveolar yang akan diikuti oleh limfosit. Setelah itu akan di lapisi oleh jaringan fibrous. Gabungan antara basil Mycobacterium Tuberculosis, makrofag, limfosit, dan jaringan fibrous disebut turberkel. Turberkel ini juga merupakan gambaran khas pada pemeriksaan patologi anatomi tuberculosis. Gambaran ini mungkin saja muncul pada pemeriksaan biopsi jarum halus (BJH). Turberkel-turberkel inilah yang akan mengalami kalsifikasi dan membentuk jaringan parut yang disebut berkas Ghon.

Pada riwayat penyakit dahulu disebutkan bahwa penderita pernah mengalami muntah dan sklera ikterik saat menjalani pengobatan penyakit terdahulu. Kedua hal ini dapat terjadi sebagai efek samping obat. Pengobatan yang mungkin dijalani pasien selama enam bulan adalah pengobatan tuberculosis meliputi pemberian isoniazid, rifampisin, pyrazinamid, dan etambutol. Ke empat obat ini dapat menimbulkan efek samping, salah satunya adalah isoniazid yang memiliki bahan metabolit asetil hidrase yang mempunyai efek hepatotoksik. Terjadinya gangguan hati inilah yang menyebabkan naiknya kadar bilirubin tak terkonjugasi plasma sehingga menyebabkan sklera ikterik.

Penderita diperkirakan menderita tuberculosis relaps (kambuh) tapi untuk menegakkan diagnosis sebaiknya ditunggu hasil pemeriksaan darah, sputum (BTA), BJH, dan bronkoskopi. Apabila penderita terbukti menderita tuberculosis relaps maka penderita harus diberikan terapi tuberculosis kategori 2 yaitu isoniazid, rifampisin, pyrazinamid, etambutol, dan injeksi streptomisin.

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

v Diagnosis kerja pasien ini menuju pada tuberkulosis. Adapun jenis tuberkulosis yang diderita pasien adalah tuberkulosis sekunder dan status pasien tersebut merupakan pasien relaps.

v Sebagai penunjang dari hasilpemeriksaan fisik serta pemeriksaan foto toraks, pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan sputum, Biopsi Jarum Halus dan bronkoskopi bila diperlukan.

v Berdasarkan status pasien, maka pengobatan yang perlu diberikan adalah AOT kategori 2 yang berisis Isonoazid, Ethambutol, Pirazinamid, Rifampisin dan disertai injeksi Streptomisin.

B. SARAN

v Untuk mencegah penularan ke keluarga serta lingkungan sekitar pasien, perlu dilakukan penyuluhan bagaimana mencegah tuberkulosis dan bagaimana manifestasi klinisnya.

v Pasien perlu menjaga jarak terlebih dahulu dengan kedua anaknya yang masih balita guna menghindari penularan terhadap kedua balita tersebut.

v Hendaknya kedua balita perlu diberikan imunisasi dengan vaksin BCG bial belum, hal ini bertujuan untuk mencegah penularan dengan merangsang imunitasnya.

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, H., Wibisono, M.J., Winariani. (eds). 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2004. Surabaya: GRAMIK FK UNAIR.

Amin, Z. dan Bahar, A.. 2006. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Mansjoer, Arif, et all.2005. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI

Brooks, G.F, et all; alih bahasa:Eddy Mudihardi, et all.2005. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick & Adelberg’s. Jakarta: Salemba Medika

Parakrama, Chandrasoma; alih bahasa Roem Soedoko.2005.Ringkasan Patologi Anatomi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Price, Sylvia Anderson and Wilson, Lorraine McCarty; alih bahasa: Brahm U.Pendit.2005.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6Volume 2.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Robbins, et all; alih bahasa Brhm U. Pendit.2007.Buku Ajar Patologi Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Field Lab FK UNS dan UPTD Puskesmas Sibela Surakarta. 2008. Pengendalian Penyakit Menular: Tuberkulosis. Surakarta: Field Lab Fakultas Kedokteran UNS