19.6.09

Cushing Syndrome

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sindroma Chusing merupakan suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh adanya peningkatan sekresi kortisol oleh berbagai sebab. Sindroma Chusing ini ditandai dengan adanya peningkatan berat badan (obesitas), distribusi lemak pada bagian leher (buffalo hump) dan di wajah (moon face), striae berwarna ungu pada kulit, osteoporosis, hiperglikemia, hipertensi, dan lain sebagainya. Prevalensi sinndroma Chusing ini pada laki-laki sebesar 1:30.000 dan pada perempuan 1;10.000. Angka kematian ibu yang tinggi pada sindroma Cushing disebabkan oleh hipertensi berat (67%), diabetes gestasional (30%), superimposed preeklamsia (10%) dan gagal jantung sekunder karena hipertensi berat (10%). Kematian ibu telah dilaporkan sebanyak 3 kasus dari 65 kehamilan dengan sindroma Cushing, 2 kasus disebabkan gagal jantung dan 1 kasus infeksi (Hernaningsih dan Soehita, 2005).
Sindroma Chusing ini dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti: tumor hipofisis, sekresi ACTH ektopik oleh organ nonendokrin, tumor adrenal (adenoma dan karsinoma), dan penggunaan obat steroid dosis tinggi dan jangka lama pada terapi penyakit kronis seperti arthritis rheumatoid, asam bronchial, dan lain sebagainya. Penetapan diagnosis sindroma Chusing berdasarkan penyebabnya perlu ditegakkan untuk mempermudah melakukan terapi pada pasien. Seperti yang terdapat dalam skenario dimana terdapat pasien yang kemungkinan menderita sindroma Chusing namun untuk menentukan penyebabnya harus dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya. Dengan sistem pembelajaran Problem Based Learninga (PBL) di FK UNS, mahasiwa dituntut untuk dapat menyelesaikan masalah yang terdapat pada skenario melalui prior knowledge mahasiswa melalui pembelajaran mandiri.
Berdasarkan hal di atas, penulis berusaha untuk menginterpretasikan dan menjelaskan tanda dan gejala pasien dalam skenario disertai data hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk membantu menetapkan diagnosis dan penatalaksanaan pada pasien.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana patofisologi atau mekanisme terjadinya tanda dan gejala pada pasien?
2. Apa penyakit yang dialami pasien berdasarkan tanda, gejala, dan hasil pemeriksaan penunjang?
3. Apakah pasien menderita sindroma Chusing dan apa penyebabnya?
4. Bagaimana penatalaksanaan pasien?

C. Tujuan Penulisan
1. Menerapkan prinsip ilmu dasar biomedik dan klinik pada penyakit yang berhubungan dengan skenario.
2. Mampu menjelaskan dan menginterpretasikan tanda, gejala dan hasil pemeriksaan laboratorium pasien untuk membantu menetapkan diagnosis.
3. Melakukan penetapan jalur diagnosis berdasarkan penyebab suatu penyakit dan merujuk untuk melakukan pemeriksaan penunjang laiinya untuk membantu menetapkan diagnosis.

D. Skenario
Berat Badan Bertambah
Seorang wanita umur 32 tahun, dirawat di ruang rawat inap penyakit dalam rumah sakit Dr Moewardi Surakarta dengan keluan badan lemah dan kelebihan berat badan. Riwayat penyakit dahulu : 5 bulan yang lalu penderita merasakan bahwa badannya kelihatan makin membesar, muka tampak bulat, ada garis-garis putih disekitar perut bagian bawah, badanya terasa lemah, sakit pinggang yang kumat-kumatan kemudian diperiksakan ke rumah sakit orthopedi dan dilakukan rongent tulang belakang dikatakan menderita osteoporosis dan hipertensi. 1 bulan sebelum masuk rumah sakit badanya makin melemah dan sering pindah dokter tidak sembuh, penderita sudah tidak menstruasi sejak 4 bulan dan tidak hamil dan karena kondisinya makin melemah kemudian oleh keluarganya di rawat di rumah sakit.
Pemeriksaan fisik : keadaan umum lemah, gizi obeis, kesadaran compos mentis. Tekanan darah 90 / 60 mm Hg, nadi 110 kali/ menit, respirasi 24 kali/ menit. Muka moon face, tumbuh rambut banyak di dada, striae di abdomen dan kulit seluruh badan hiperpigmentasi.
Pemeriksaan laboratorium : two-day low-dose dexamethason test masih menunggu hasil, kadar natrium serum 130 mg/dl, kadar gula darah puasa 70 mg/dl.
Penderita direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan CT scan doubel kontras kepala (hipofise dan hipotalamus) dan kelenjar adrenal.


E. Hipotesis
1. Pasien kemungkinan menderita sindroma Chusing dikarenakan terdapat tanda dan gejala khas penyakit tsb, pada pasien seperti: obesitas, kelemahan badan, moon face, striae, hipertensi, osteoporosis, hirsutisme, dan hiperpigmentasi.
2. Gejala dan tanda pada pasien disebabkan oleh adanya peningkatan sekresi kortisol yang dapat disebabkan oleh sekresi ACTH berlebihan oleh tumor hipofisis, ACTH ektopik yang tidak dapat meberikan umpan balik negatif kortisol terhadap ACTH.


























BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Hormon Adrenokortikal
Hormon adrenokortikal terdiri atas hormon-hormon yang diproduksi oleh kelenjar adrenal yang terdiri dari dua bagian yaitu bagian korteks adrenal dan medulla adrenal. Hormon yang diproduksi dan disekresikan oleh korteks adrenal berupa hormon steroid yaitu: mineralokortikoid pada zona glomerulosa, glukokortikoid dan androgen adrenal pada zona fasikulata dan zona retikularis. Bagian medulla adrenal memproduksi dan mensekresikan hormone katekolamin berupa eponefrin dan norepinefrin. Hormon adrenokortikal/hormone steroid dalam sirkulasi darah dapat dalam bentuk terikat dengan protein plasma terutama globulin pengikat kortisol (CBG) dan albumin dan dalam bentuk bebas. Kortisol memiliki waktu paruh 60-90 menit dan aldosteron sekitar 20 menit.
Hormon mineralokortikoid berupa aldosteron, deoksikortikosteron, kortikosteron dan kortisol (Guyton dan Hall, 2007). Namun sebagian besar aktivitas mineralokortikoid diperankan oleh aldosteron dan kortisol hanya memiliki aktivitas mineralokortikoid yang sangat lemah. Hormon ini berperan dalam mengatur keseimbangan elektrolit khususnya ion kalium dan natrium dalam darah dengan meningkatkan reabsorpsi ion natrium dan sekresi ion kalium dalam ginjal. Di bawah ini beberapa efek atau fungsi kerja hormon aldosteron sebagai mineralokortikoid, yaitu:
- Meningkatkan reansorpsi natrium dan sekresi kalium dalam tubulus ginjal
- Merangsang transport natrium dan kalium di kelenjar keringat, kelenjar air liur, dan sel epitel usus.
- Pada keadaan berlebihan meingkatkan volume cairan ekstrasel dan tekanan arteri serta hanya sedikit mempengaruhi konsentrasi natrium plasma.
- Aldosteron berlebihan meningkatkan sekresi ion hydrogen tubulus dan menyebabkan alkalosis ringan
(Sherwood, 2001; Guyton dan Hall, 2007).
Pengaturan sekresi aldosteron diatur oleh beberapa faktor, antara lain: adanya peningkatan konsentrasi kalium plasma dalam cairan ekstrasel akan meningkatkan sekresi, pengaktifan system renin-angiotensin oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan penurunan Na+ dan tekanan darah, ACTH dari kelenjar hipofisis namun mempunyai efek yang kecil. Sejauh ini konsentrasi ion kalium dan sistem rennin-angiotensin yang merupakan faktor yang paling kuat terhadap sekresi aldosteron.
Hormon glukokortikoid dapat berupa kortisol yang merupakan aktivas terbesar dan kortikosteron dalam endogen. Beberapa efek kortisol terhadap metabolisme karbohidrat, lemak, protein dan efek terhadap stres serta anti-inflamasi, yaitu:
- Merangsang glukoneogenesis (pembentukan glukosa dari nonkarbohidrat seperti asam amino dan trigliserida)
- Menghambat penyerapan dan penggunaan glukosa oleh sel/jaringan
- Merangsang katabolisme protein/mengurangi simpanan protein pada seluruh tubuh kecuali protein di hati
- Meingkatkan sintesis protein di hati dengan mempermudah transport asam-asam amino dari ekstrahepatik
- Meningkatkan mobilisasi asam lemak dari jaringan adipose sehingga meningkatkan konsentrasi asam lemak darah
- Efek permisif, seperti kortisol diperlukan dalam jumlah adekuat untuk katekolamin dapat memicu vasokonstriksi.
- Pada keadaan stres dapat memicu sekresi kortisol
- Pada efek anti-inflamasi kortisol dapat menstabilkan membran lisosom, menurunkan permeabilitas kapiler, menurunkan migrasi leukosit ke daerah inflamasi, menurunkan fagositosis sel yang rusak, menekan system imun, menyebabkan reproduksi limfosit menurun secara nyata, mengurangi pelepasan IL-1 yang dapat menyebabkan demam.
Sekresi kortisol dirangsang oleh ACTH yang disekresi kelenjar hipofisis anterior atas rangsangan CRH pada hipotalamus. Kortisol memiliki umpan balik negative langsung terhadap ACTH pada kelenjar hipofisis dan CRH pada hipotalamus (Sherwood, 2001; Guyton dan Hall, 2007).

B. Sindroma Chusing
Sindroma Chusing merupakan suatu keadaan di mana terjadi peningkatan sekresi kortisol oleh berbagai sebab. Sering juga disebut hiperkortisolisme. Sindroma ini dapat disebabkan oleh peningkatan krotisol endogen seperti oleh karena produksi kortisol oleh korteks adrenal atau penyebab lainnya dan akibat pemberian terapi kortikosteroid eksogen dalam dosis besar dan jangka waktu lama. Penyebab/etiologi sindroma Chusing ini sering dikelompokkan menjadi dua, yaitu tergantung ACTH dan tidak tergantung ACTH. DI bawah ini merupakan pembagian penyebab/etiologi sindroma Chusing, yaitu:
• Tergantung ACTH
- Tumor hipofisis dengan sekresi ACTH (Chusing’s disease)
- Sekresi ACTH ektopik (neoplasma nonendokrin)
- Sekresi CRH ektopik
- Disfungsi hipotalamik-hipofisa
• Tidak tergantung ACTH
- Karsinoma adrenal
- Adenoma adrenal
- Mikronodular adrenal disease
- Konsumsi steroid dan ACTH eksogen dosis tinggi dan lama (iatrogenic)
(Piliang dan Bahri, 2006; Kumar, et al., 2005; Hernaningsih dan Soehita, 2005)

Tanda dan Gejala Klinis
Sindroma Chusing ditandai dengan adanya obesitas sentral, penimbunan lemak di wajah (moon face), penimbunan lemak di punggung dan leher posterior (buffalo hump), hipertensi, mudah lelah (fatigue), kelemahan otot, amenorea, osteoporosis, striae abdomen berwarna pink sampai ungu, wajah memerah (plethora), mudah timbul memar, hiperglikemia, hirsutime, edema, jerawat, glukosuria, dan tumor basofilik hipofisis. Gangguan lain dapat berupa kelainan haid, gangguan mental, termasuk perubahan suasana hati, depresi, dan psikosis (Kasper, et al., 2005; Hernaningsih dan Soehita, 2005, Piliang dan Bahri, 2006).
Diagnosis
Diagnosis sindroma Chusing berdasarkan pada hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan tanda dan gejala klinik hipertensi, osteoporosis, diabetes adrenal, obesitas, moon face dan buffalo hump, hirsutisme dan amenorea pada wanita. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkana adanya peningkatan kadar kortisol bebas urin 24 jam, peningkatan ACTH pada tergantung hormon tersebut, hilangnya pola diurnal normal sekresi kortisol. Untuk menentukan lokasi penyebab dapat diketahui melaluo kadar ACTH serum dan pengukuran ekskresi steroid urin setelah pemberian glukokortikoid sintetik deksametason.

C. Hiperaldosteronisme
Hiperaldosteronisme merupakan suatu keadaan terjadinya peningkatan sekresi aldosteron. Hiperaldosteron dapat dibagi menjadi primer dan sekunder. Hiperaldosteron primer (sindroma Conn) dapat dikarenakan oleh adanya tumor/neoplasma adrenokorteks yang meningkatkan sekresi aldosteron, mekanisme pasti ini belum jelas. Pada hiperaldosteron sekunder, pelepasan aldosteron terjadi sebagai respons atas pengaktifan system renin-angiotensin.

Hiperaldosteron Primer (Sindroma Conn)
Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa sindroma ini disebabkan oleh adanya neoplasma adrenokorteks yang menyekresi aldosteron berlebihan. Gejala klinisnya adalah hipertensi esensial benigna, disertai sakit kepala, jarang dijumpai edema. Gejala yang terpenting adalah hipokalemia idiopatik (tanpa penyebab yang jelas). Kadang-kadang pasien mengalami hipokalemia yang mempengaruhi ginjal atau system nueromuskuler seperti poliuria, nokturia, parestesia, kelemahan otot, hiporefleksi episodic atau paralisis. Hipokalemia merupakan gejala terpenting, jarang ditemukan normokemia. Diagnosis ditegakkan dengan kadar aldosteron yang tinggi dan rennin yang rendah. Pengobatan dapat menggunakan spironolakton untuk menghilangkan gejala hiperaldosteronisme.
Hiperaldosternisme Sekunder
Dijumpai pada keadaan di mana terjadi respons terhadap perangsangan system rennin-angiotensin. Hiperaldosteronisme ini sering dijumpai pada keadaan hipersekresi rennin primer akibat hyperplasia sel jukstaglomerulus di ginjal. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan peningkatan aldosteron dan rennin dalam darah. Terapi hiperaldosteronisme sekunder dilakukan dengan memperbaiki penyebab yang mendasari terangsangnya system rennin-angiotensin.

D. Sindrom Adrenogenital
Penyakit ini jarang ditemukan, disebabkan oleh kegagalan sebagian atau menyeluruh, satu atau beberapa enzim yang dibutuhkan untuk sintesis steroid. Penyebabnya adalah genetik dan biasanya diturunkan secara autosomal resesif. Penyakit ini jarang timbul pada masa bayi atau anak-anak akibat defek enim congenital (biasanya 21-hidroksilase) pada sintesis kortisol (Rubenstein, et al., 2005; Piliang, 2006).

Gejala Klinis
Gejala klinis bervariasi tergantung pada lokasi dan tingkat gangguan enzim. Defisiensi kortisol merangsang pelepasan ACTH berlebihan yang menyebabkan hyperplasia adrenal, disebut hyperplasia adrenal congenital. Umumnya pasien genotip normal laki-laki atau perempuan dan biasanya defisiensi gonad dan organ kelamin internal normal, tetapi karekteristik seksual lain bervariasi, sehingga sindroma adregenital ini menunjukkan 4 bentuk utama, yaitu: 1) neonates perempuan dengan genitalia eksterna ganda, 2) terjadi salt loosing dan hipertensi pada kedua jenis kelamin, 3) Virilisasi prekoks dengan testikel kecil pada anak laki-laki dan virilisasi pada anak perempuan, 4) amenorea dangan virilisasi pada perempuan dewasa.
Berbagai patologi akibat defek enzim sintesis steroid yaitu:
- Defisiensi enzim C-20 Hidroksilase
Merupakan itpe yang paling berat. Bayi laki-laki gagal menmghasilkan testosterone intauterin, sehingga genitalia eksterna menunjukkan bentuk kelamin perempuan pada waktu lahir. Kelenjar adrenal dibanjiri oleh kolesterol sehingga disebut lipid adrenal hyperplasia.
- Defisiensi C-3βidehidrogenase
Kortisol berkurang, tetapi sekresi kortikosteroid meningkat, sehingga terjadi retensi garam dan hipertensi. Pada wanita memiliki genitalia eksterna normal, tetapi tidak mengalami menstruasi, sedangkan pada laki-laki menyebabkan pseudohermafrodit.
- Defisiensi C-21 Hidroksilasi
Defisiensi ini menyebabkan defisiensi kortisol dengan kelebihan pregnanetriol dan androgen. Dapat terjadi pengeluaran natrium pada waktu lahir pada gejala berat. Bayi laki-laki memiliki genitalia eksterna normal, tetapi banyak perempuan mengalami pertumbuhan genitalia eksterna yang cepat.
- Defisiensi C-11β-Hidroksilase
Kelainan ini terjadi pada langkah terakhir sintesis kortison dan aldosteron dengan keparahan bervariasi. Kortisol darah dapat normal, tetapi adanya androgen deoksikortikosteron berlebihan menyebabkan virilisasi dan hipertensi.
(Piliang, 2006)




E. Penyakit Addison (Insufisiensi Adrenal)
Insufiensi adrenal ini dibagi menurut kejadiannya menjadi akut dan kronik.
Akut
Insufisiensi adrenal akut sering disebut juga krisis adrenal. Terjadi apati, koma, dan nyeri epigastrik. Kadar gula darah rendah. Keadaan ini muncul setelah terjadi trauma, hipotensi berat, dan sepsis. Yang lebih jarang, keadaan ini bisa timbul pada pasien yang sebelumnya (1-1,5 tahun) atau baru-baru saja mendapat pengobatan kortikosteroid di mana terdapat trauma, pembedahan, infeksi akut, atau saat penghentian penggunaan steroid. Bila timbul setelah pembedahan untuk mengangkat adrenal padan sindroma Chusing, atau pada pengobatan kanker payudara kecuali jika dilakukan terapi pengganti.
Kronis
Terdapat kelemahan dan kelelahan yang onsetnya perlahan-perlahan disertai gejala gastrointestinal berupa anoreksia, penurunan berat badan, dan diare. Hipotensi sering kali postural, dan takikardia timbul pada tahap lanjut penyakit ini. Hiperpigmentasi terjadi di tempat terpapar matahari, daerah yang mengalami gesekan, lipatan tangan, tali pinggang dan mukosa bukal. Insufisiensi adrenal kronis jarang terjadi dan yang termasuk penyebabnya adalah destruksi adrenal autoimun, infiltrasi adrenal dengan kanker sekunder, Hodgkin atau jaringan leukemik, destruksi tuberculosis, hemokromatosis, amiloidosis, dan histoplasmosis yang sering dijumpai. Keadaan ini bisa timbul sekunder akibat hipopituitarisme selama pengobatan tuberculosis adrenal (atau renal) dan pada sindroma andrenogenital (Rubenstein, et al., 2005; Piliang, 2006).
Diagnosis
Bergantung pada tingkat kegagalan respons adrenokortikal terhadap ACTH. Kadar kortisol plasma menurun dan ritme diurnal menghilang. Dapat juga insufisiensi adrenal sedangkan kadar steroid basal normal oleh karena kegagalan berespons terhadap stres. Pengingkatan kadar ACTH plasma merupakan tanda diagnostic pasti.
F. Multiple Endocrine Neoplasia (MEN) syndrome
Terdapat dua sondroma dominan autosomal (kromosom 10) yang utama. Tumor berasal dari dua atau lebih jaringan endokrin (atau neural) dan menghasilkan hormone peptide. Kedua sindrom ini sangat jarang ditemukan. Penyakit ini bersifat herediter yang disebabkan oleh proliferatif (hiperplasia, adenoma, dan karsinoma) berbagai organ endokrin. Seperti kanker herediter lainnya, tumor endokrin yang timbul pada konteks sindrom MEN memiliki gambaran tertentu yang berbeda dengan tumor sporadic padanannya:
- Tumor timbul pada usia lebih muda daripada kanker sporadic
- Tumor timbul dibanyak organ endokrin
- Walaupun ada di satu organ, tumor sering multifokus
- Tumor bisanya didahului stadium asimtomatik hiperplasia endokrin yang melibatkan sel asal tumor
- Akhirnya , tumor ini biasanya lebih agresif dan lebih sering kambuh dalam proporsi kasus yang lebih tinggi dibandingkan dengan dengan tumor endokrin serupa yang timbul secara sporadic.
MEN tipe I diwariskan pada pola autosomal dominan. Gen (MEN1) terletak di 11q13 dan merupakan suatu gen penekan tumor; oleh karena itu, hilangnya fungsi MEN1 mendorong proliferasi sel dan tumorigenesis. Organ yang sering terkena adalah paratiroid (95%), pancreas (>40%), dan hipofisis (>30%). Pada tumor hipofisis tersering pada pasien MEN tipe 1 adalah makroadenoma penghasil prolaktin. Sebagian pasien mengalami akromegali akibat tumor penghasil somatostatin. Tumor ini menimbulkan efek yang sesuai dengan sel aalnya: insulinoma (hipoglikemi), gastrinoma (sindrom Zohllinger-Ellison), glukagonoma (hiperglikemi), dan tumor yang mensekresikan polipeptida usus vasoaktif.
MEN tipe II diwariskan secara autosomal dominan dan gennya terletak pada 10q11.2. MEN tipe II ini dibagi lagi menjadi dua kelompok, yaitu: MEN tipe 2A dan MEN tipe 2B.MEN tipe 2A mengacu pada hubungan antara kanker tiroid meduler (MTC) yang menghasilkan kalsitonin, feokromasitoma (umumnya bilateral dan kadang-kadang ganas), dan ayng lebih jarang, adenoma atau hyperplasia paratiroid. MEN tipe 2B mengacu pada hubungan yang sangat jarang terjadi antara gambaran tipe 2A dengan habitus Marfanoid, neuroma mukosa dan divertikula kolon multiple disertai megakolon.
(Rubenstein, et al., 2005; Kumar, et al., 2007)







BAB III
PEMBAHASAN

Pasien wanita 32 tahun mempunyai keluhan utama badan lemah dan kelebihan berat badan. Kelebihan berat badan ini bisa disebabkan oleh penimbunan lemak, ascites, dan juga edema di seluruh/sebagian tubuh. Namun pada pasien ini kelebihan berat badan (obesitas) akibat penimbunan lemak pada sindroma Chusing. Pasien mempunyai riwayat obesitas, muka tampak bulat (moon face), ada garis-garis putih disekitar perut bagian bawah (striae), badan terasa lemah, osteoporosis, dan hipertensi merupakan gejala khas pada keadaan hiperkortisolisme atau sindroma Chusing. Selain gejala khas di atas juga terdapat gejala lainnya, yaitu: tidak menstruasi sejak 4 bulan yang lalu (amenorea), tuumbuh rambut di dada (hirsutisme), dan hiperpigmentasi. Di mana hal ini diperkuat dengan pemeriksaan fisik pada pasien dengan keadan umum lemah, gizi obeis, muka moon face, hiperpigmentasi kulit seluruh badan, striae, dan tumbuh rambut di dada.
Keluhan pasien badan lemah merupakan akibat dari terjadinya peningkatan katabolisme protein pada otot, kulit, dan tulang dan tejadi penurunan sintesis protein pada organ tersebut sebagai akibat peningkatan sekresi kortisol sehingga otot-otot mengalami atrofi dan menjadi lemah. Obesitas pada pasien sindroma Chusing biasanya bersifat sentral yang diakibatkan oleh adanya peningkatan mobilisasi asam-asam lemak sehingga terkumpul pada pada daerah sentral. Mekanisme terjadinya distribusi lemak pada bagian sentral sampai saat ini belum jelas namun perlu diketahui juga bahwa sebaliknya lemak pada ekstremitas akan menghilang. Terdapat hipotesis yang mengungkapkan mekanisme di atas yaitu sel-sel lemak ekstremitas kurang sensitif terhadap insulin (di mana insulin dapat menurunkan kadar asam lemak darah dan anabolik simpanan lemak) dan lebih sensitif terhadap efek lipolitik hormon lain yang diinduksi oleh glukokortikoid daripada sel-sel lemak tubuh lainnya (Suherman, 2001). Muka moon face pada pasien diakibatkan oleh adanya penumpukan jaringan lemak pada daerah tersebut di mana mekanisme pastinya belum jelas di mana merupakan tanda khas pasien sindroma chusing.Osteoporosis pada sindroma Chusing terjadi karena kombinasi yang tidak seimbang antara peningkatan resorpsi tulang, gangguan mineralisasi, dan tidak terbentuknya lapisan osteoid karena fungsi osteoblas terhambat. Osteoporosis ini paling sering terjadi pada tulang belakang dan dapat menyebabkan kolaps vertebra disertai nyeri punggung dan pengurangan tinggi badan. Osteoporosis ini disebabkan oleh peningkatan katabolisme protein dalam tulang sehingga terjadi pengurangan matriks protein tulang dan pelepasan kalsium dari tulang (Schteingart, 2005; Guyton dan Hall, 2007).
Striae pada pasien dapat disebabkan secara tidak langsung oleh katabolisme protein pada kulit sehingga serabut kolagen yang terdapat pada jaringan subkutan juga akan berkurang sehingga mudah robek yang menyebabkan striae berwarna ungu pada jaringan sub kutan yang robek tadi. Hipertensi pada sindroma Chusing dapat disebabkan oleh peningkatan produksi angiotensin II sebagai akibat dari peningkatan angiotensinogen oleh hati, peningkatan aktivitas pembuluh darah terhadap hormon vasokonstriksi, penurunan reuptake hasil degradasi katekolamin di mana kortisol mempunyai efek potensiasi terhadap hormone katekolamin, atau hambatan pada vasodilator seperti kinin dan prostaglandin sebagai efek anti-inflamasi kortisol (Hernaningsih dan Soehita, 2005). Selain itu hipertensi ini juga dapat disebabkan oleh adanya efek mineralokortikoid dari kortisol di mana peningkatan kortisol dapat mengakibatkan efek mineralokortikoid kortisol cukup bermakna (Guyton dan Hall, 2007). Pada pasien ditemukan pula takikardia (nadi 110 kali/menit) yang kemungkinan disebabkan oleh efek potensiasi terhadap hormon katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) sebagai vasokonstriktor dan efek mineralokortikoid kortisol.
Adanya tumbuh rambut di dada dan amenorea pada pasien dapat diakibatkan oleh adanya efek androgen adrenal di mana hal ini bisa terjadi apabila terjadi peningkatan sekresi hormon korteks adrenal. Amenorea khususnya disebabkan oleh supresi HPA (hipotalamus-pituitari aksis) karena glukokortikois berlebihan, peningkatan kadar androgen dan prolaktin dan sekresi abnormal GnRH. Hiperpigmentasi pada sindroma Chusing di mana hal ini terjadi pada pasien ini juga disebabkan oleh adanya peningkatan sekresi ACTH di mana hal ini juga merangsang peningkatan hormon lain seperti MSH (Melanocyte Stimulating Hormone), β-endorfin, dan β-lipotropin yang memiliki bahan prekusor yang sama dengan ACTH yaitu berupa proopiomelanokortin (POMC) (Guyton dan Hall, 2007). Di mana melanosit ini merupakan pigmen hitam melanin yang banyak tedapat menyebar di epidermis kulit.
Kemungkinan penyebab sindroma Chusing pada pasien disebabkan oleh adanya peningkatan sekresi ACTH oleh hipofisis akibat tumor atau ACTH ektopik. Hal ini bisa dilihat karena adanya penurunan kadar natrium serum 130 mg/dl (normal: 135-148 mEq/dl) dinama hal ini dapat disebabkan oleh adanya hiperplasia zona fasikulata penghasil glukokortikoid yang mendesak zona glomerulosa penghasil aldosteron (Sutedjo, 2007). Selain itu adanya peningkatan efek androgen adrenal akibat perangsangan ACTH dan hiperpigmentasi dari peningkatan sekresi ACTH dan MSH oleh hipofisis. Hipoglikemia pada pasien belum dapat dijelaskan sebabnya di mana kemungkinan ini merupakan akibat kompleks dari hipotalamus-hipofisis.
Penatalaksanaan pada pasien dapat dilakukan dengan penetapan diagnosis penyebab sindroma Chusing dengan merujuk/menyarankan pasien untuk melakukan pemeriksaan di bawah ini:
- Melakukan tes penyaring dengan memeriksa kadar kortisol bebas urin 24 jam disertai pemberian deksametason atau deksamethasone suppression test.
- Pemeriksaan kadar ACTH dimana pada sindroma Chusing tergantung ACTH dapat meninggi seperti akibat tumor hipofisis, ACTH ektopik namun ACTH rendah pada adenoma adrenal.
- Pada sekresi ACTH ektopik, kadar ACTH meningkat tetapi sekresinya sama sekali tidak peka terhadap pemberian deksametason dosis rendah atau tinggi.
- Pada tumor adrenal ditemukan kadar ACTH rendah sebagai umpan balik negative dari kortisol berlebihan.
- Pemeriksaan CT scan atau MRI pada kelenjar hipofisis dan kelenjar adrenal untuk mengetahui apakah terdapat tumor di hipofisis atau adrenal atau tidak di kedua-duanya/tumor sekresi ACTH ektopik.
Pemberian terapi farmakologis dapat diberikan apabila penyebab sindroma Chusing pada pasien telah diketahui sehingga terapi dapat efektif dan efisien.














BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
1. Pasien mengalami sindroma Chusing berdasarkan adanya tanda dan gejala klinis yang sesuai pada pasien.
2. Penyebab sindroma Chusing pada pasien belum dapat ditentukan sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut, seperti: pemeriksaan kadar kortiosl bebas melalui tes deksametason, kadar ACTH, visualisasi kelenjar hipofisi dan adrenal melalui pemeriksaan CT scan atau MRI.

B. Saran
1. Pasien sebaiknya menghindari pengunaan obat-obatan korikosteroid dosis tinggi dan jangka lama yang dapat menyebabkan efek yang lebih besar terhadap penyakit yang dialaminya saat ini.
2. Pasien sebaiknya melaksanakan saran dokter untuk melakukan pemeriksaan penunjang lainnya untuk menentukan penyebab sindroma Chusing sehingga segera dapat dilakukan terapi.














DAFTAR PUSTAKA

Guyton, Arthtur C dan Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Alih bahasa: Irawati, et al. Jakarta: EGC.
Hernaningsih, Yetti dan Sidarti Soehita. Sindroma Chusing Pada Kehamilan. In: Indonesian Journal of Clinical Pathology ana Medical Laboratory. Vol.1. Jakarta, 2005. I : 23-30.
Kasper, et al. 2007. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th Edition volume II. Phidelphia: Mc-Graw Hill Co.
Kumar, Vinay, dkk. 2007. Buku Ajar patologi Robins. Edisi 7 Volume 2. Alih bahasa:Hartanto, Huriawati. Jakarta: EGC.
Piliang, Sjafii; Bahri, Chairul. 2006. Hiperkortisolisme. In : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Piliang, Sjafii. 2006. Penyakit Korteks Adrenal Lainnya. In : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Rubenstein, David, et al. 2005. Lecture Notes: Kedokteran Klinis. Edisi 6. Alih bahasa: Annisa Rahmalia. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Schteingart, David E. 2005. Gangguan Hipersekresi Adrenal. In: Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6 vol. 2. Alih bahasa: Brahm U Pendit, et al. Jakarta: EGC.
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Suherman, Suharti K. 2001. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid, Analog-Sintetik dan Antagonisnya. In: Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Penerbit Gaya Baru.
Sutedjo, AY. 2007. Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Edisi Revisi. Yogyakarta: Amara Books.
Tim Penyusun. 2008. Buku Pedoman Mahasiswa Blok V. Surakarta: Unit Pengembangan Pendidikan Kedokteran UNS.