19.6.09

Nyeri di Regio Iliaca Dextra

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Gangguan gastrointestinal mencakup sejumlah besar penyakit yang menyebabkan penderita mencari pertolongan medis dan merupakan penyebab utama kasus rawat inap di Amerika Serikat. Walaupun gangguan gastrointestinal tidak secara langsung menyebabkan kematian seperti penyakit kardiovaskular, tetapi merupakan salah satu dari lima besar penyakit penyebab kematian.

Saluran gastrointestinal sangat rentan terhadap serangan penyakit mendadak dengan gejala yang ganas, tetapi penyakit semacam ini umumnya akan mereda dalam waktu singkat dan tidak meninggalkan efek sisa. Gangguan semacam ini tidak diragukan lagi disebabkan oleh menelan makanan dan minuman yang terkontaminasi bakteri atau senyawa kimia lain.

Oleh karena itu, pengetahuan mengenai manifestasi, patofisiologi, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang mengenai gangguan gastrointestinal sangat perlu dikuasai oleh seorang dokter umum, sehingga nantinya dapat segera memberikan penatalaksanaan yang tepat, atau bahkan merujuk kepada pihak yang lebih ahli dalam bidang tersebut bila perlu untuk mendapatkan tindakan lebih lanjut.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Berdasarkan informasi yang diperoleh mengenai kasus kali ini, maka penulis mengambil sebuah pokok permasalahan yaitu: “Kelainan apakah yang mungkin terjadi dengan manifestasi berupa nyeri di bagian kanan bawah perut?”

C. RUMUSAN MASALAH

Dari skenario ini timbul beberapa pertanyaan, yaitu:

a. Bagaimana anatomi, fisiologi, dan histologi dari apendiks?

b. Apakah definisi, etiologi, gejala, klasifikasi dari apendisitis?

c. Bagaimana patofisiologi dari gejala-gejala pada skenario?

d. Apakah pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada pasien?

e. Bagaimana prognosis pasien pada skenario?

f. Bagaimana penatalaksanaan yang tepat untuk pasien dalam skenario?

D. TUJUAN

~Mahasiswa memiliki dasar pengetahuan dan mampu menerapkan konsep dan prinsip ilmu gastrointestinal untuk mengetahui penyakit-penyakit sistem gastrointestinal.

~Mahasiswa mampu memahami dasar-dasar serta prinsip-prinsip pelaksanaan penyakit yang berkaitan dengan sistem gastrointestinal.

E. MANFAAT

Dari penulisan ini diharapkan mahasiswa mampu :

1. Menjelaskan ilmu-ilmu dasar yang berhubungan dan melingkupi sistem gastrointestinal meliputi anatomi, histologi dan fisiologi

2. menjelaskan patogenesis, patologi dan patofisiologi penyakit gastrointestinal.

3. Menjelaskan penanganan yang komprehensif kelainan dan penyakit pada gastrointestinal

4. Menjelaskan efektivitas penanganan dan prognosis pada kelainan gastrointestinal

5. Menggunakan teknologi informasi untuk mencari informasi terkini mengenai penyakit gastrointestinal

6. Merancang manajemen penyakit dan kelainan gastrointestinal

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi, Histologi dan Fisiologi Usus Besar

Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 1,5 m (5 kaki) yang terbentang dari caecum hingga canalis ani. Diameter usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil, yaitu sekitar 6,4 m (2,5 inci), tetapi makin dekat anus diameternya semakin kecil. kolon, yang membentuk sebagian besar usus besar, tidak bergelung-gelung seperti usus halus, tetapi terdiri dari tiga bagian yang relatif lurus – kolon asendens, kolon transversus dan kolon desendens. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. katup ileosekal mengendalikan aliran kimus dari ileum ke dalam sekum dan mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dari usus besar ke dalam usus halus. (Pendit, 2005; Pendit, 2001)

Tempat kolon membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut disebut sebagau fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan membentuk lekukan berbentuk S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri sewaktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum. Bagian utama usus besar yang terakhir disebut sebagai rektum dan membentang dari kolon sigmoid hingga anus (muara ke bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum disebut sebagai kanalis ani dan dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum dan kanalis ani adalah sekitar 15 cm (5,9 inci). (Pendit, 2005)

Dalam keadaan normal kolon menerima sekitar 500 ml kimus dari usus halus setiap hari. Karena sebagian besar pencernaan dan penyerapan telah selesai di usus halus, isi usus halus yang disalurkan ke kolon terdiri dari residu makanan yang tidak dapat dicerna (misalnya selulosa), komponen empedu yang tidak diserap, dan sisa cairan. Kolon mengekstraksi H2O dan garam dari isi lumennya. Bagian yang tersisa dikenal sebagai feses (tinja). Fungsi utam usus besar adalah untuk menyimpan bahan ini sebelum defekasi. Selulosa dan bahan-bahan lain dalam makanan yang tidak dapt dicerna membentuk sebagian besar feses dan membantu memepertahankan pengeluaran tinja secara teratur karena berperan menentukan volume isi kolon. (Pendit, 2001)

Anatomi, Histologi dan Fisiologi Appendix Vermiformis

Tonjolan kecil mirip jari di dasar sekum adalah apendiks, jaringan limfoid yang membentuk sebagian besar usus besar. Appendix vermiformis merupakan tonjolan buntu dari bagian apex coecum. Pada bagian dalamnya kadangkala ditemui valvula yag tidak konstan yang disebut valvula Gerlach (valvula processus vermiformis). Stratum longitudinale appendix adalah persatuan lanjutan dari taeni, libera, mesocolon dan omentalis coecum. Appendix sebetulnya tidak mempunyai aat peggantung yang sesungguhnya, alat penggantung yang ada di sini sebenarnya merupakan lanjutan berbentuk fasciformis dari mesenterium ileum, akibat adanya arteri vena appendicularis yang berjalan pada tepi bebeasnya. Menurut letaknya appendix dibagi-bagi menjadi appendix retrocecalis, pelvicum, postcecalis, retroileal dan descendentis. (Pendit, 2001; Indratni, 2004)

Apendiks adalah suatu evaginasi dari sekum; organ ini ditandai dengan sebuan lumen yang relatif kecil, sempit, dan tak teratur yang disebabkan banyaknya folikel limfoid di dalam dindingnya. Apendiks terdiri dari membran mukosa tanpa adanya lipatan. Vili usus tidak dijumpai pada bagian ini. Apendiks mengandung sel epitel kolumnar dengan sel goblet yang mensekresikan mukus. Mukus adalah jel berhidrasi tinggi yang tidak hanya melumasi permukaan usus, namun juga menutupi bakteri dan zat renik lain. Di dalam lamina propria, banyak dijumpai sel limfoid dan nodul yang seringkali menyebar ke dalam submukosa. Muskularis terdiri atas berkas-berkas longitudinal dan sirkular. Meskipun strukturnya sama dengan usus besar, apendiks mengandung lebih sedikit kelenjar usus, yang lebih pendek, dan tak memiliki taenia coli. (Tambayong, 2007)

Fisiologi Defekasi dan Flatus

Sewaktu gerakan massa di kolon mendorong isi kolon ke dalam rektu, terjadi peregangan rektum yang kemudian merangsang reseptor regang di dinding rektum dan memicu refleks defekasi. Refleks ini disebabkan oleh sfingter anus internus (yang terdiri dari otot polos) untuk melemas dan rektum serta kolon sigmoid untuk berkontraksi lebih kuat. Apabila sfingter anus eksternus (terdiri dari otot rangka) juga melemas, maka akan terjadi defekasi. Peregangan awal dinding rektum menibulkan perasaan ingin buang air besar. apabila defekasi ditunda, didning rektum yang semula teregang akan perlahan-lahan melemas dan keinginan untuk buang air besar mereda sampai gerakan massa berikutnya mendorong lebih banyak feses ke dalam rektum, yang kembali meregangkan rektum dan memicu refleks defekasi.

Jika isi kolon tertahan dalam waktu yang lebih lama dari normal, jumlah H2O yang diserap akan melebihi normal, sehingga feses menjadi kering dan keras. Apabila frekuensi tertunda melebihi waktu yang normal bagi individu yan gbersangkutan, dapat terjadi konstipasi dengan gejala-gejala penyertanya. Gejala-gejala tersebut mnecakup rasa tidak nyaman di perut, nyeri kepala tumpul, hilangnya nafsu makan yang kadang-kadang disertai mual dan depresi mental. Gejala-gejala ini tidak disebabkan oleh toksin yang diserap dari feses yang tertahan tetapi disebabkan oleh peregangan berkepanjangan usus besar, terutama rektum karena gejala-gejala tersebut akan segera lenyap jika peregangan dihilangkan.

Kemungkinan penyebab tertundanya defekasi yang dapat menimbulkan defekasi adalah mengabaikan keinginan buang air besar, penurunan motilitas kolon, obstruksi gerakan feses di usus besar akibat tumor lokal atau spasme kolon maupun gangguan refleks defekasi, seperti karena cedera saraf yang terlibat. Apabila feses yang mengeras tersangkut di apendiks, dapat terjadi obstruksi sirkulasi dan sekresi mukus di bagian usus yang buntu dan sempit ini. penyumbatan ini menyebabkan peradangan apendiks atau apendisitis, sering membengkak dan terisi pus dan jaringan yang meradang dapat mati akibat gangguan sirkulasi lokal. Jika tidak diangkat secara bedah, apendiks yang sakit dapat pecah, menumpahkan isinya yang penuh kuman ke dalam rongga abdomen. (Pendit, 2001)

Terkadang yang keluar dari anus bukan bahan feses tetapi gas usus atau flatus. Gas ini terutama berasal dari dua sumber yaitu udara yang tertelan, sebanyak 500 ml udara dapat tertelan selama makan, dan gas yang dihasilkan oleh fermentasi bakteri di kolon. Adanya gas yang tersaring melalui isi lumen menimbulkan suara berdeguk yang dikenal sebagai borborigmi. Serdawa (eruksi) mengeluarkan sebagian besar udara yang tertelan dari lambung, tetapi sebagian udara masuk ke usus. Sebagian besar gas yang masuk atau terbentuk di usus besar diserap melelui mukosa usus. Sisanya dikeluarkan melalui anus. (Pendit, 2001)

Untuk melaksanakan ekspulsi gas secara selektif saat bahan feses juga terdapat di rektum, otot-otot abdomen dan sfingter anus eksternus secara volunter dan simultan berkontraksi. Pada saat kontraksi otot-otot abdomen meningkatkan tekanan sehingga tekanan intra-abdomen dapat melawan sfingter anus yang berkontraksi, terjadi gradien tekanan yang mendorong udara keluar dengan kecepatan tinggi melalui lubang anus. Keluarnya udara dengan kecepatan tinggi menyebabkan tepi-tepi lubang anus bergetar, menimbulkan suara bernada rendah yang khas menyertai keluarnya gas. (Pendit, 2001)

Penegakkan Diagnosis pada Gangguan Usus Besar

Diagnosis patologi yang berhubungan dengan usus besar sangat terkait dengan gejala eliminasi. Konstipase, diare, perubahan jumlah dan wara atau adanya darah dalam feses merupakan gejala penting yang memusatkan perhatian kita pada kolon dan rektum. Nyeri yang berasal dari kolon terletak di bagian lateral abdomen kiri atau kanan, berlawanan dengan nyeri yang berasal dari usus halus, yang biasanya terletak di paraumbilikal. Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan tindakan diagnostik yang pentng dilakukan. Pada pemeriksaan palpasi dapat teraba adanya massa abdomen. Pemeriksaan digital (rectal toucher) sangat penting karena sekitar 15% dari semua karsinoma rektum dapat terdiagnosis melalui pemeriksaan digital. (Pendit, 2005)

Apendisitis

Apendisitis adalah peradangan dari apendix vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yan gpalin gsering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun. Biasanya apendisitis disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. (Mansjoer, 2001; Pendit, 2007)

Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif dan dengan pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan satu titik dengan nyeri maksimal. Kasus klasik ditandai dengan rasa tidak nyaman ringan di daerah periumbilikus, diikuti anoreksia, mual dan muntah yang segera disertai oleh nyeri tekan kuadran kanan bawah dan dalam beberapa jam berubah menjadi rasa pegal dalam atau nyeri di kuadran akan bawah. Demam dan leukositosis terjadi pada awal perjalanan penyakit. Perku (Mansjoer, 2001; Penit, 2007)

Diagnosis banding apendisitis adalah gastroenteritis akut, adenitis mesenterium, divertikulitis Meckeli, enteritis regional, amubiasis, ileitis akut, perforasi ulkus duodeni, kolik ureter, salpingitis akut, kehamilan ektopik terganggu dan kista ovarium terpuntir. Komplikasi dari apendisitis adalah peritonitis abses apendiks dan abses subfrenikus serta fokal sepsis intraabdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan. (Mansjoer, 2001)

BAB III

PEMBAHASAN

Pada skenario kali ini didapatkan informasi yaitu seorang pasien perempuan (17 tahun) dengan keluhan utama nyeri perut bagian bawah sejak satu hari yang lalu, disertai mual dan muntah, tapi masih bisa kentut dan BAB. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tensi 120-80 mmHg, nadi 86 x/menit, RR 20 X/menit, suhu 37,5 C. Pemeriksaan abdomen didapatkan inspeksi: sejajar dengan dinding dada; auskultasi: bising usus positif normal; palpasi: nyeri tekan titik Mc Burney, defans muscular begatif; rectal toucher: tonus sphincter ani normal, mukosa licin, nyeri tekan jam 10-11, sarung tangan lendir/darah negatif, feses positif. Hasil pemeriksaan laboratorium: Hb 13,5 gr%, lekosit 11.000, Hct 40%, netrofil segmen 85%. Oleh dokter disarankan untuk operasi, tapi pasien menolak dan pulang.

Satu minggu kemudian pasien tersebut datang lagi dengan keluhan nyeri seluruh perut, kembung, dan ada gangguan BAB. Pemeriksaan fisik didapatkan tensi 100/70 mmHg, nadi 120 x/menit, RR 28 x/menit, suhu 39C. pemeriksaan abdomen inspeksi: distensi ringan; auskultasi: bising usus hilang; palpasi: nyeri tekan diseluruh perut, defans muskuler positif; rectal toucher: tonus sphincter ani menurun, mukosa licin, nyeri tekan di seluruh lapangan, sarung tangan lendir/ darah negatif, feses positif.

Dari pemeriksaan fisik yang dilakukan terhadap pasien pada kedatangan pertama adalah tensi normal, frekuensi nadi normal, frekuensi nafas, dan suhu tubuh subfebril. Pemeriksaan abdomen yang dilakukan mendapatkan hasil dinding abdomen sejajar dinding dada yang berarti terdapat keabnormalitasan yaitu pembesaran dinding abdomen. Auskultasi didapatkan bising usus positif normal yang menandakan gerakan peristaltik usus berlangsung dengan normal. Pada palpasi didapatkan defans muskular negatif yang berarti belum ada proses pertahanan yang dilakukan oleh omentum. Selain itu terdapat pula nyeri tekan di titik Mc Burney, biasanya nyeri di titik ini identik dengan apendisitis. Titik Mc Burney merupakan titik pangkal apendiks yang didapatkan dengan cara menarik garis dari umbilicus ke spina iliaca anterior superior dextra, titik tersebut terletak di titik sepertiga lateral garis tersebut. Untuk mengetahui ujung apendiks dapat gambarkan garis Lanz dengan cara menghubungkan spina iliaca anterior superior dextra et sinistra, titik tersebut terletak di titik seperenam dextra. Pada rectal toucher didapatkan tonus spinchter ani normal yang berarti tidak ada masalah pada kontraksi-relaksasi m. sphincter ani; mukosa licin yang menandakan normalnya sekresi mukus; lendir dan darah negatif yang menginformasikan bahwa tidak ada infeksi atau gangguan pada colon, biasanya pada penyakit yang menyerang colon didapatkan lendir atau darah pada sarung tangan contohnya pada carcinoma recti; feses positif menandakan adanya feses di rectum; dan nyeri tekan jam 10-11 yang merupakan nyeri pada apendiks terletak. Hal ini membuat perkiraan ke arah apendisitis semakin besar.

Dari pemeriksaan laboratorium ditemukan lekositosis ringan (N= 5-10.000 ) dengan nertofil segmen yang kadarnya naik menjadi 85% (N= 40-64%), hal ini menandakan telah terjadinya reaksi inflamasi pada tubuh pasien. Kadar Hb pasien yang 13,5 gr% memperbolehkan apabila akan dilakukan operasi pada pasien. Batas Hb minimal untuk dilakukan operasi adalah 10 gr%. Pada kasus kali ini pasien menolak operasi dan minta dipulangkan. Sampai dengan saat ini dugaan indikasi operasi pasien adalah apendisitis akut.

Keluhan utama yang dirasakan pasien adalah nyeri perut bagian bawah, mual, muntah. Nyeri perut bagian bawah terjadi karena terjadi peradangan pada apendiks. Mual dan muntah terjadi karena apabila terjadi reaksi inflamasi pada apendiks, nervus vagus akan teraktivasi dan merangsang pusat muntah di medulla oblongata. Apabila terjadi rangsangan pada pusat muntah maka akan terjadi mekanisme muntah seperti pada umumnya.

Satu minggu kemudian pasien datang dengan keadaan yang memburuk dibandingkan saat datang sebelumnya. Hal ini semakin menguatkan dugaan bahwa pasien sebelumnya menderita apendisitis akut yang mengalami perforasi dan peritonitis. Nyeri seluruh perut dapat dikarenakan apendiks, sekum, maupun bagian ileum terminal mengalami perforasi. Kembung terjadi akibat adanya udara yang terjebak di dalam . Gangguan BAB yang terjadi dapat berupa konstipasi, obstipasi, maupun diare.

Suhu pasien pun menjadi tinggi yaitu 39C, hal ini terjadi karena terjadinya reaksi inflamasi pada tubuh pasien sehingga sistem pertahanan tubuh berupa lekosit, makrofag, dan sel mast akan bekerja. Apabila sel-sel tersebut melakukan fagositosis, sel tersebut akan mengeluarkan IL-1 ke dalam cairan tubuh dan disebut pirogen endogen. IL-1 menginduksi pembentukan prostaglandin yang akan menstimulus hipotalamus sebagai pusat termoregulator untuk meningkatkan temperature tubuh dan terjadilah demam. Biasanya, pada apendisitis yang telah mengalami perforasi terjadi kenaikan suhu tubuh. Pasien mengalami penurunan tensi menjadi 100/70 mmHg (hipotensi) karena. Frekuensi nadi pun menjadi 120x/menit (takikardi) karena suhu tubuh yang tinggi dapat meningkatkan derajat metabolisme nodus sinus sehingga eksitabilitas dan iramanya meningkat. Pasien juga mengalami takipneu akibat metabolisme yang meningkat membuat kebutuhan O2 menjadi meningkat sehingga meningkatkan frekuensi nafas.

Dari inspeksi didapatkan distensi ringan, hal ini terjadi karena . Pada auskultasi didapatkan bising usus negatif, hal ini dapat terjadi karena perforasi yang mengakibatkan tidak adanya gerakan peristaltik usus sehingga tidak terdengar bising usus. Nyeri tekan seluruh perut dan defans muskular terjadi karena perluasan omentum mayus dengan tujuan memproteksi organ abdomen yang telah mengalami perforasi. Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa omentum juga berfungsi sebagai proteksi terhadap infeksi. Perluasan ini diikuti dengan penegangan m. recrtus abdominis, m. obliquus abdominis externus et internus, dan m. transversus abdominis. Pada rectal toucher dikatakan bahwa tonus sphincter ani menurun, hal ini dapat terjadi karena persarafannya (N. Spanchnicus mayor) terganggu sehingga tidak mampu berkontraksi.

Hasil pemeriksaan laboratorium pada kedatangan kedua hasilnya adalah kadar Hb tetap, angka lekosit naik dengan kadar netrofil segmen 85%. Kenaikan angka lekosit menjadi 20.000/dl semakin mengarah kepada apendisitis akut yang telah mengalami perforasi dan peritonitis.

Apendisitis akut dapat mengalami perforasi dalam jangka waktu 36-48 jam. Seharusnya dilakukan operasi pada kedatangan pasien yang pertama kali. Namun karena sudah terjadi perforasi pada kedatangan kedua dapat dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu USG. Seletah itu dapat dilakukan laparoskopi dengan eksplorasi abdomen untuk membersihkan abdomen dari kotoran-kotoran yang mungkin memperluas infeksi ke viscera abdominis lainnya. Usus yang telah menjadi gangren sebaiknya dibuang dan dilakukan penyambungan antara usus yang masih baik (end to end).

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

· Kemungkinan kelainan dengan keluhan nyeri perut bagian kanan bawah dengan hasil pemeriksaan nyeri tekan daerah Mc Burney positif adalah apendisitis.

· Apendisitis akut yang tidak mendapatkan penatalaksaan segera (<48>

B. SARAN

· Dilakukan tindak laparotomi dengan eksplorasi abdomen.

· Dilakukan tindak pemotongan terhadap usus yang telah menjadi gangrene.

· Pemberian antibiotik spektrum luas untuk mencegah terjadinya infeksi tambahan.

DAFTAR PUSTAKA

Indratni, Sri.2004.Abdomen et Situs Viscerum Abdominis.Surakarta: Sebelas Maret University Press

Junqueira, Luiz Carlos; alih bahasa: Jan Tambayong.2007.Histologi Dasar: Teks & Atlas Edisi 10.

Lauralee, Sherwood; alih bahasa Brahm U. Pendit.2001.Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem Edisi Kedua.

Mansjoer, Arif, dkk.2001.Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid kedua. Jakarta: Media Aesculapius FKUI

Price, Sylvia A. and Wilson, Lorraine McCarty; alih bahasa: Brahm U. Pendit.2005.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 1.

Robbins, Stanley L, et.al.; alih bahasa, Brahm U. Pendit.2007.Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 7 Volume 2.Jakarta: EGC